Suarakampus.com- Kepala Pusat Riset Politik (PRP), Nostalgiawan Wahyudi, memaparkan awal kemunduran demokrasi di dua negara yang mayoritas muslim yakni Indonesia dan Turki. Katanya, secara umum refleksi penyebab merosotnya demokrasi di negara tersebut akibat kericuhan politik yang tidak kompatibel.
“Sangat disayangkan, negara dengan mayoritas muslim memiliki kegagalan regenerasi demokrasi,” ungkapnya saat Webinar Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN) bertajuk Proyeksi Demokrasi dan Dinamika Politik 2022, Rabu (02/02).
Wahyudi mengatakan, degradasi tersebut bermula dari bentrokan antara presiden Turki, Erdogan dengan kelompok Gulen yang terjadi tahun 2017 silam. Perpecahan itu mengakibatkan perubahan konstitusi dan sistem politik di Turki.
“Situasi tersebut terjadi melalui referendum dari sistem parlementer menuju presidensil,” jelasnya.
Lanjutnya, menghadapi krisis demokrasi tersebut, Erdogan mengambil langkah-langkah politik yang kontraproduktif dengan demokrasi. Di antaranya menciptakan iklim politik yang tidak kompetitif, menekan manipulasi politik serta memusnahkan kolusi politik yang buruk.
“Kegagalan regenerasi politik menjadi sebab dalam persaingan para partai politik di Turki,” ungkapnya.
Selain itu, ia juga menyoroti kemunduran demokrasi di Indonesia. Menurutnya, kontestasi politik di Indonesia cenderung mengarah pada politik bipolar, hingga akhirnya memperuncing pengkubuan politik dalam dua kelompok besar.
“Penurunan demokrasi di Indonesia turun secara signifikan, baik kebebasan pendapat warga sipil maupun pengelolaan pemerintahan,” terangnya.
Menghadapi situasi politik di negara demokrasi, Wahyudi menegaskan kepada pemerintah untuk dapat mengatur partisipasi politik oposisi di ruang publik serta lembaga politik yang kontraproduktif.
“Potensi regresi demokrasi cenderung terjadi akibat ulah institusi negara,” tutupnya. (hry)
Wartawan: Zaitun Ul Husna (Mg)