Suarakampus.com- Film dokumenter Dragon for Sale mengangkat sisi gelap pembangunan pariwisata super premium di Labuan Bajo Nusa Tenggara Timur (NTT) Indonesia. Film tersebut ditayangkan oleh Aliansi jurnalis Independen (AJI) Padang saat nonton bareng warga Padang di Pustaka Steva, Siteba.
Film dokumenter tersebut, diproduksi oleh Ekspedisi Indonesia Baru yang disutradarai oleh Dandhy Dwi Laksono ini terdiri dari lima seri. Film seri pertama dan kedua yang telah dirilis pada tanggal 01 April 2023 dan ketiga seri lainnya menyusul.
Sutradara film dokumenter Dragon For Sale, Dandhy Dwi Laksono lewat zoom meetingnya, menceritakan, film tersebut diangkat dari topik yang sangat luas dampaknya, akibat pengembangan ekonomi pariwisata seperti, peminggiran warga lokal, penyangkalan hak masyarakat adat, privatisasi pantai, pencaplokan sumber daya alam, pengrusakan hutan, yang dilakukan oleh investor-investor besar.
Sebelumnya, pemerintahan Indonesia dengan gencar mengembangkan ekonomi berbasis pariwisata, guna memperbesar pemasukan devisa dan menggeser agar tidak bergantung kepada ekonomi ekstraktif. “Berbeda dengan temuan saya di lapangan, pengembangan pariwisata tersebut tidak ada ubahnya seperti ekonomi ekstraktif, sebab dampak yang ditimbulkan sama halnya dengan pertambangan,” ujarnya.
“Lantaran membangun ekonomi pariwisata yang tidak terencana serta instan, masal dan berbasis investasi,” tambahnya, Senin (10/04).
Menurut pemantik film dokumenter Dragon For Sale, Direktur Yayasan Citra Mandiri (YCM) Mentawai, Rifai Lubis mengatakan setelah menonton film ini, ia melayangkan pikirannya ke Mentawai. Pasalnya strategi pariwisata di Mentawai hanya menguntungkan segelintir kelompok pengusaha karena gagasan yang dibangun oleh pemerintahan bisa diwujudkan oleh investor, sebab dinilai memiliki sumber daya mumpuni.
”Jika devisanya datang dari masyarakat,mungkin pemungutan pajaknya sedikit. Intinya kepentingan ekonomi,” ujarnya.
Pengembangan pariwisata tersebut bersifat netral, lantaran menganggap semua kalangan dengan strata yang sama. Sebetulnya tidak semua bisa mengimplementasikan gagasan yang dibuat oleh pemerintahan tersebut, karena terbatas oleh sumber daya.
”Semua akan bisa mengambil sesuai dengan porsinya masing-masing, ternyata tidak, sehingga tidak semua bisa menikmati proyek tersebut,” katanya.
Kendati demikian, hal tersebut ditanggapi oleh Founder sumatera Wild adventure, Novi Fani Ravika mengatakan, pembangunan pariwisata super premium oleh pemerintah tersebut, ia menganggap itu hal yang baik. Namun demikian, pemerintah harus memperhatikan wilayah yang berstatus konservasi.
“Seperti visual dalam film dokumenter Dragon For Sale, terlihat komodo dijadikan objek wisata secara masal,” katanya.
Hal demikian bisa dihindari dengan kerja sama pengelola kawasan dengan pemangku kepentingan yang bermitra. Seperti, lembaga yang terfokus ke konservasi. “Agar pemangku kepentingan bisa bekerja dengan tupoksinya masing-masing,” ujarnya.
Sementara itu, Jurnalis travel, Fatris mengatakan dalam film dokumenter Dragon For sale tersebut statement orang Indonesia kapitulasi. Pasalnya, membangun pariwisata tanpa memikirkan dampak yang lainnya. “Pemerintahan berhasil membangun tempat destinasi wisata walaupun di sana terdapat perusakan lingkungan dan warga lokal yang tergusur,” katanya.
“Berapa banyak masyarakat yang tergusur atas nama pariwisata,” tutupnya. (red)
Wartawan: Fajar Hadiansyah dan Junika (Mg)