Suarakampus.com- Perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) yang ke-46 tahun, Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Suara Kampus adakan diskusi publik terkait fungsi dan payung hukum Pers Mahasiswa (Persma). Pembicara dalam acara dari Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Novia Harlina dan Ketua Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang Ilhamdi Putra, Minggu (30/11).
Kegiatan tersebut di moderatori oleh Fachri Hamzah Wartawan dari media tempo.
Berbicara soal fungsi dan payung hukum Persma tentunya ini adalah topik hangat yang akan diperbincangkan dikalangan pers mahasiswa pada zaman sekarang.
Ketua LBH Padang, Ilhamdi Putra mengatakan, jika membahas payung hukum bagi Persma ini antara ada tapi tidak ada dalam pengaturan secara ideologis dalam UU Pers. “Namun jika dihubungkan sistem pendidikan dengan Pers mahasiswa tentunya ini salah satu fungsi Jurnalistik,” ujarnya.
Pers profesional dengan pers mahasiswa punya hubungan keterkaitan yang erat. “Untuk itu perlu adanya praktek perlindungan hukum,” jelas dosen Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Andalas.
Berkaca pada kasus kekerasan seksual yang terjadi di tingkat universitas, menjadi isu yang mustahil tidak disoroti lebih jauh oleh Persma. Banyaknya kasus kekerasan seksual dalam konteks tersebut justru kampus akan lebih bersifat reprensif kepada mahasiswanya. “Pada kasus ini dapat dilihat adanya ketimpangan relasi kekuasaan dikampus,” jelasnya
Kemudian, pasal 18 UU Pers tentang penghalang-halangan kerja Jurnalisme adalah tindakan pidana ada denda dan sanksi pidana. “Namun seberapa jauh UU Pers dan ekonomi Pers di Indonesia bisa mampu melindungi pers mahasiswa ini juga menjadi pertanyaan di kepala saya,” ungkap penulis buku Upaya Menyeret Pemerintah ke dalam Ruang Kausalitas 2024.
Tambahnya, belum ada aturan hukum tentang perlindungan Pers mahasiswa dan tentunya hal ini merupakan sebuah isu yang harus diperjuangkan bersama. Mengupayakan pers mahasiswa karena kampus itu adalah miniatur negara. “Pers mahasiswa selalu menjadi sasaran empuk bagi oknum yang menghalangi kerja Jurnalistik di dalam kampus dan sering berdampak pada nilai sehingga inilah yang harus kita lindungi,” tegasnya.
Oleh karna ini Ilhamdi menyampaikan, Pers melakukan fungsi penekan dan pengawasan. Untuk itu yang dibutuhkan adalah regulasi, bukan regulasi yang menyamakan pers mahasiswa dengan profesional tapi regulasi yang sama-sama melindungi pers mahasiswa dan Pers profesional. “Saya mengatakan pers profesional bukan berarti mengatakan teman-teman Persma melakukan persis seperti apa yang dilakukan pers profesional,” jelasnya.
“Namun ketimpangan disini, apakah oknum-oknum yang menghalangi kerja Jurnalistik ini punya saksi hukum terhadap sanksi mahasiswa sekalipun pers mahasiswa punya fungsi ideologis yang sama,” ujarnya dengan menimbulkan pertanyaan
Pers mahasiswa adalah sasaran yang sangat empuk menjadi subjek yang sangat rentan untuk dikenai sangsi. Ironisnya kawan-kawan yang di Makassar melakukan tindakan yang represif bahkan berita itu jika yang melakukan adalah pers profesional, selagi ia melakukan tugas jurnalistiknya sesui dengan kode etik jurnalistik maka tidak bisa di pidana. “Beberapa tahun lalu juga ada kasus tentang Pers mahasiswa yang ditahan ijazahnya hingga mahasiswa tesebut harus pindah ke kampus yang lain,” pungkasnya.
Fahri Hamzah dalam diskusi publik ini juga turut mengatakan, Dewan pers belum mengeluarkan regulasi soal bagaimana pers mahasiswa. “Namun, beberapa tahun ini Dewan Pers sudah gencar merangkul pers mahasiswa contohnya lewat penganugrahan pers mahasiswa,” jelas wartawan Tempo ini.
