Oleh: Verlandi Putra (Mahasiswa Program Studi Tadris Bahasa Inggris UIN IB)
Part 2
Matahari mulai tenggelam di ufuk barat, menyisakan semburat merah dan jingga yang dramatis di langit. Kelima pemuda itu kini duduk dalam diam di sebuah penginapan kecil di pinggir desa, masing-masing tenggelam dalam pikiran mereka sendiri.
“Tiga kali kita mencoba,” Winda memecah keheningan, suaranya terdengar lelah. “Tiga kali kita gagal. Seolah-olah ada… kekuatan yang menghalangi kita.”
Isyana membolak-balik halaman jurnalnya dengan frustasi. “Tidak ada catatan sejarah tentang Sir Eldric ini. Dia seperti… muncul dari ketiadaan.”
“Atau mungkin dia seperti kita,” usul Verlandi, matanya menatap jauh ke luar jendela, ke arah bulan yang mulai naik. “Pelancong waktu dengan misi yang berlawanan dengan kita.”
Zara, yang biasanya tenang dan terkalkulasi, kini terlihat gusar. Ia mondar-mandir di ruangan sempit itu, sesekali menggigit kukunya—kebiasaan yang muncul hanya ketika ia benar-benar resah.
“Kita harus mencoba lagi besok,” ujarnya tegas. “Mungkin dari sudut yang berbeda. Mungkin dengan pendekatan yang berbeda.”
Elsa memijat pelipisnya yang berdenyut nyeri. Bayangan Sir Eldric dan kata-katanya terus menghantui benaknya. Apakah pria itu benar? Apakah mereka sedang bermain dengan sesuatu yang jauh lebih besar dari yang dapat mereka pahami?
“Bagaimana jika misi ini memang seharusnya gagal?” Verlandi tiba-tiba bertanya, suaranya pelan tapi tegas.
Semua mata tertuju padanya.
“Maksudmu?” Winda mengerutkan kening.
“Pikirkanlah,” Verlandi bangkit dari kursinya, matanya berkilat-kilat. “Jika Newton tidak pernah menemukan hukum gravitasi, berapa banyak ilmu pengetahuan yang akan terhambat? Berapa banyak penemuan yang tidak akan pernah ada? Mungkin… mungkin Pion Masa memiliki agenda tersembunyi yang tidak kita ketahui.”
Kata-kata itu menggantung berat di udara. Elsa merasakan keraguan yang sudah ia pendam sejak awal kini semakin kuat.
“Tapi kita sudah berjanji,” bisik Isyana, wajahnya pucat. “Kita sudah bersumpah pada Pion Masa untuk menjalankan misi ini.”
“Pada akhirnya,” Elsa akhirnya berbicara, suaranya tenang meski hatinya bergejolak, “kita harus memutuskan sendiri—apakah kita akan menjadi pion dalam permainan orang lain, atau memilih jalan kita sendiri.”
Keheningan yang dalam menyelimuti ruangan itu. Di luar, suara jangkrik bersahutan, seakan menyanyikan lagu pengantar tidur untuk dunia yang tak tahu bahwa takdirnya sedang berada di tangan lima anak muda dari masa depan.
Pagi berikutnya, mereka kembali ke kebun Woolsthorpe dengan strategi baru. Kali ini, Winda akan mencoba lebih langsung—ia akan mengajak Newton berjalan-jalan, menjauhkannya dari pohon apel sebelum waktu yang ditentukan.
“Ingat,” Elsa mengingatkan mereka semua saat mereka bersiap, “kita tidak tahu siapa Sir Eldric atau apa kekuatannya. Tetap waspada.”
Kebun itu terlihat berbeda di pagi hari. Embun masih menggantung di ujung-ujung daun, dan cahaya matahari pagi membuat segalanya terlihat lebih lembut, lebih bersahabat. Newton, seperti yang mereka duga, sudah duduk di bawah pohon apelnya, larut dalam pemikirannya sendiri.
Winda merapikan gaun birunya dan berjalan dengan percaya diri menuju sang ilmuwan muda. Elsa, Zara, Isyana, dan Verlandi mengawasi dari kejauhan, bersiap untuk campur tangan jika diperlukan.
“Tuan Newton,” sapa Winda dengan senyum manis yang telah ia latih, “saya Winda dari Cambridge. Saya sangat mengagumi karya Anda dan ingin membahas beberapa teori, jika Anda berkenan?”
Newton mendongak, terlihat sedikit terkejut tapi tidak menolak. Ia bahkan tersenyum tipis—sesuatu yang jarang terjadi jika melihat catatan sejarah tentang sifat penyendirinya. Elsa merasakan secercah harapan. Mungkin kali ini mereka akan berhasil.
Winda dengan cerdik mulai membicarakan topik-topik yang ia tahu akan menarik minat Newton, sambil perlahan mengarahkannya untuk berjalan menjauhi pohon. Newton, tampaknya tertarik dengan pembicaraan, mulai berdiri.
Namun, tepat saat itu, sebuah suara menginterupsi.
“Ah, Sir Isaac! Saya mencari Anda sejak tadi.”
Sir Eldric, dengan jubah marunnya yang khas, melangkah mendekati mereka. Wajahnya menampilkan senyum ramah, tapi matanya menatap tajam ke arah Winda.
“Sir Eldric,” Newton mengangguk sopan. “Anda mengenal nona muda ini?”
“Tentu saja,” Sir Eldric tersenyum, tapi senyuman itu tidak mencapai matanya. “Dia dan teman-temannya adalah… pengunjung istimewa. Tapi saya khawatir mereka memiliki jadwal yang ketat dan harus segera pergi.”
