Jalan Terjal Menuju Tuhan

Bekas bangunan rumah ibadah yang diroboh paksa. (Sumber: Latif/suarakampus.com)

Suarakampus.com- Sabtu itu 22 Juli 2023, seantero Kota Solok diselimuti hawa panas terik matahari yang membakar kulit. Suara-suara percakapan terdengar menjalar keluar dari salah satu rumah ke jalan di gang sempit kompleks kawasan Polisi Militer. Beberapa orang silih berganti keluar masuk ruangan mulai dari ibu-ibu, bapak-bapak juga para pemuda. Di dalam ruangan, terdapat sejumlah pria sedang berdiskusi. Seorang pemimpin rapat menjelaskan berbagai hal, sedangkan yang lain duduk di kursi panjang menyimaknya.

Bangunan tersebut merupakan tempat ibadah umat Kristen dan Katolik yang difasilitasi oleh instansi TNI. Meski demikian, mereka enggan menyebutnya sebagai gereja. “Ini cuma tempat kami berkumpul, fasilitas polisi militer,” ucap seorang anggota jemaat kepada Suarakampus.com yang tengah berkunjung. 

Frans (bukan nama sebenarnya) pemeluk Katolik bercerita, sejak kecil ia tidak mengetahui adanya gereja yang berdiri di Kota Solok. “Saya sudah lama tidak ke gereja, setahu saya semenjak dari kecil gereja tidak pernah ada, yang ada tempat doa yang difasilitasi polisi militer,” keluh Frans. 

Seingatnya, gereja pernah dibangun di Kota Solok, sekitar tahun 1999 atau 2000-an. Dia tidak mengetahui secara pasti kenapa gereja tersebut tidak pernah dipakai. Sembari bercerita, Frans menunjukkan bekas bangunan yang dulunya pernah direncanakan akan dijadikan gereja.

Kondisinya seperti bangunan yang mangkrak, beberapa dinding sudah ada yang runtuh, di dalamnya sudah ditumbuhi semak belukar, tanaman warga dan kandang ayam. “Saya dapat cerita bahwa bangunan ini sudah selesai dan siap dipergunakan, Namun  sehari sebelum peresmiannya, ada sekelompok  masyarakat yang mendatangi dan meminta agar bangunan diruntuhkan kembali,” ujar Frans, pahit.

Di sebelah bangunan bekas gereja tersebut, seorang ibu rumah tangga, Santi (nama samaran) juga pemeluk Katolik, tidak mengetahui secara pasti kejadian tersebut. “Dulu ada puluhan orang datang ramai-ramai mendemo agar bangunan ini dirobohkan, tapi sepertinya bukan masyarakat di sini, tidak tahu dari daerah mana. Dalam keseharian  masyarakat sekeliling kami sangat toleran, tetangga kami biasa-biasa saja dengan kami, tidak ada diintimidasi sedikit pun,” ujar Santi.

Berbeda dengan Santi, Frans justru melihat ada kecenderungan warga di sekitarnya kurang terbuka terhadap perbedaan agama. Misalnya, ia pernah melihat seorang warga yang hendak menjual rumahnya. Namun spanduk penjualan  tersebut bertuliskan ‘Dijual selain kepada non muslim. Frans merasa heran dengan pengumuman yang diskriminatif tersebut.

Baik Frans dan Santi, beribadah setiap minggunya di salah satu rumah yang berada di kompleks Polisi Militer. Mereka harus berbagi waktu dengan umat Kristen Protestan. “Sudah bertahun-tahun tinggal di sini, saya ingin sekali memiliki gereja yang resmi,” tutur Santi, diiringi anggukan beberapa orang di sebelahnya.

Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik BPS tahun 2018, di Kota Solok terdapat 53 masjid dan 86 musholla, tapi tak ada satu pun rumah ibadah untuk umat non muslim. Padahal kota Solok dihuni 74.469 warga dan  sebanyak 269 orang merupakan umat Katolik. Menurut penuturan Ketua Gereja Katolik, Nelson Butar-Butar, umat Katolik di Kota Solok berjumlah 95 Kepala Keluarga (KK), atau sekitar 420 Jiwa. “Semuanya adalah pendatang, ada yang dari Jawa, Sulawesi, Papua, dan Batak (Sumatera Utara),” ujar Nelson.

Nelson sebetulnya memiliki harapan yang besar adanya gereja resmi sebagai tempat mereka beribadah, dan anak-anaknya belajar agama. Harapan tersebut dia pendam dalam-dalam karna yang terpenting baginya adalah keamanan dan kenyamanan hidup bermasyarakat. “(Saya) Punya harapan, tapi mau bagaimana lagi kami tidak mau membuat kegaduhan di sini.”

Di dalam ruangan seadanya, dengan luas sekitar 4×3 tersebut mereka berlutut, merapalkan doa dengan nada-nada penuh pengharapan. Walaupun sempit dan harus berbagi waktu menggunakan ruang tersebut dengan umat lain, mereka tetap bertahan beribadah di sana. “Untuk sekarang di sini dulu, walaupun apa adanya kami bertahan, Di mana langit dijunjung, di sana bumi dipijak (dimana kita berada, aturan disana yang harus kita ikuti),” tutur Nelson berusaha tersenyum, seperti sedang menghibur diri sendiri. 