Pada sisi lain, Novia Harlina Ketua AJI Padang, menurutnya posisi Pers mahasiswa saat ini sangat rentan. AJI melihat pers mahasiswa secara sah belum memiliki landasan hukum. Walaupun Dewan pers selalu mengatakan menjamin perlindungan bagi pers mahasiswa namun kenyataannya hari ini belum ada regulasi yang dikeluarkan dewan pers maupun kementrian pendidikan” jelas jurnalis liputan6.com di Sumatra Barat ini.
Selain itu, Pers mahasiswa atau UKM Pers jika bermasalah dan berurusan dengan pidana belum tahu bisa diselesaikan. Sedangkan, lembaga menstrim bisa diselesaikan dengan cara jurnalistik, etika jurnalistik dengan Dewan Pers yang tidak serta-merta kena tindakan pidana.
Menanggapi kasus Pers mahasiswa yang baru-baru ini terjadi, mahasiswa juga punya jalan yang panjang dan kampus juga perlu memberikan perhatian. Seharusnya kampus juga bisa pasang badan dan menjaga mahasiswa. “Jangan menjadi orang yang malah mendorong mahasiswanya di pidana meskipun yang diberitakan kampus juga,” paparnya.
Kemudian, AJI khususnya kota Padang selalu merangkul teman-teman lembaga Pers Mahasiswa agar menghasilkan produk Jurnalistik yang aman tidak semprono. “Pers Mahasiswa menjadi bagian penting dari AJI Padang karena AJI Padang juga ada dari anggota Persma,” jelas jebolan Politeknik Negri Padang ini.
Tambahnya, wartawan yang sudah punya payung hukum saja masih mendapat celah untuk tindak pidana apa lagi jika tidak ada payung hukum. “Ini merupakan sebuah tantangan dan masih menjadi celah selagi belum ada lapor atau konfirmasi,” imbuhnya.
Novia juga memberikan upaya yang bisa dilakukan AJI agar kedepannya Pers mahasiswa tidak didiskriminalisasi. AJI, membuka Open Recruitment (OR) yang dimana pihak dari Persma bisa gabung. “Beberapa tahun terkhir AJI menerima Pers Mahasiswa menjadi anggotanya, dengan syarat 12 karya dalam satu tahun,” jelasnya.
“Ini adalah bentuk AJI melindungi Pers Mahasiswa apabila terjerat tindak pidana dengan syarat selalu mematuhi kode etik jurnalistik. Jika ada anggota Pers yang nantinya produk Jurnalistiknya bermasalah maka AJI pasti akan pasang badan untuk melakukan perlindungan hukum,” tegasnya.
Upaya lainnya, jika ada kasus yang bukan anggota AJI Padang, anggota Pers mahasiswa yang terkena diskriminasi juga mendapatkan pendampingan dengan melaporkan kasus tersebut kepada AJI. “Kita membuka diri untuk mahasiswa yang melapor ke AJI untuk pendampingan. Berhimpun dan berkumpul adalah sesuatu kekuatan,” tegas wanita berkacamata bulat ini ketika malam puncak acara HUT.
Diskusi ini terus berlanjut dan bertambah hangat setelah dibukanya dua pertanyaan oleh moderator. Pertanyaan pertama dari Nanang Sanjaya, bagaimana langkah yang di ambil ketika dilapangan kita mendapatkan tekanan-tekanan oleh pihak yang berwenang saat liputan? Dan memastikan keselamatan diri tanpa melanggar prinsip kebebasan pers.
Pertanyaan kedua dari Miftahul Rahman terkait perihal pers yang memiliki banyak tantangan dalam liputan. Timbul pertanyaan kenapa pers mahasiswa tidak punya payung hukum yang jelas? dan Bagaimana nasib kita para Persma kedepannya?.
