Oleh: Johan Septian Putra (Mahasiswa Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta)
Kesultanan Indrapura merupakan kesultanan yang terletak di bagian Sumatera Barat, tepatnya di kabupaten Pesisir Selatan yang sekarang. Kesultanan ini pernah berjaya di masanya yang terkenal dengan perdagangan dan kemaritiman yang mencakup dunia internasional dan regional wilayah Sumatera pada abad ke-12 hingga abad ke-19. Karena kekayaan alam yang melimpah, wilayah Indrapura menjadi perhatian dunia internasional, termasuk Belanda, Inggris dan Portugis pernah menyinggahi dan menjajaki wilayah kesultanan Indrapura.
Kolonial Belanda mengambil alih kekuasaan ekonomi serta Aceh juga pernah ikut menguasai wilayah ekonomi tersebut. Perdagangan dari berbagai wilayah tidak bisa dipungkiri terjadi pada masa Kesultanan Indrapura dahulu, melalui jalur laut dan sungai-sungai pedalaman yang memberikan andil besar bagi para pedagang dalam melanjutkan sistem perekononomian maritim kesultanan dengan para saudagar lainnya. Perdagangan tersebut, tentunya tidak akan berjalan lancar tanpa adanya pelabuhan. Pelabuhan yang ada masa kesultanan Indrapura yang terkenal itu bernama Muaro Sakai yang masih eksis hingga sekarang.
Pelabuhan Muaro Sakai ini dibangun oleh Koninklijke Paketvaart Maatschappij (KPM) pada tahun 1800-an sesudah pengunaan oleh kongsi Dagang Belanda bernama HPA, yang saat ini terletak di Kecamatan Pancung Soal yang merupakan salah satu dari 31 jorong yang ada di Kabupaten Pesisir Selatan. Lokasinya sekitar 160 km dari Kota Painan. Muaro Sakai merupakan daerah dataran rendah berjarak sekitar 10 km dari pesisir pantai. Di daerah ini melintas Batang Indrapura yang mengalir dari Kabupaten Solok Selatan dan Kabupaten Kerinci Provinsi Jambi. Secara administrasi, situs reede/pelabuhan Muaro Sakai berada di Kampung Muaro Sakai, Nagari Indrapura, Kecamatan Pancung Soal. Bekas pelabuhan ini berada di pinggir Batang Muaro Sakai atau di pekan Muaro Sakai sekitar 5 km dari kantor Wali Nagari Indrapura. Secara astronomis, bekas pelabuhan ini berada pada posisi 20 04.22,8 LS dan 1000 54.611 15 BT.
Penyerahan pengelolaan Pelabuhan Muaro Sakai kepada Pemerintah Indonesia dilakukan pada tahun 1950-an dan beraktivitas hingga 1970-an. Untuk mengawasi administrasi pelabuhan tersebut, pihak perhubungan laut menempatkan Syahbandar di bawah koordinasi Administrasi Pelabuhan (Adpel) Teluk Bayur. Setelah itu, pelabuhan ini tidak difungsikan lagi karena beberapa alasan, yaitu pemerintah tidak menggunakan lagi pelabuhan tersebut dalam transaksi maritim pantai Barat Sumatera. Kemudian karena wilayah Muaro Sakai tersebut sering terjadi banjir ke pemukiman warga, maka dari itu pihak perusahaan dari PT Incasi Raya membuat parit-parit kecil hingga menyebarlah peredaran air sungai Muaro Sakai tersebut ke beberapa wilayah tepian pantai Ujung Tanjung. (Yusfa Hendra Bahar dan Fauzan Amril, “Peninggalan Maritim Pantai Sumatera Barat”, Jurnal Amoghapasa, Batusangkar: BP3 Batusangkar, 2009, h. 30).
Kejayaan dunia maritim dan perdagangan terjadi pada abad ke-17 hingga ke-18 masa Kesultanan Indrapura dari Pelabuhan Muaro Sakai ini mulai dari skala internasional hingga regional. Yang mana Pelabuhan Muaro Sakai adalah pelabuhan khusus bagi orang-orang yang berdagang Kopi dan Teh. Muaro Sakai menjadi strategis karena menjadi tempat bertemunya sungai-sungai besar, seperti Sungai Sindang, Batang Air Luang, Batang Tapan, Batang Air Inderapura (Sungai Betang) dan sungai-sungai kecil lainnya.
Pantai Barat merupakan lalu lintas perdagangan yang menghubungkan Asia Selatan dengan wilayah Sumatera dan memiliki akses ke Jawa yang dikenal sebagai Jawa Dwipa. Barang-barang dimasukkan ke kapal dan dibawa ke Padang. Komoditi Teh berasal dari Kayu Aro, sedangkan Kopi dari Batang Berangin Kerinci, komoditi utama Inderapura diperjualbelikan dan dibawa pedagang Inggris, Portugis, dan Belanda, Kerinci, Muaro Labuah, dan Jambi menjadi penyangga Inderapura yang juga menghasilkan komoditi ekspor. Para pedagang manca negara, seperti Cina, Inggris, India, Spanyol melakukan kontak dagang dengan Indrapura. Pada masa dahulu ada yang namanya “pencalang”, atau perahu sebagai alat angkutan pedagang-pedagang dari Nusantara. (Iim Imaduddin dkk, Inderapura: Kerajaan Maritim dan Kota Pantai di Pesisir Selatan Pantai Barat Sumatera, Padang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional, 2003, h. 47-48).
Begitu pula, pada awal abad ke-17 M, kapal-kapal besar dari mancanegara sudah berlabuh diperairan Inderapura. Kapal yang sangat popular pada saat itu adalah kapal Bahrul Abyad yang digunakan oleh masyarakat pantai barat Sumatera untuk menunaikan ibadah haji ke Mekkah. Kapal yang memiliki kapasitas 350 ton ini berasal dari Mesir. Setiap tahun, kapal ini berlayar bolak-balik melewati jalur barat Sumatera kemudian melewati India dan berlabuh di Basrah. Dapat dikatakan selain fungsi pelabuhan Muaro Sakai sebagai bandar dagang di pantai barat Sumatera, pelabuhan tersebut juga dipergunakan untuk pemberangkatan orang-orang yang ingin menunaikan ibadah haji. (Mega Jeli Putri, “Pelabuhan Muaro Sakai di Pantai Barat Sumatera Masa Kesultanan Indrapura”, Skripsi, Padang: Jurusan Sejarah Peradaban Islam, Fakultas Adab dan Humaniora, UIN Imam
Bonjol, 2018, h. 48).
Namun, untuk saat ini pelabuhan tersebut hanya menyisakan puing-puing bangunan yang tidak terurus dan malahan sebagian besar sudah hancur. Pelabuhan yang pernah menjadi jalur perdagangan internasional dahulu, sekarang hanya tinggal kenangan saja. Perlunya perhatian dari pemerintahan setempat dalam melestarikan kembali peninggalan bersejarah dan perlunya dukungan serta upaya kerja keras dari seluruh lapisan masyarakat untuk menjadikannya sebagai warisan peninggalan kebudayaan di wilayah Pesisir Selatan. Tentunya, dengan adanya i’tikad baik tersebut, sehingga akan menjadi pemasukan pendapatan daerah dari jalur wisata dan juga meningkatkan perekonomian warga setempat.