Hidup di tengah-tengah masyarakat yang memiliki keyakinan berbeda dan aturan sosialnya, menjadi alasan umat Katolik di Solok untuk tidak ambisius membangun rumah ibadah.  Nelson menjelaskan, umat Katolik pernah mendirikan bangunan berukuran 12×8 Meter di Gurun Bagan Kelurahan VI Suku, Kec. Lubuak Sikarah Kota Solok. Namun, sebelum sempat dioperasikan, bangunan terpaksa dirobohkan karena salah informasi tentang kegunaan bangunan tersebut.

Bangunan inilah yang rupanya diingat oleh Frans dan Santi. Dalam perencanaan, bangunan itu akan digunakan untuk tempat tinggal guru agama sekaligus tempat belajar anak-anak. “Kalau tempat itu bisa dipakai, bisa kita maksimalkan waktu belajar anak-anak. Tetapi semua itu gagal akibat kesalahpahaman, mungkin juga ada provokatornya,” ujar Nelson.

Semenjak kejadian itu, tidak ada lagi upaya pembangunan gereja yang dilakukan umat Katolik. Namun setelah pembatalan bangunan gereja tersebut, kegiatan ibadah mereka tidak pernah mendapatkan gangguan dan intimidasi apapun.

Suarakampus.com mencoba menelusuri lebih lanjut perihal kegiatan belajar mengajar Katolik di Kota Solok. Namun permintaan itu ditolak guru agama Katolik. “Mohon maaf,  jangan dulu, ya,” balasnya melalui pesan whastapp.

Sepertinya, baik anggota jemaat maupun para pemuka Katolik cenderung menghindari berbicara terbuka kepada media, bisa jadi karena kejadian pembatalan pembukaan gereja itu barangkali menimbulkan trauma. Sebetulnya miris jika ada kelompok beragama yang entah bagaimana masih kesulitan mendirikan tempat ibadahnya sendiri. Di sisi lain, pemerintah kota Solok justru sedang mengampanyekan literasi keberagaman dalam masyarakatnya, seperti yang dilaksanakan Rabu (28/07/2023). 

Entah kebetulan atau tidak, Kampung VI Suku kec. Lubuk Sikarah  (lokasi bangunan gereja yang dirobohkan itu)  ditetapkan menjadi kampung Moderasi Beragama beserta kampung Jawa kec. Tanjung Harapan. Kampung Moderasi Beragama merupakan program Kementerian Agama (Kemenag) untuk mempromosikan perdamaian, toleransi, dan kerukunan antar umat beragama.

Peresmian kegiatan tersebut dihadiri oleh Wakil Wali Kota Solok, Ramadhani Kirana Putra, yang menyatakan pemahaman tentang keberagaman sangat penting bagi masyarakat yang hidup dalam heterogen baik secara agama, suku, budaya, dan etnis.

Kepala Seksi (Kasi) Bimbingan Masyarakat Islam (Bimas) Kementrinan Agama Kota solok,  Irawadi Uska, menyatakan penetapan Kampung Moderasi Beragama terhitung semenjak ditetapkan. Namun seperti apa detilnya program tersebut ternyata belum jelas, masih dalam tahap sosialisasi. “Untuk saat ini baru sebatas rapat, peluncuran, dan sosialisasi. Untuk tindak lanjutnya kami masih menunggu instruksi dari Kementerian Agama di pusat,” ujar Irawadi.

Irawadi menyatakan, Pemerintahan Daerah dan Kementrian Agama Kota Solok berkomitmen menjamin keberlangsungan kehidupan umat beragama di Kota Solok. Ada 28 orang penyuluh agama terdiri dari 12 orang PNS dan  16 orang Non PNS yang akan bertugas mengedukasi mengenai pemahaman moderasi beragama, meski memang belum ada penyuluh agama dari kelompok non Muslim.

Suarakampus.com mengonfirmasi peristiwa pembatalan pendirian gereja karena demonstrasi yang dilakukan sejumlah kelompok masyarakat, bahkan kabarnya mencapai ribuan orang. Irawadi membenarkan bahwa peristiwa itu memang pernah terjadi. “Awal-awal reformasi kalau tidak salah, masyarakat mendemo tempat itu, namun cepat diantisipasi dan diselesaikan.” Cerita Irawadi, sembari memejamkan mata dan mengerutkan dahinya dengan kepala dimiringkan.

Setalah itu konflik berbau agama tidak pernah terjadi di Kota Solok sampai sekarang. Namun sayangnya, baik gereja maupun rumah ibadah non muslim lainnya yang tidak pernah terwujud. “Itu demo yang besar, tapi telah selesai permasalahannya, dan sekarang saudara-saudara kita difasilitasi di kompleks Polisi Militer,” ujar Irawadi.

