Suarakampus.com– 13 tersangka dugaan kasus tindak pidana korupsi pembebasan lahan tol Padang-Sicincin, di Nagari Parit Malintang, Kabupaten Padang Pariaman, jalani sidang yang digelar di Pengadilan Ad Hoc Tindak Pidana Korupsi Pengadilan Negeri (PN) Padang. Sidang ini dilangsungkan pada Kamis (14/04).
13 tersangka tersebut terdiri dari dua orang perangkat nagari, empat orang dari Badan Pertahanan Nasional, Pemerintahan Daerah (Pemda) Kabupaten Padang Pariaman dan Pelaksana Pengadaan Tanah, serta tujuh orang masyarakat penerima ganti rugi tanah lahan tersebut.
Kasus ini mengakibatkan kerugian negara sebesar 27 Miliar. Maka dari itu, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Padang mengawal jalannya persidangan. Hal ini bertujuan untuk memperjuangkan keadilan bagi masyarakat penerima ganti rugi tanah.
Kemudian, berdasarkan monitoring dan data yang telah dikumpulkan di lapangan, LBH Padang menduga masyarakat penerima ganti rugi tanah alami pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) saat pengadaan tanah untuk pembangunan Ibu Kota Kabupaten (IKK) Padang Pariaman pada tahun 2009 silam.
Saat itu, LBH Padang menjadi pendamping masyarakat Parit Malintang yang dipaksa menyerahkan 100 HA lahan pertanian dengan status ulayat kaum dan ulayat suku. Akan tetapi, pemerintah hanya membayar uang ganti rugi tanaman tanpa ganti rugi tanah yang diberikan dengan paksaan dan melanggar HAM.
Maka dari itu, hingga saat ini masyarakat tidak mau menerima ganti rugi tanaman yang diberikan oleh Pemerintah Kabupaten Padang Pariaman.
Selanjutnya, pada tahun 2017 masuklah proyek jalan tol untuk membuat rest area menjadi bencana bagi masyarakat sebelum menjadi korban pelanggaran HAM.
Ganti rugi tanah proyek tol dianggap sebagai pemulihan hak masyarakat atas tanahnya, namun menkriminalkan dan masyarakat dituduh korupsi. Sebagian tanah tersebut dijadikan Taman Keanekaragaman Hayati yang sempat menerima aliran dana dari Pemerintah Pusat. “Sikap pemerintah daerah yang berubah-ubah, membuat masyarakat mendapatkan tuduhan keji sebagai koruptor,” ungkap Adrizal selaku penanggung jawab isu Fair Trial.
Berdasarkan data lapangan yang didapat oleh LBH, Adrizal mengatakan bahwa nyatanya masyarakat tetap mengelola dan menguasai tanah tersebut hingga ganti rugi tol dibayarkan. Ganti rugi ini dilakukan oleh Pemerintah beserta jajarannya, serta ada pula dari instansi kepolisian dan kejaksaan. “Meskipun begitu, masyarakat yang jadi korban pelanggaran HAM malah di bui,” kata Adrizal.
Adrizal merasa kecewa ketika masyarakat yang sebenarnya menjadi korban pelanggaran HAM, malah dituduh korupsi. “Kami setuju dalam dugaan kasus ini ada dugaan korupsi, namun bukan dilakukan oleh masyarakat penerima ganti rugi tanah,” tuturnya.
Selain itu, ia menyebutkan ada satu masyarakat yang berkolaborasi dengan instansi pemerintah sehingga merugikan keuangan negara. “Masyarakat penerima ganti rugi tanah lainnya hanya terseret dan diduga menjadi korban kriminalisasi atas kasus ini, ” pungkasnya.
Atas terjadinya hal ini, Adrizal menegaskan bahwa LBH Padang meminta Majelis Hakim Tindak Pidana bersikap hati-hati dalam menangani kasus tersebut. “Kami meminta pihak Majelis Hakim untuk lebih menelaah, meneliti fakta lapangan dan memberikan keadilan bagi masyarakat,” katanya.
Adrizal juga menyampaikan LBH Padang mengingatkan kepada semua pemerintah daerah yang melakukan pelanggaran HAM atas tanah akan berakibat fatal bagi masyarakat dan akan merekvitimisasi kembali korban pelanggaran HAM. “Pemda wajib bertanggung jawab atas masalah ini,” tegasnya. (nsa)
Wartawan : Redaksi