Oleh : Mumtazul Ilmi Fikriansyah Sitepu
Setiap 21 April, bangsa ini memperingati Hari Kartini. Di banyak tempat, perayaan berlangsung meriah: anak-anak memakai kebaya dan beskap, lagu “Ibu Kita Kartini” dinyanyikan, dan nama Raden Ajeng Kartini digaungkan kembali. Namun, yang sering luput adalah pemahaman mendalam terhadap gagasan yang diperjuangkan Kartini. la, lebih dirayakan sebagai simbol nasionalisme dan femininitas ideal ketimbang sebagai pemikir yang resah dan kritis terhadap ketimpangan yang mengurung bangsanya, terutama perempuan.
Dalam konteks inilah, buku “Panggil Aku Kartini Saja” karya Pramoedya Ananta Toer menjadi sangat relevan. Buku ini bukan sekadar biografi alternatif, melainkan upaya dekontruksi terhadap mitos Kartini. Pramoedya mengajak pembaca melihat Kartini bukan sebagai patung sejarah yang beku, melainkan sebagai manusia utuh perempuan muda yang berpikir, menulis, dan memberontak.
Salah satu penegasan paling penting dalam buku tersebut adalah penolakan Kartini terhadap gelar kebangsawanannya, “Raden Ajeng”. Ia lebih memilih dipanggil “Kartini saja”. Sebuah sikap sederhana, tetapi sarat makna. Gelar itu, bagi Kartini, adalah bagian dari sistem feodal yang justru turut menindasnya. Dengan menanggalkannya, Kartini tidak sedang merendahkan asal-usulnya, melainkan sedang memperjuangkan ruang setara bagi siapa pun, tanpa dibatasi status sosial.
Pramoedya tidak sedang memuja Kartini. Ia justru berusaha membebaskan Kartini dari beban simbolik yang selama ini dikonstruksi oleh negara dan masyarakat. la ingin memperlihatkan bahwa, Kartini adalah perempuan biasa yang luar biasa. Seorang intelektual muda yang melawan penindasan dari dua sisi: kolonialisme Belanda dan feodalisme Jawa yang patriarkis. Dalam surat-suratnya kepada teman-teman korespondensi di Belanda, tergambar jelas keresahan, kecerdasan, dan keberanian moral yang jarang disorot dalam narasi resmi tentang dirinya.
Kartini sadar bahwa bangsanya dijajah bangsa lain, tetapi ia juga paham bahwa kaumnya dijajah oleh adat dan budaya sendiri. Maka perjuangannya tidak tunggal. la menulis bukan untuk menuntut hak pribadi, melainkan demi kaum perempuan pribumi yang terkekang oleh sistem yang berlapis-lapis: kolonial, adat, dan agama. Surat-surat itulah yang oleh Pramoedya dibaca ulang, dihidupkan kembali sebagai dokumen perlawanan yang berlapis antara kemanusiaan, gender, dan nasionalisme.
Ironisnya, dalam perayaan Hari Kartini, kompleksitas semacam ini kerap diabaikan. Kartini sering kali dipotret sebagai perempuan lemah lembut yang “berjasa” karena mendukung pendidikan bagi perempuan. Gambaran ini memang tidak salah, tetapi tidak cukup. Kartini yang ditampilkan dalam seremoni hanya sebatas simbol nasionalisme, bukan intelektual yang kritis. la dirayakan, tetapi tidak dipahami. la dikenang, tetapi tidak dilanjutkan perjuangannya.
Sementara itu, ketimpangan gender masih menjadi masalah serius di berbagai lini kehidupan. Akses perempuan terhadap pendidikan, ekonomi, hingga ruang-ruang pengambilan kebijakan belum merata. Stigma terhadap perempuan yang berpikir bebas pun masih kuat. Dalam konteks ini, “Panggil Aku Kartini Saja” adalah pengingat keras bahwa perjuangan belum selesai. Apa yang dituliskan Kartini lebih dari seabad, lalu masih menggema hingga hari ini.
Oleh karena itu, merayakan Kartini seharusnya tidak hanya berhenti pada simbol. Kita perlu membaca ulang pemikirannya, menggali kembali keberaniannya, dan melanjutkan semangat perlawanan yang ia mulai. la, bukan sekadar sosok yang dikisahkan ulang dalam buku teks sejarah, melainkan tokoh yang menulis sejarahnya sendiri, dengan bahasa yang tegas dan jiwa yang merdeka.
Dengan memilih dipanggil “Kartini saja”, ia sudah lebih dulu menunjukkan bahwa kemuliaan tidak terletak pada gelar atau garis darah, melainkan pada keberanian untuk berpikir dan bersuara. Sebuah pelajaran yang amat penting bagi bangsa yang masih berjuang mengikis ketimpangan hingga hari ini.