Menjawab harapan umat Katolik dan Kristen yang menginginkan rumah ibadah secara resmi, Irawadi menyatakan bahwa Kementerian Agama Kota Solok tidak akan menghalangi, selama sesuai dengan peraturan yang berlaku. Akan tetapi, menurutnya sampai sekarang belum ada pengajuan apapun. Irawadi menyatakan selama pertemuan dengan tokoh agama melalui kegiatan Forum Kerukunan Umat Beragama, persoalan rumah ibadah tidak pernah menguak ke permukaan diskusi. “Perwakilan Umat non-muslim sebagai anggota FUKB hanya satu orang. Mungkin mereka merasa minoritas sehingga tidak ingin menyuarakannya,” kata Irawadi.

Irawadi menyadari,  pemahaman moderasi bergama merupakan hal yang sulit untuk disosialisikan kepada masyarakat yang masih tradisional. “Sebenarnya prinsipnya (di dalam Islam), adalah lakum dinukum waliyadin, untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku, itu saja,” tegasnya.

Peraturan yang Belum Akomodatif Faktanya, di Sumatera Barat tidak pernah ada pembangunan rumah ibadah selain masjid. Bangunan gereja yang ada hanya peninggalan Belanda yang dijadikan sebagai cagar budaya dan bukan tempat ibadah. Angelique Maria Cuaca, pendiri Komunitas Pelita Padang, yaitu sebuah perkumpulan para pemuda lintas agama, menilai pemerintah belum sepenuhnya mengakomodasi  hak-hak minoritas agama  di Indonesia, seperti terlihat pada Peraturan Bersama Menteri (PBM)  Dua Menteri, yaitu Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri.

Di dalam PBM Dua Menteri tercantum syarat mendirikan rumah ibadah yaitu,  adanya minimal 90 Orang pengguna rumah ibadah, mendapat dukungan 60 orang masyarakat sekitar, direkomendasikan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), dan Departemen Agama setempat. “Setiap poin ini memiliki kesulitan (bagi kelompok minoritas). Lalu ketika semua persyaratan dipenuhi pun, persetujuan dari Walikota/Bupati belum tentu akan diperoleh dan bisa menjadi kesulitan selanjutnya,” ujar Angelique.

Angelique memandang pentingnya  perspektif Hak Asasi Manusia (HAM) dan kebebasan beragama dalam semua peraturan yang berlaku terkait pendirian rumah ibadah.  Apalagi di dalam UUD 1945 pasal 28E ayat 1 dan pasal 29 ayat 1 dan 2 sudah tertulis bahwa setiap orang berhak memeluk dan beribadat menurut kepercayaannya masing-masing dan dijamin oleh negara. “Jika ada peraturan yang membatasi, seharusnya pemerintah kembali merujuk kepada konstitusi tersebut,” tambah Angelique.

Setara Institut mencatat dalam periode 2007-2022 ada 573 kasus gangguan peribadatan dan pembangunan rumah ibadah minoritas, sebagaimana dilansir di KBR.id. Setara Institute memberikan rekomendasi agar pengajuan perizinan rumah ibadah diambil alih pemerintahan pusat dengan mekanisme yang mudah dan sederhana. Sebagaimana Angelique, sudah banyak aktivis dan akademisi baik di tingkat daerah maupun nasional yang gencar mengritisi  pemerintah agar melakukan perbaikan atas SKB 2 Menteri yang dinilai diskriminatif terhadap kelompok minoritas beragama.

Namun hingga hari ini, SKB 2 Menteri belum kunjung direvisi. Sikap pro-aktif dari pemerintah setempat untuk memfasilitasi kelompok minoritas beragama belum terlihat, masih lebih banyak bersikap normatif. Hal-hal yang terkait perbedaan agama justru cenderung tabu dibicarakan secara terbuka karena khawatir memicu konflik, tapi di sisi lain malah rentan menimbulkan prasangka.

“Penting bagi masyarakat untuk  terus meningkatkan literasi keberagamannya, dengan memahami bahwa setiap warga negara itu setara dan semartabat dengan menghapus stigma dan prasangka buruk kepada orang dari agama berbeda. Kita mesti sering berdialog tentang perbedaan dan membuat ruang perjumpaan lintas agama,” ujar Angelique.

Hingga kini, rasanya belum ada yang merangkul kelompok minoritas beragama dan memfasilitasi kebutuhan mereka akan tempat ibadah yang layak. Pemeluk agama minoritas pun tak punya banyak pilihan, selain diam dan terpaksa menelan keadaan yang diskiminatif. Entah sampai kapan, Frans, Santi, Nelson, umat Katolik, Kristen dan pemeluk agama minoritas lainnya masih harus meniti jalan terjal menuju Tuhannya. (una)

Wartawan: M. Abdul Latif

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Kerugian Mencapai Puluhan Juta Rupiah, Harga Tiket Bus Kampus Dinaikkan

Next Post

Mahasiswa KKN UIN IB Olah Ampas Tebu Menjadi Keripik

Related Posts
Total
0
Share
410 Gone

410 Gone


openresty