Suarakampus.com– Konflik agraria yang terjadi di wilayah desa Kemayongan, Kecamatan Sumai, Kabupaten Tempo masih belum menemukan titik terang hingga saat ini. Permasalah tersebut di awali saat keluarnya surat izin PT Lestari Asri Jaya pada awal tahun 2007 silam.
Salah seorang warga yang mewakili sembilan desa dari Jambi, Zalik mengungkapkan bahwa adanya ketimpangan dari segi hak kepemilikan tanah yang sudah dikelola oleh masyarakat sejak dulunya. “Saat surat izin keluar, hak kami seperti hilang, padahal dari dulu kami menggarap tanah ini,” ungkapnya pada diskusi publik yang bahas nasib konflik agraria di tengah wacana perpanjangan jabatan, Sabtu (26/03).
Lanjutnya, dirinya juga mengatakan jika warga setempat juga sempat mendapatkan perlakuan intimidasi dari perusahaan tersebut. “Ada yang melakukan sikap yang tidak baik kepada kami, mulai dari preman hingga aparat hukum,” lanjutnya.
Kemudian, kata dia, wilayah kelola masyarakat yang seluas 419,175 Hektar juga mengakibatkan pada sektor pencarian warga. “Kami sudah menolak terhadap ini, tapi sampai sekarang belum didengarkan,” katanya.
Selaku Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) wilayah Jambi, Ginda Harahap menegaskan bahwa selain adanya sikap intimidasi, pernah terjadi penembakan di wilayah ini. “Tercatat di desa Sungai Paur sudah terjadi penembakan oleh aparat, ini merupakan suatu hal yg mengerikan yang di alami oleh petani,” tegasnya.
Ia menjelaskan, jika membeberkan termasuk provinsi yang memiliki kasus agraria tertinggi yaitu tercatat nomor dua tertinggi se Indonesia dengan catatan Walhi 162 konflik.
Kemudian, Ginda menjelaskan sekitar 163 konsensi dari tiga perusahaan telah dilakukan pencabutan dari izin beberapa perusahaan.
” Di 163 konsensi ada tiga perusahaan yang di cabut izinnya dan empat dalam proses evaluasi,” jelasnya.
ngan sampai lahan yang tidak produktif yg dikelola oleh perusahaan di gantikan oleh perusahaan yang lebih produktif membuat konflik agraria dan menimbulkan kerusakan lingkungan, lebih baik lahan yang di cabut izinnya itu di kembalikan kepada masyarakat untuk di kelola secara bersama-sama,” jelasnya.
Ginda menuturkan bahwa pemerintah tidak boleh melakukan keuntungan sepihak terhadap adanya konflik tersebut. “Permasalahan agraria ini harus dituntaskan oleh pemerintah agar masyarakat terhindar dari sikap intimidasi itu,” tegasnya.
Menanggapi hal ini, Kuasa Pengguna Anggaran (KPA), Dewi Kartika mengatakan munculnya konflik tersebut disebabkan setelah disahkannya UU Cipta Kerja. “Kita memang mengahadapi satu tantangan politik agraria yang semakin liberal dan kapitalistik apalagi setelah UU cipta kerja,” sebutnya.
Dewi mengungkapkan dari sisi KPA terus menuntut pemerintah terkait perubahan paradigma terhadap agraria.
“Dari sisi KPA sendiri tetap meminta atau menuntut pemerintah melakukan perubahan paradigmatik agraria,” ungkapnya.
Ia mengatakan bahwa dalam bernegara yang tidak mengacu pada konstitusi, nantinya akan berdampak pada penghianatan terhadap rakyat. “Mereka dipilih oleh rakyat, maka harus bekerja sesuai dengan yang telah di sepakati oleh konstitusi,” tutupnya. (nsa)
Wartawan: Rolla Purnama Sari (Mg)