Manuskrip Topah, Bukti Sejarah Perkembangan Agama Islam di Minangkabau

Bagunan tempat penyimpan kitab Topah di Nagari Durian Kapas, Tiku (sumber: Iqbal/suarakampus.com)

Oleh Muhammad Iqbal

(Mahasiswa Prodi Komunikasi Penyiaran Islam)

Azan zuhur baru saja usai saat saya tiba di Kampung Durian Kapeh, Nagari Tiku, Kabupaten Agam, Senin (8/10). Di masa lampau, Tiku adalah salah satu kota pelabuhan yang cukup sibuk di pantai barat Sumatra. Kapal-kapal lintas samudra pernah singgah di sini, menampung hasil bumi di pedalaman Minangkabau.

Sejarah Tiku dicatat sebagai bandar dagang yang maju. Seturut dengan itu, daerah ini juga menjadi tempat bertemunya berbagai kebudayaan. Pengaruh Aceh memainkan peran di Tiku.

Tiku kini tak seramai dulu. Tak ada lagi pelabuhan. Kapal-kapal telah lama tidak singgah. Namun jejak masa lalunya masih bisa disusuri.

Sebagai orang yang lahir dan besar di Tiku, saya tidak begitu memperhatikan daerah ini. Apa yang menarik di Tiku? Kapal-kapal nelayan yang bergerak malas membelah gelombang. Ombak yang tiap sebentar mengikis bibir pantai dan membikin cemas. Tambak-tambak udang yang kian membesar.

Tapi kali ini Khairul punya cerita menarik yang baru saya ketahui.

Di Nagari Tiku, terdapat sebuah bangunan dengan beranda gonjong. Bangunan ini tak ubahnya seperti rumah penduduk pada umumnya. Tapi di sini tersimpan sebuah kitab yang menjadi jejak perkembangan Islam di Minangkabau. Ke sanalah saya hendak menuju.

Khairul menyambut saya di rumahnya dengan senyum tipis. Pria 69 tahun ini adalah juru kunci penjaga kitab tua. Orang Tiku mengenalnya dengan Kitab Topah.

Kitab Topah tersimpan baik di sebuah bangunan tadi.

Singkat cerita, sambil menghisap rokoknya saya bertanya kepada Khairul sejarah adanya kitab Topah di Tiku. Ia menjelaskan secara detail, dimulai dari Syech Burhanuddin yang berasal dari Padang Panjang dan masih bernama Sapono (begitu orang memanggil nama Syech Burhanuddin dahulunya).

Kala itu, Sapono merantau ke Ulakan. Di sana ia menemui kondisi masyarakat sangat jauh dari ajaran agama, seperti berjudi, berzina, dan lain-lain. Oleh sebab itulah Sapono bertekad menyebarkan ajaran agama Islam di Ulakan tersebut. Lantas, Sapono kemudian pergi ke Aceh untuk mengaji (menuntut ilmu) kepada seorang guru yang bernama Syech Abdur Rauf. Di sana ia menimba ilmu pengetahuan hingga berhasil menguasai semua yang diajarkan.

Sapono kemudian dikukuhkan menjadi Syech di tanah Makkah bersamaan dengan murid Syech Abdur Rauf yang lainnya. Kemudian resmilah Sapono berganti gelar menjadi Syech Burhanuddin.

“Bur itu artinya penyiar dan Nuddin artinya agama,” ucap Khairul.

Khairul bercerita setelah dikukuhkan di Makkah inilah ia membawa sebuah kitab Topah dan meninggalkannya di Tiku.

“Begitulah sejarah kitab Topah ini,” ujar anak Kamsinar sembari menatap saya.

Saya cukup menikmati sejarah kitab Topah itu dari Khairul sembari menganggukkan kepala beberapa kali.

Siapa penulis kitab Topah belum bisa dipastikan. Sedangkan sumber lain menyebut kitab ini dibawa oleh Syekh Abdullah Arif, guru Syekh Burhanuddin dari Madinah.

Cerita mengenai sejarah kitab Topah yang dijelaskan Khairul memang benar adanya, hanya saja berdasarkan jurnal yang ditulis Mhd. Nur dan Drs. Syafrizal dengan judul RIWAYAT PERADABAN AWAL ISLAM MINANGKABAU DI NAGARI TAPAKIS ULAKAN KABUPATEN PADANG PARIAMAN yang membawa kitab tersebut adalah guru Syekh Burhanuddin yaitu Syekh Abdullah Arif yang dibawanya dari Madinah dengan nama kitab Tuhfah.

Syekh Abdullah Arif atau Syekh Madinah adalah seorang ulama besar kelahiran Oman pada awal abad ke-11 Hijriah (589 Masehi). Ia menuntut ilmu Agama Islam kepada Imam Maliki di Kota Madinah.

