Lima Hal yang Dapat Merusak Pahala Puasa

Sosok Prof. Dr. H.Syafruddin Nurdin (Foto: Dokuemntasi/suarakampus.com)

Khazanah

Penulis: H. Syafruddin Nurdin (Guru Besar UIN Imam Bonjol Padang)

Imam Al-Ghazali membagi kategori derajat dalam berpuasa atas tiga bagian, yaitu puasa umum, puasa khusus, dan puasa khawasul khawas (lebih khusus dari yang khusus).

Puasa umum adalah puasa yang dikerjakan oleh kaum awam (orang biasa), yakni mempuasakan dan mengendalikan diri dari makan, minum, serta berhubungan suami istri di siang hari atau hal-hal lain yang dapat membatalkan puasa.

Puasa khusus adalah puasa yang dikerjakan oleh kaum saleh. Selain berpuasa seperti puasanya orang awam, mereka pun mengendalikan anggota badan dari segala perbuatan dosa. Puasa khusus dapat dicapai melalui penguasaan terhadap lima perkara berikut ini secara konsisten:
(a) Menundukkan pandangan mata dari hal-hal yang tercela sesuai dengan syariat Islam.
(b) Memelihara lisan dari dusta, ghibah, adu domba, dan sumpah palsu.
(c) Memelihara telinga dari mendengar hal-hal yang dibenci Allah.
(d) Memelihara segenap anggota tubuh dari hal-hal yang dibenci oleh Allah, misalnya memelihara perut dari makanan yang shubhat.
(5) Tidak terlalu banyak mengisi perut ketika berbuka puasa, sekalipun dengan makanan yang halal.

Puasa khawasul khawas yaitu puasanya orang-orang saleh, disertai dengan pemeliharaan atas segala gerak-gerik hati dari tujuan yang bersifat duniawi. Artinya dia tidak semata-mata memikirkan masalah dunia untuk kemudian mengendalikan pola pikirannya dari niat-niat yang tertuju selain kepada Allah. Orang yang berpuasa dengan kategori ini akan merasakan puasanya gugur apabila dia memikirkan hal-hal selain Allah. Puasa seperti ini merupakan derajat puasa yang setingkat dengan para Nabi dan shiddiqin. Pada hakikatnya orang yang berpuasa seperti ini senantiasa menghadapkan jiwa dan raganya sepenuhnya kepada Allah, serta tidak berpaling kepada selain Dia.

Setelah kita mengetahui tentang kategori derajat dalam berpuasa, para pembaca dan penulis pasti sepakat bahwa dalam melaksanakan puasa Ramadan tahun ini kita tidak ingin nilai puasa tetap jalan di tempat. Kita harus berusaha agar nilai pahala puasa meningkat dari tahun yang lalu, meskipun belum sampai ke tingkat puasa khawasul khawas. Agama mengajarkan bahwa orang yang beruntung adalah yang hari ini lebih baik dari kemaren dan hari esoknya lebih baik dari hari ini (dilihat dari perspektif ibadah).

Untuk mencapai keberuntungan seperti itu dalam ibadah puasa, dapat dilakukan dengan cara menjauhkan diri dari hal-hal yang dapat merusak pahala puasa. Dalam salah satu sabdanya Nabi mengatakan: “Terdapat lima hal yang dapat menghapus pahala puasa, yaitu dusta, ghibah, adu domba, sumpah palsu, dan memandang dengan penuh syahwat”.

Dalam kehidupan yang penuh tantangan dan godaan seperti sekarang ini, gampang sekali orang melakukan dusta. Di kantor dan instansi pemerintah ada pegawai yang bolos tidak masuk kantor, lalu sewaktu ditanya atasannya, kenapa tidak masuk kantor? Enteng saja dia menjawab dengan kalimat membawa anak ke rumah sakit. Di pasar dan berbagai pusat perbelanjaan banyak dijumpai para pedagang yang berkata tidak benar. Ketika ada pembeli yang mau beli beras Solok dijawab ada. Lalu, setelah pembeli sampai di rumah, ternyata beras Solok itu hanya sebagian kecil di permukaan karung saja, sementara yang lainnya adalah beras Dolog. Ini namanya dusta dan merusak pahala puasa. Kini, dusta tidak hanya dilakukan oleh pedagang, pegawai dan orang-orang biasa saja, tapi juga terjadi di kalangan orang terpelajar dan terhormat, seperti banyaknya ditemukan SPPD fiktif di kantor-kantor legislatif. Mereka tidak melakukan perjalanan dinas, tapi SPPD-nya tetap diuangkan.

Kemudian, kita harus berusaha menjauhkan diri dari bergunjing, membicarakan tentang kejelekan orang lain yang bila didengar oleh orang tersebut dia tidak senang atau marah. Tentang hal ini, MUI telah memberikan teguran dan saran agar program infotainment di televisi tidak menyiarkan hal-hal yang berbau ghibah atau gunjing yang dapat merusak ketenteraman hidup di masyarakat. Di zaman Nabi, pernah ada tiga orang perempuan yang sedang berpuasa datang tergopoh-gopoh ke hadapan Rasulullah sambil berkata bahwa perut mereka tidak enak serasa mau muntah. Lalu, Nabi menyuruh mereka muntah, ternyata yang keluar dari mulut mereka adalah darah bercampur nanah. Setelah mereka pergi, sahabat bertanya, apa gerangan arti atau makna kejadian sebentar ini ya Rasulullah? Beliau menjawab, Perempuan tadi berpuasa, tapi tetap saja bergunjing. Artinya bergunjing bagi orang yang sedang melaksanakan ibadah puasa sama dengan memakan darah dan nanah. Oleh karena itu, sangat perlu dihindari agar nilai puasa tidak rusak.

Dalam bulan Ramadan, kita juga dilarang jadi provokator, penghasut, mengantarkan kecek (pesan/kabar) yang tidak baik, yang bisa menyebabkan orang berantam, berkelahi, dan bermusuhan. Demikian juga dengan bersumpah palsu, harus kita hindari selama melaksanakan ibadah puasa.

Selanjutnya, harus berusaha menghindarkan diri dari melihat dan menyaksikan gambar-gambar, reklame film, dan tontonan yang dapat menimbulkan rangsangan syahwat. Termasuk melihat wanita-wanita yang berpakaian sempit, ketat dengan ukuran kain kurang (terbuka auratnya).

Bilamana kelima hal yang telah dikemukakan di atas dapat kita hindari dalam melaksanakan ibadah puasa, Insya Allah nilai pahala puasa kita pasti meningkat. Lebih baik dari tahun yang lalu dan mudah-mudahan bisa mencapai derajat puasa khusus, Amin.

*) Opini kolumnis ini adalah tanggung jawab penulis seperti tertera, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi suarakampus.com. (rta)

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Tubuh Harus Tetap Sehat dan Bugar Saat Berpuasa

Next Post

Kiat-kiat Hindari Penyebaran Covid-19 Saat Cuti Lebaran

Related Posts
Total
0
Share