Suarakampus.com-Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) resmi meluncurkan Permendikbud Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di lingkungan Perguruan Tinggi. Namun, sejumlah pihak menolak regulasi tersebut lantaran dinilai melegalkan zina.
Pihak yang menolak Permendikbud No.30 tersebut, di antaranya Majelis Ulama Indonesia (MUI), PP Muhammadiyah dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS).
Lewat keterangan resminya, Ketua Majelis Diklitbang PP Muhammadiyah, Lincolin Arsyad menyebut salah satu kecacatan materil Permendikbud No.30 ada di Pasal 5 yang memuat consent dalam frasa “tanpa persetujuan korban”.
“Pasal 5 Permendikbud Ristek No. 30 Tahun 2021 menimbulkan makna legalisasi terhadap perbuatan asusila dan seks bebas berbasis persetujuan,” kata Lincolin dalam keterangan tertulis, Senin (08/11).
Meskipun mendapatkan sejumlah penolakan, Kemendikbudristek tetap kukuh dengan Permendikbud tersebut dan menargetkan seluruh kampus dapat membentuk Satgas PPKS sebelum Juli 2022.
Mendikbudristek, Nadiem Makarim menegaskan pihaknya akan memberi sanksi bagi kampus yang tidak menjalankan Permendikbud 30 tahun 2021.
“Sanksi untuk perguruan tingginya, sanksi administratif ya. Di mana kalau tidak melakukan proses PPKS ini sesuai Permen ini ada berbagai macam sanksi dari keuangan sampai akreditasi. Jadi ada dampak real-nya. Kalau tidak melaksanakan ini, banyak kampus tidak merasakan urgensi daripada keseriusan pemerintah menangani kekerasan seksual ini,” kata Nadiem Makarim dikutip dari kanal YouTube Kemendikbud RI, Senin (15/11) lalu.
Hukum Negara, Bukan Hukum Agama
Akademisi dari Fakultas Syariah (FS) UIN Imam Bonjol Padang, Aidil Aulia, menanggapi soal polemik Permendikbud No. 30 tentang Penanganan dan Pencegahan Kekerasan Seksual (PPKS) di kampus. Menurut Aidil, aturan ini lahir karena perguruan tinggi saat ini begitu rawan kekerasan seksual.
Pernyataan Aidil cukup beralasan. Berdasarkan kajian Koalisi Ruang Publik Aman, lingkungan pendidikan seperti sekolah dan kampus menduduki urutan ketiga lokasi terjadinya kekerasan seksual (15 % dari jumlah kasus). Sedangkan, menurut data Komnas Perempuan, sepanjang 2015-2020, dari keseluruhan pengaduan kekerasan seksual yang berasal dari lembaga pendidikan, 27 persen di antaranya terjadi di perguruan tinggi.
Selain itu, survei Kemendikbud pada 2020 juga melaporkan 77 persen dosen menyatakan kekerasan seksual pernah terjadi di kampus. Namun, 63 persen dosen memilih untuk tidak melaporkan kasus yang diketahuinya. Laporan tersebut juga menyebut mayoritas korban kekerasan seksual adalah perempuan.
Untuk itu, Aidil mendesak agar setiap kampus segera menerapkan aturan dalam Permendikbud No. 30. “Kampus harus serius menerapkan dan mengeluarkan aturan preventif lainnya agar menekan angka kekerasan seksual dalam lingkungan kampus,” katanya.
Terkait penolakan dari sejumlah pihak, Aidil menegaskan Permendikbud 30 tahun 2021 jangan hanya dilihat dari sisi buruknya saja, melainkan sebagai spirit melindungi mahasiswa dari kekerasan seksual.
Menurut Aidil, penolakan Permendikbud oleh beberapa ormas keagamaan disebabkan tidak adanya persinggungan antara norma hukum dengan agama. “Karena pada dasarnya Permendikbud ini adalah hukum negara bukan hukum agama,” pungkas Aidil.
