Judul buku: Surat Galau untuk Tuhan
Pengarang: Abrar Aziz
Penerbit: Kaifa Publishing
Tahun Terbit: 2017
Jumlah Halaman: 118
ISBN: 978-602-0872-74-2
Resensiator: Padila Yusra
Buku yang berjudul Surat Galau untuk Tuhan ini merupakan karangan dari Abrar Aziz, berisikan cerita-cerita singkat tentang pengalaman penulis yang membuat kita tersenyum kecil ketika membacanya, karena memang apa yang dipercikan di dalam buku ini benar-benar terjadi di tengah-tengah masyarakat pada zaman kontemporer ini.
Kegalauan penulis tentang Indonesia dan nilai-nilai keislaman yang mulai memudar di berbagai kota, termasuk kampung halamannya sendiri yang jauh dari kota metropolitan tepatnya di Kota Pariaman, itu membuat dia tidak tau apa yang harus diperbuat.
Abrar Aziz mampu membuat pembaca berimajinasi dengan coretan mengandung unsur fantasi dengan memasukkan subjek pembicaraan seperti komandan setan, malaikat, dan Tuhan. Tentunya hal tersebut di luar akal sehat kita, namun hal tersebut ada benarnya juga jika lebih dipikirkan lagi secara teoritis dan para pejabat dengan kebusukannya.
Ada yang menarik dari buku ini, tentang objek fantasi seperti setan dan Tuhan :
Kegalauan setan tentang dinasnya di Indonesia tidak berjalan lancar, harapannya menjadi perwira tinggi di dunia persetanan tidak terwujud karena tugasnya mengganggu orang sholat tidak berjalan lancar, karena tanpa diganggu pun orang-orang sholat sudah tidak khusyuk.
Jika dilihat-lihat lagi hal yang seperti itu tidak hanya terjadi di dalam cerita Abrar Aziz ini saja, jangan menilai orang lain dulu, diri kita sendiri kadangkala juga pernah pada posisi tersebut. Uang belanja yang sudah menipis, hutang yang harus dibayar, tugas hidup begitu rumit, bahkan masih sempat-sempatnya memikirkan anak orang ketika sholat.
Kemudian curhatan anak Sekolah Menengah Pertama (SMP) kepada Tuhan-Nya. Ia berusaha mengirim surat kepada Tuhan-Nya dengan judul “Surat Galau Untuk Tuhan (SGUT)”. Bisa dikatakan dia masih anak di bawah umur. Seorang anak yang tidak mengerti tentang dosa dan sebuah kehormatan diri. Ia berbicara seolah dengan teman sebayanya kepada Tuhan, “loe gue” itu bahasa percakapannya dengan Tuhan. Menariknya lagi ia juga berjanji akan rajin sholat dan mengaji jika Tuhan mau membantunya dan membalas suratnya.
Namun, ada beberapa dari buku ini yang melakukan kritikan terhadap suatu permasalahan tetapi tidak memberikan solusi. Boleh jadi jika yang membaca adalah kaum dengan pemikiran dan intelektual tinggi dan bisa untuk memahaminya, lalu bagaimana jika yang jadi pembaca adalah rakyat kelas bawah yang hanya mau menerima, tanpa tahu apa yang harus dia perbuat setelah membaca buku ini.
Setiap permasalahan yang terjadi, di mana pun dan kapan pun itu perlu ditangani dengan baik.
Dalam bukunya penulis menggambarkan banyak sisi gelap dari negeri tercinta ini, mulai dari rakyat biasa sampai kaum elit. Mereka yang lupa fungsinya masing-masing.
Selain itu penulis juga menggambarkan keadaan kehidupan di dunia akhirat, pahit manis kehidupan seseorang dalam akhirat adalah tergantung perbuatannya selama di dunia, hal ini tergambar dengan percakapan orang yang sudah meninggal tersebut di alam akhir dengan sesamanya.
Buku ini menarik untuk dibaca bagi setiap kalangan, terutama bagi para remaja yang dapat memotivasi dan introspeksi diri dari pengalaman-pengalaman dan cerita yang telah digoreskan penulis.