Suarakampus.com-Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) dinilai merupakan produk hukum yang mengedepankan kehendak laki-laki. Sehingga, masih banyak pasal yang akan berdampak buruk bagi perempuan, khususnya ihwal kekerasan seksual.
Hal itu disampaikan Direktur WWC Nurani Perempuan, Rahmi Meri Yeti dalam diskusi virtual memperingati hari Hak Asasi Manusia Internasional 10 Desember 2021. Meri mempertanyakan apakah RKUHP sudah menjawab kebutuhan perempuan korban kekerasan seksual.
“RKUHP saat ini isinya sangat maskulin, rancangan UU ini pada umumnya lebih kepada keinginan laki-laki dan masih dalam budaya patriarki” kata perempuan yang akrab disapa Meri ini, Jumat (11/12).
Sejauh ini, Meri menilai proses hukum penanganan kekerasan seksual masih menyisakan persoalan. Khususnya kekerasan seksual yang dialami perempuan dan penyandang disabilitas. “Berbeda dengan kekerasan seksual yang dialami oleh anak. Karena sudah ada UU Perlindungan anak yang cukup baik dan spesifik,” katanya.
Berdasarkan pemantauan WWC Nurani Perempuan, Meri mengatakan proses hukum terhadap korban kekerasan seksual sering mendapat stigma dari polisi dan victim blaming (menyudutkan korban) saat hendak melapor.
Meri menyoroti materi RKUHP yang berdampak bagi perempuan. Misalnya, konsep living law atau hukum yang berlaku di masyarakat. Menurut dia, konsep ini dianggap kabur dan rentan multitafsir, sebab setiap elemen masyarakat memiliki ukuran yang berbeda.
Seperti yang terdapat pada Pasal 2 ayat (1) RKUHP. Pasal ini menyatakan KUHP tidak mengurangi berlakunya hukum yang hidup dalam masyarakat yang menentukan bahwa seseorang patut dipidana walaupun perbuatan tersebut tidak diatur dalam ketentuan pidana.
Kemudian,Pasal 2 ayat (2) menyebut hukum yang hidup dalam masyarakat tetap berlaku di daerah hukum itu hidup dan sepanjang tidak diatur dalam Undang-Undang ini, sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila, UUD 1945, hak asasi manusia, serta asas-asas hukum umum yang diakui masyarakat beradab.
Meri khawatir dengan keberadaan pasal tersebut. Konsep living law, menurutnya akan memunculkan aturan turunan, seperti peraturan daerah (Perda) yang berbeda-beda di tiap daerah dan rentan dimultitafsirkan.
Berangkat dari keberadaan pasal ini, berdasarkan kajian Institute for Criminal and Justice Reform (ICJR), paling tidak akan ada 514 KUHP lokal tanpa kejelasan mekanisme evaluasi yang diatur dalam Perda sehingga memunculkan Perda diskriminatif.
Meri melanjutkan, sejauh ini Komnas Perempuan mencatat 400 peraturan diskriminatif yang dikeluarkan pemerintah daerah. “Sumatera Barat termasuk salah satu produksi peraturan diskriminatif perempuan yang sangat tinggi jumlahnya berdasarkan hasil dari survei dari Komnas Perempuan,” imbuhnya.
Meri juga melihat persoalan terkait isu aborsi dalam RKUHP. Pasal diskriminatif terhadap perempuan, kata dia, tampak pada pasal 251 ayat (1), pasal 415, pasal 470 ayat (1) dan pasal 471 ayat (1), yang mengatur soal kriminalisasi terhadap perempuan korban perkosaan yang melakukan aborsi.
Meri mengatakan, kerangka hukum tersebut keliru karena menempatkan perempuan sebagai pelaku aborsi, tanpa melihat faktor lain di baliknya. “Padahal perempuan ini juga merupakan korban perkosaan atau dihamili oleh laki-laki yang kemudian tidak mau bertanggung jawab,” katanya.
Mengantisipasi hal itu, Mery berharap RKUHP betul-betul direvisi secara baik. “Jadi kita dorong pemerintah bagaimana membuat kebijakan yang benar-benar berpihak terhadap korban, yang kita perlu hari ini bagaimana RKUHP hadir berprespektif terhadap perempuan,” pungkasnya.
Advokat dan juga aktivis HAM, Wengki Purwanto, mengatakan bahwa RKUHP akan berdampak buruk bagi perempuan apabila pemerintah dan DPR RI tidak siap dalam menerima masukan-masukan soal RKUHP.
“Pemerintah seperti menutup diri, padahal ini sangat berpengaruh bagi masyarakat. Dan tidak diketahuinya materi-materi RKUHP ini oleh publik maka hal ini berpotensi melanggar hak-hak masyarakat, salah satunya hak perempuan,” kata Wengki. (Red)
Wartawan: Zulis (Mg)