Oleh: Nandito Putra
Semenjak ibu dibelikan TV baru oleh ayah, akhir-akhir ini ia lebih banyak diam dan irit bicara.
“Anak-anak sekarang bersekolah di ruang kaca yang ada di genggamannya,” kata Ibu suatu waktu kepada dirinya sendiri di suatu pagi yang dingin.
Ketika negara menyelenggarakan sekolah dari layar kaca, barangkali tidak ada lagi salaman seorang anak sebelum menuju ruang kelas yang membosankan, tidak ada sarapan pagi dan pertanyaan memuakkan tentang di mana kaus kaki, buku atau pikiran mereka terselip: barang-barang ini sulit ditemukan di pagi hari.
Dulu Ibu sering marah-marah ketika kami terlalu lama menonton TV; sebenarnya tidak begitu. TV hanya hidup lebih lama pada hari minggu.
Sekarang, Ibu juga sering marah-marah karena TV hanya ditonton oleh dirinya bersama kesepian, sesekali ditemani ayah yang pastinya tidak menyukai sinetron melebihi kesukaannya pada acara dangdut atau pertandingan tinju yang membosankan.
Suatu waktu, kata Ibu kepadaku, yang jarang tinggal lebih lama di rumah ketika ia menyuruhku sekolah di universitas, “Kau tahu, TV baru yang layarnya tipis ini adalah hadiah termahal dari ayahmu setelah cincin pernikahanku,” demikian Ibu, sambil tertawa terbahak-bahak.
“Ternyata hadiah TV dari ayah lebih mahal dari empat orang anak manusia ini,” aku membalas dengan tawa yang pura-pura.
“HP mu juga lebih mahal daripada aku yang sering kau abaikan. Yang lebih lama kau tatap daripada wajahku yang sudah menua ini,”
Ia berlalu dan memutar sinetron Ikatan Cinta dengan volume maksimal, suaranya menelan seisi rumah, mengalahkan kerasnya pertanyaan “Kapan kau wisuda”
Rumah ini begitu misterius dan aku selalu merindukannya.