Elsa merasakan kepanikan mulai merambat dalam dirinya. Sir Eldric dengan jelas menghalangi usaha mereka, sekali lagi.
“Kami masih punya waktu,” Winda mencoba berargumen, tapi suaranya terdengar lemah di hadapan aura mengintimidasi Sir Eldric.
“Saya pikir tidak,” Sir Eldric menatap langsung ke mata Winda, lalu ke arah Elsa dan yang lainnya. “Apakah kalian pikir kalian bisa bermain-main dengan waktu?”
Pertanyaan itu menggema di udara, terdengar seperti peringatan dan ancaman sekaligus. Newton terlihat bingung, menatap bergantian antara Winda dan Sir Eldric, jelas tidak memahami tensi yang tercipta.
Elsa, melihat situasi semakin memburuk, memberi isyarat kepada teman-temannya untuk mundur. Mereka masih punya waktu untuk menyusun rencana baru.
“Kau benar, Sir Eldric,” Elsa akhirnya berkata, melangkah ke depan. “Kami memang harus pergi. Terima kasih atas waktunya, Tuan Newton.”
Newton mengangguk sopan, meski kebingungan masih terpancar di wajahnya. Sir Eldric, di sisi lain, tersenyum puas—seakan ia baru saja memenangkan babak pertama dari permainan catur yang panjang.
Saat mereka berjalan menjauh, Elsa merasakan pandangan Sir Eldric mengikuti mereka. Ia tahu pria itu belum selesai dengan mereka. Dan mungkin, mereka juga belum selesai dengannya.
“Dia bukan orang biasa,” bisik Zara saat mereka sudah cukup jauh. “Ada sesuatu… sesuatu yang sangat kuat dalam dirinya.”
“Setiap kali kita berusaha mengubah sejarah, seakan ada kekuatan tak terlihat yang melawan kita,” Elsa merenung. “Mungkin Sir Eldric adalah personifikasi dari kekuatan itu.”
“Atau mungkin dia adalah anggota Pion Masa lain yang dikirim untuk menguji kita,” usul Isyana, matanya membulat dengan realisasi. “Mungkin ini semua adalah tes untuk melihat seberapa kuat tekad kita.”
Elsa menggeleng pelan. “Entahlah. Tapi satu hal yang aku tahu—kita perlu memikirkan kembali tujuan kita di sini.”
Malam itu, mereka berkumpul di penginapan, atmosfer terasa lebih berat dari sebelumnya. Isyana membuka jurnalnya, menuliskan semua kegagalan mereka dengan tinta hitam yang tebal. Zara, dengan konsentrasi yang intens, menggambar peta mental dari semua kemungkinan yang tersisa.
“Kita punya dua hari lagi sebelum apel itu seharusnya jatuh,” ujar Zara, matanya tidak lepas dari peta yang ia gambar. “Masih ada beberapa pendekatan yang bisa kita coba.”
“Tapi Sir Eldric akan selalu ada, bukan?” potong Winda, suaranya terdengar lelah. “Dia selalu muncul di saat yang tepat untuk menggagalkan rencana kita.”
“Mungkin kita harus menghadapinya langsung,” usul Verlandi, matanya berkilat dengan determinasi baru. “Tanyakan padanya apa sebenarnya yang ia inginkan.”
Elsa menatap ke arah jendela, memperhatikan bulan yang bersinar terang di langit malam. Pikirannya berkecamuk dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak memiliki jawaban.
“Aku mulai berpikir,” ucapnya pelan, “bahwa mungkin mengubah sejarah bukanlah hal yang sepele. Mungkin ada alasan mengapa segala sesuatu terjadi seperti yang terjadi.”
“Tapi Pion Masa memilih kita untuk alasan tertentu,” Isyana mengingatkan, suaranya terdengar ragu. “Mereka percaya bahwa mengubah penemuan hukum gravitasi akan membawa kebaikan.”
“Atau mungkin,” Verlandi menambahkan dengan suara yang hampir berbisik, “bagaimana jika misi ini memang seharusnya gagal?”
Kata-kata itu menggantung di udara, berat dan menggugah. Elsa merasakan gelombang keraguan yang kuat menghantam dirinya. Mungkinkah Verlandi benar? Mungkinkah Pion Masa memiliki agenda tersembunyi? Mungkinkah seluruh misi ini hanyalah permainan dalam permainan yang lebih besar?
“Jika kita berhasil mencegah Newton menemukan hukum gravitasi,” Elsa mulai berargumen, “berapa banyak penemuan lain yang akan terhambat? Berapa banyak kemajuan ilmiah yang tidak akan pernah terjadi? Berapa banyak kehidupan yang tidak akan terselamatkan oleh teknologi masa depan yang bergantung pada pemahaman kita tentang gravitasi?”
Keheningan yang dalam menyusul. Setiap dari mereka tampak tenggelam dalam pemikiran masing-masing, mencoba memahami implikasi yang lebih luas dari tindakan mereka.
“Mungkin,” Zara akhirnya berbicara, suaranya lembut tapi tegas, “kita perlu mengevaluasi kembali apa yang sebenarnya ‘benar’ dalam situasi ini.”
Elsa mengangguk pelan, tatapannya bertemu dengan tatapan teman-temannya satu per satu. Mereka semua terlihat lelah, bingung, tapi juga entah bagaimana lebih bijaksana dari saat mereka pertama kali memulai misi ini.
“Besok,” kata Elsa dengan ketegasan baru dalam suaranya, “kita akan mencari Sir Eldric dan menuntut jawaban.”
BERSAMBUNG