“Yang perlu diperbaiki hanyalah kejelasan hukum dari peraturan ini,” lanjutnya kepada suarakampus.com, Jumat (19/11).
Aidil berharap Permendikbud No. 30 tahun ini dapat dilaksanakan dengan baik. “Jikalau memang harus ada yang diubah, jangan sampai mengurangi esensi dari aturan ini,” kata Aidil.
“Cukup disudahi saja perdebatan Permendikbud ini. Atau tidak, berikan solusi lain yang tujuannya sama dalam memberantas kekerasan seksual di kampus,” tandasnya.
Dukungan Mengalir Deras
Kendati mendapat penolakan dari sejumlah Ormas, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang, Indira Suryani menyebut adanya kesalahan persepsi lantaran tidak berpengalamannya pihak tersebut dalam penanganan kasus kekerasan seksual. “Dalam kebebasan berpendapat, itu adalah hal yang biasa. Namun perlu ditekankan bahwa Permendikbud ini merupakan langkah positif untuk melindungi korban,” kata Indira.
“Nilai-nilai agama itu sifatnya menyeluruh, bukan parsial untuk agama atau kelompok tertentu saja. Kita harus memikirkan cara mencegah korban kekerasan seksual, bukan debat semantik,” tegasnya.
Indira juga menyebut kampus sering abai terhadap kasus kekerasan seksual. Bahkan, tidak jarang kampus sering menutupi kasus kekerasan seksual untuk menjaga baik nama almamater.
Ia mengungkapkan, pihaknya menyambut baik Permendikbud ini dan mendorong pemerintahan agar memperkuat perlindungan kekerasan seksual lewat rumah aman dan sejenisnya. “Saya berharap ada ruang bagi korban untuk bersuara, mari buang prasangka terhadap korban, karena yang salah itu pelaku,” sebut Indira.
Sementara itu, Direktur Nurani Perempuan Padang, Rahmi Yetty Meri, mengatakan, pihak yang menolak Permendikbud ini masih satu arus dengan kalangan yang menolak RUU PPKS. “Padahal, RUU PPKS dan Permendikbud No.30 telah memenuhi standar dan tidak ada pasal-pasal yang mesti dikaji ulang,” kata Meri kepada suarakampus.com, Selasa (16/11).
Meri mengatakan, pihak yang kontra harus sering mengikuti kajian atau diskusi terkait kekerasan seksual, agar lebih terbuka wawasannya dan cara pandangnya tidak lagi konservatif. “Perdebatan kalimat tanpa persetujuan itu tidak substansi, kita terlalu miskin dalam memandang suatu hal,” tegasnya.
Meri berharap dengan adanya Permendikbud tersebut dapat memberikan ruang aman bagi perempuan dan tidak ada lagi ketakutan korban, tekanan ataupun budaya kekerasan seksual yang dapat terjadi kapan saja di lingkungan kampus. “Semoga kampus lebih ramah terhadap perempuan dan tidak ada lagi kasus kekerasan seksual,” harapnya.
Menanggapi hal ini, Ketua Kemuslimahan Lembaga Dakwah Kampus (LDK) Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi UIN IB, Melany, mendukung sepenuhnya Permendikbud 30/2021. Katanya, jika Permendikbud itu diterapkan maka dapat menjamin perlindungan civitas akademika dari predator seksual.
“Kita tahu, bahwa kekerasan seksual di kampus selama ini telah menjadi rahasia umum,” ucapnya.
Melany mempertanyakan alasan penolakan Permendikbud ini. Sebab, sikap mereka seolah mendukung kekerasan seksual di lingkungan kampus. “Jika mereka tidak setuju, secara tidak langsung mengizinkan kasus kekerasan seksual itu, atau malah mereka adalah pelakunya,” tutupnya.
Suarakampus.com juga menanyakan hal ini kepada Forum Kajian Islam (FKI) Rabbani Universitas Andalas. Namun pihak FKI Rabbani tidak menggubris permintaan wawancara. (Red)
Wartawan: Rahma Dhoni, Firga Ries Afdalia dan Ghaffar Rhamdi