Dari pertanyaan nanang dan Rahman ditanggapi oleh Ilhamdi. Terkait dengan pertanyaan Nanang, ketika Pers mahasiswa terjun kelapangan harus memiliki integritas dan kemampuan serta berpengang teguh dengan kode etik. “Selama fungsi Jurnalistiknya dijalankan dan mematuhi kode etik dan UU Pers, jangan takut jika ada tekanan dari pihak yang memiliki kekuasaan,” jelas penerima favorit 3 kategori umum writing competition 2023 MK RI ini.
Dari pertanyaan Rahman, LPM bisa membentuk badan hukum yayasan atau koperasi. Yayasan dan koperasi inilah yang memiliki usaha karya jurnalistik yang payung hukumnya berada pada payung hukum tersebut.
Potensinya bisa kita gunakan membentuk yayasan atau koperasi yang sifatnya bukan mencari laba atau keuntungan tapi yayasan yang memiliki badan usaha, dan menjalankan fungsi Jurnalistik. “Akibatnya, secara tidak langsung fungsi Jurnalistik yang dijalankan secara hirarkis bisa berputus dari kampus,” ujarnya.
Apakah kemudian lembaga ini dapat perlindungan dari kampus? Tentunya dapat. “Namun kampus tidak sepenuhnya melindungi lembaga tersebut. Karena nyatanya intimidasi dari oknum kampus kepada Pers mahasiswa banyak terjadi,” ungkap Novia.
Kemudian, payung hukum pers profesional hukumnya sudah selesai bahkan UU Pers yang dibuat ini adalah UU Pers terbaik yang dibuat Indonesia. Pers profesional punya persoalan di SDM, sedangkan Pers mahasiswa payung hukumnya belum ada dan SDM nya masih minim.
Ketika ingin membentuk yayasan maka disaat yang bersamaan SDM nya harus dibekali kualitas jurnalistik yang baik. “SDM ini dibangun melalui pelatihan jurnalistik yang memadai, pemahaman etika jurnalistik,” ucapnya.
Pers mahasiswa pasti ada yang namanya human eror, yang mereka belum ada terikat kode etik seperti pers professional. Bukan membedakan pers profesional dengan pers mahasiswa, ketika verivikasi yang dilakukan oleh dewan pers kepada perusahaan pers, dia harus menggunakan parameter tersebut. Akan tetapi ketika kita memberikan pembedaan kepada pers mahasiswa disitulah dewan pers menggunakan parameter yang sama antara verivikasi dengan perusahaan pers dan pers mahasiswa.
“Pada saat itulah yang diukur oleh dewan pers adalah karyanya bukan bagaimana batas tata kelola seperti adakan gajinya, BPJS dan lainnya yang terjadi dalam praktek media alternatif,” ungkapnya.
Perbedaan pada porsinya terhadap perusahaan pers dan pers mahasiswa payung hukumnya bisa disamakan. “Secara tidak langsung pers mahasiswa sudah memiliki badan hukum seperti badan operasi kemudian ada badan usaha yaitu jurnalistik ketika itulah pers mahasiswa juga menjadi subjek hukum,” tuturnya.
Novia juga menambahkan pertanyaan dari para penanya. Pers mahasiswa ketika menuliskan berita atau liputan yang sesuai kode etik jurnalistik dan aturan yang ada maka jangan takut. “Meskipun secara payung hukum tidak terlindungi secara hitam putih tapi secara dewasa itu sudah menekan MOU dengan kementarian pendidikan sehingga tetap ada kekuatan untuk teman-teman tidak takut pada berita berita yang kritis,” tegasnya.
“Tetaplah menulis berita berita yang kritis karna Aji Padang dan LBH akan siap mendampingi kawan-kawan untuk mengungkapkan sesuatu yang benar dengan kode etik,” pungkasnya.
Harapannya, pers mahasiswa bisa menjaga diri sendiri dengan menambah skill dan ikutilah pelatihan yang ada diselenggarakan Aji dan lembaga lain yang mengadakan. “Tetap produktif dalam menulis, carilah pengalaman diluar juga, tambah skill dan pengalaman. Kita tidak bisa bicara badan hukum, regulasi ketika skill diri kita sendiri masih seputar kampus. Jadi mari berkolaborasi,” tutupnya. (Ira)
Wartawan: Sofi Asri