Suarakampus.com- Menyadari pentingnya keterlibatan masyarakat dalam upaya penghapusan berbasis gender, Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Sembada adakan Webinar dan diskusi. Bertemakan Kekerasan Berbasis Gender dan Pendekatan Hukum Berbasis Adil Gender, Webinar ini berlangsung secara virtual, Sabtu (16/01).
Webinar ini dihadiri beberapa pembicara yaitu Akademisi Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Sri Wiyanti Eddyono, Rifka Annisa Women’s Crisis Center Khoirun Ni’mah, dan Dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Pengendalian Penduduk dan Keluarga Berencana (P3AP2KB) Sleman oleh Hidayatun Rahayu.
Indonesia telah meratifikasi Konversi Internasional Penghapusan Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW) melalui Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 1984. Berdasarkan data jumlah kekerasan terhadap perempuan dalam Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), yang diluncurkan bulan Maret 2020. Ditemukan sebanyak 4.898 kasus kekerasan seksual mengalami peningkatan dari tahun 2019.
Pembicara pertama, Akademisi UGM, Sri Wiyanti Eddyono menerangkan kekerasan berbasis gender terjadi karena relasi gender belum seimbang. Adanya Covid-19 tidak menghentikan kekerasan berbasis gender, namun memunculkan kekerasan online.
“Kita memiliki UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, UU Anti Perdagangan Orang, UU Kewarganegaraan, UU Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga. Dengan adanya UU ini tentu kita bisa jadikan itu sebagai bahan yang kuat, untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan korban kekerasan,” tegasnya.
Lanjutnya, berdasarkan data dari Komnas Perempuan terdapat peningkatan signifikan kekerasan terhadap perempuan terjadi pada tahun 2018 tercatat 406.178 kasus, dan pada tahun 2019 terdapat 431.471 kasus.
Sri menjelaskan Terdapat persoalan gender yang berdampak kepada pembekuan peran gender, yang meletakkan perempuan menjadi lebih rendah dibandingkan laki-laki.
“Seperti subordinasi, beban yang berlebihan (double or triple roles), peminggiran perempuan (marginalisasi), praktik-praktik pembedaan berbasis gender (diskriminasi), kekerasan berbasis gender, serta pelabelan negatif (gender stereotype),” jelasnya.
Senada dengan Sri Wiyanti Eddyono, Rifka Annisa Women’s Crisis Center, Khoirun Ni’mah mengatakan dinamika psikologi yang dialami korban kekerasan berbasis gender, ketika mengalami kekerasan dan berusaha untuk mengatasi masalah tersebut.
“Namun selalu gagal karena tidak adanya dorongan dari lingkungan dan diri sendiri sehingga mengalami tekanan yang berujung pasrah pada keadaan,” katanya.
Khoirun Ni’mah menuturkan penanganan kasus dan pendampingan korban kekerasan, memiliki kebutuhan untuk diketahui seperti kebutuhan psikologi, hukum, medis, psikofisiologis, dan ekonomi. “Untuk pemulihan korban kekerasan, butuh dukungan dan dorongan dari lingkungan, keluarga, dan diri sendiri,” tuturnya.
Selanjutnya, Dinas P3AP2KB, Hidayatun Rahayu menegaskan penting adanya peraturan daerah untuk mengenalkan kepada masyarakat terkait perlindungan terhadap perempuan dan anak.
“Dengan melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentu dapat menciptakan pemahaman masyarakat mengenai hal ini,” tegasnya. (Ulf)
Wartawan: Nada Andini (Mg).