Guru yang mengutus Abdullah Arif menyebarkan agama Islam ke dunia Timur ialah Syekh Ahmad Al Qusyasyi. Sebelum menyampaikan dakwah, sang guru memberikan Syekh Abdullah Arif dua buah botol kosong dengan syarat harus diisi air dan tanah setempat.
“Jika botol yang berisi air dan tanah itu ditimbang sama beratnya, maka di sanalah Syekh Abdullah Arif berdakwah,” begitu pesan sang guru kepada Syekh Abdullah Arif.

Syekh Abdullah Arif atau Syekh Madinah kemudian menunaikan tugas tersebut dengan mengajarkan agama Islam pertama kalinya di Gujarat, India. Kemudian dakwah itu dilanjutkan ke kerajaan Maladewa, Kepulauan Andaman.
Perjalanan dilanjutkan dengan berlayar di Samudera Hindia, kapal yang membawanya pun hancur menjadi puing-puing lantaran diterjang ombak yang begitu besar. Ia kemudian berpegangan pada patahan kayu dari pecahan kapal di tengah lautan. Beberapa saat peristiwa naas itu menimpanya, akhirnya ia terdampar di pantai barat Pulau Sumatera.

Syekh Madinah menginjakan kaki pertamanya setelah terdampar di Aceh lalu ke Barus, barulah ke Durian Kapas, Tiku. Cerita ia sampai di Durian Kapas, Tiku tidak terlepas dari perahunya yang kembali terhempas oleh gelombang laut sehingga terdampar di pinggir pantai Tiku.

Kemudian, penduduk menyelamatkannya dan membawanya ke rumah “Upik Kincir” anak dari Datuak Rangkayo Bungsu di zaman itu untuk dirawat. Saat itu, Syekh Madinah masih memegang kitab Tuhfah dan dua botol air kosong dari gurunya.

Ia teringat pesan gurunya, kemudian menimbang botol yang berisi air dan tanah di Durian Kapas, Tiku dan tidak mendapati hasil yang diinginkan. Ia lantas meminta izin untuk melanjutkan perjalanannya kepada “Upik Kincir” lantaran Tiku bukanlah tempat yang sesuai pesan gurunya. Pemilik rumah sempat menasehati agar memulihkan dahulu kesehatannya, namun Syekh Madinah masih belum menyelesaikan tugasnya.

Sebelum melanjutkan perjalanan, ia meninggalkan kitab Tuhfah di Durian Kapas, Tiku tepatnya di rumah “Upik Kincir” orang yang merawatnya. Kitab tersebut kemudian diberi nama Rumah Topah yang berasal dari kata Rumah Ruhfah.

Singkat cerita, Syekh Madinah melanjutkan perjalanan ke arah selatan dan sampai di pantai Tapakis dekat Taluak Busuak. Ia menimbang air yang dibawanya dalam botol dengan tanah di sana, akhirnya air dan tanah di dalam botol itu sama beratnya. Barulah ia menyebarkan ajaran agama Islam di sana, hingga berkembang di Minangkabau sampai saat ini.

Isi Kitab Topah

Saya bertanya apa saja isi kitab tersebut kepada Khairul. Ia lantas menjawab bahwa isinya adalah tentang hukum-hukum agama Islam.
Jadi, kitab Topah itu isinya terdiri dari hukum-hukum Amal Ibadah, hukum-hukum nikah kawin, hukum-hukum jual beli serta hukum-hukum tikam bunuh. Begitu penjelasan pria paruh baya itu kepada saya.

Lebih lanjut, kitab itu bisa menjadi pedoman bagi para ulama jika terjadi perselisihan “kaji” dalam menyampaikan dakwah kepada masyarakat. Bukalah kitab ini, silahkan lihat mana yang benar dan mana yang salah.

Katanya, Topah juga tidak sembarangan orang bisa melihatnya. Tapi, bagi yang ada kepentingan boleh melihatnya. “Jika orang tidak ada kepentingan karena tidak mempercayai kitab Topah saya tidak mengizinkan melihatnya,” jelas Khairul.
Khairul kembali menjelaskan kepada saya, masyarakat pada umumnya boleh melihat dan membaca kitab Topah, tapi bawalah orang yang ahli seperti ulama untuk menjelaskan isinya.

Untuk melihatnya pun tidak dibatasi harinya. Bahkan setiap hari boleh melihat dan membacanya. Namun, biasanya orang akan ramai menjelang bulan puasa datang untuk berziarah dan melepas niat.

Cerita diakhiri oleh Khairul bersamaan dengan habisnya sebatang rokok filter yang ia bakar di awal pembicaraan tadi. Sebelum berpamitan ia berkata kepada saya semoga informasi yang diberikan bisa bermanfaat. Lalu saya mengaminkan dan berpamitan untuk kembali.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Pedagang Pasar Raya Padang Keluhkan Penurunan Omzet Saat Pergantian Tahun

Next Post

Memasuki Semester Genap 2024, Wakil Rektor I Bagikan Jadwal Pembayaran UKT

Related Posts
Total
0
Share