Oleh: Verlandi putra
(Mahasiswa Program Studi Tadris Bahasa Inggris Fakultas Tarbiyah dan Keguruan)
Di tengah arus modernisasi dan perjuangan kesetaraan gender yang semakin menguat, masih terdapat fenomena menarik yang patut kita soroti – yaitu keengganan sebagian kaum lelaki untuk menerima kemajuan perempuan dalam berbagai aspek kehidupan. Fenomena ini bukan sekadar manifestasi dari patriarki yang telah mengakar, melainkan mencerminkan kompleksitas psikologis dan sosiologis yang lebih dalam.
Sebagaimana dilansir dari JawaPos.com (9/10/2024), terdapat delapan alasan mengapa pria meninggalkan perempuan yang mereka cintai, dan beberapa di antaranya berkaitan erat dengan ego dan ketakutan akan perubahan. Salah satu yang paling mencolok adalah masalah komitmen dan ketidakmampuan melihat masa depan bersama. Hal ini mengindikasikan adanya ketakutan tersembunyi akan perubahan dinamika hubungan, terutama ketika perempuan menunjukkan potensi untuk berkembang dan maju.
Menariknya, jika kita menengok sejarah Islam, sebagaimana dikutip dari pernyataan Wakil Menteri Agama Zainut Tauhid Sa’adi dalam artikel Kemenag.go.id (16/10/2022), Rasulullah Muhammad SAW justru telah mengangkat derajat perempuan sejak 15 abad yang lalu. Ini menunjukkan bahwa penolakan terhadap kemajuan perempuan bukanlah bagian dari ajaran agama, melainkan lebih kepada konstruksi sosial yang terbentuk kemudian.
Menurut Daniel Chrisendo dalam artikelnya di Kumparan (8/3/2021), bahkan praktik poligami yang sering dijustifikasi sebagai upaya mengangkat derajat perempuan justru bisa menjadi bukti bahwa masyarakat masih memandang nilai perempuan bergantung pada kehadiran laki-laki di sampingnya. Ini adalah paradoks yang menarik: di satu sisi ada klaim untuk melindungi dan mengangkat derajat perempuan, namun di sisi lain justru melanggengkan ketergantungan.
Berdasarkan artikel dari Muslim.Okezone.com (1/8/2021), Ustadz Syafiq Riza Basalamah menegaskan bahwa Islam justru membela ketika ada wanita yang dihina. Namun, realitas sosial menunjukkan bahwa interpretasi dan implementasi ajaran agama tidak selalu sejalan dengan spirit awalnya yang progresif.
Mengapa fenomena ini masih bertahan? Jawabannya terletak pada beberapa faktor kompleks yang saling berkaitan. Pertama, ada ketakutan akan hilangnya identitas maskulin tradisional. Ketika perempuan mulai menunjukkan kemampuan untuk mandiri secara finansial, emosional, dan sosial, sebagian pria merasa terancam karena peran tradisional mereka sebagai pelindung dan pencari nafkah utama mulai tergantikan.
Kedua, ada resistensi terhadap perubahan status quo. Sistem patriarki yang telah mengakar selama berabad-abad telah menciptakan zona nyaman bagi kaum pria. Ketika perempuan mulai menuntut kesetaraan dan mengambil peran-peran yang secara tradisional didominasi pria, muncul ketidaknyamanan dan resistensi alamiah terhadap perubahan ini.
Ketiga, masih kuatnya stereotip gender yang diwariskan secara turun-temurun. Meskipun secara formal banyak negara telah mengakui kesetaraan gender, dalam praktiknya masih ada ekspektasi sosial yang berbeda terhadap pria dan wanita. Ketika seorang perempuan melanggar ekspektasi ini dengan mengejar karir atau mengambil peran kepemimpinan, sering muncul kritik dan penolakan sosial.
Keempat, adanya kesalahpahaman tentang makna kesetaraan gender. Banyak yang masih memandang perjuangan kesetaraan gender sebagai upaya untuk mendominasi pria, padahal sebenarnya yang diperjuangkan adalah kesetaraan kesempatan dan hak, bukan dominasi satu gender atas gender lainnya.
Dampak dari penolakan ini sebenarnya merugikan kedua belah pihak. Bagi perempuan, hal ini menciptakan hambatan tambahan dalam mengembangkan potensi mereka. Mereka harus bekerja lebih keras untuk membuktikan kemampuan mereka, sambil terus menghadapi skeptisisme dan penolakan. Sementara bagi pria, sikap ini justru membatasi kesempatan mereka untuk menjalin hubungan yang lebih setara dan membangun kemitraan yang lebih produktif dengan perempuan.
Di sisi lain, fenomena ini juga mencerminkan kegagalan masyarakat dalam memahami bahwa kemajuan perempuan sebenarnya bukan ancaman, melainkan kesempatan untuk membangun masyarakat yang lebih seimbang dan produktif. Ketika perempuan diberi kesempatan untuk berkembang, seluruh masyarakat mendapat manfaat dari kontribusi mereka yang lebih optimal.
Sebagaimana diungkapkan dalam artikel JawaPos.com, salah satu alasan pria meninggalkan perempuan adalah karena merasa tidak cukup baik atau tidak pantas. Ini menunjukkan bahwa masalah sebenarnya bukan pada kemajuan perempuan, melainkan pada ketidakmampuan sebagian pria untuk beradaptasi dengan perubahan dinamika gender modern.
Solusi untuk masalah ini membutuhkan pendekatan komprehensif yang melibatkan berbagai aspek. Pertama, perlu ada edukasi yang lebih baik tentang kesetaraan gender, dimulai dari tingkat pendidikan dasar. Kedua, perlu ada dekonstruksi terhadap stereotip gender yang membatasi baik pria maupun wanita. Ketiga, perlu ada dialog terbuka antara gender untuk membangun pemahaman bersama tentang bagaimana membangun hubungan yang lebih setara dan produktif.
Penting juga untuk memahami bahwa penolakan terhadap kemajuan perempuan sering kali berakar pada ketakutan dan ketidakpastian, bukan kebencian. Seperti disebutkan dalam artikel JawaPos.com tentang keraguan pada diri sendiri sebagai salah satu alasan pria meninggalkan pasangan, ini menunjukkan bahwa masalah sebenarnya lebih kompleks dari sekadar dominasi gender.
Islam, sebagai agama mayoritas penduduk Indonesia, sebenarnya telah memberikan contoh bagaimana seharusnya memperlakukan perempuan dengan hormat. Sebagaimana dikutip dari artikel Kemenag.go.id, Rasulullah telah mengangkat derajat perempuan dari posisi yang sangat dihinakan menjadi setara dengan laki-laki. Ini menunjukkan bahwa penolakan terhadap kemajuan perempuan sebenarnya bertentangan dengan nilai-nilai agama yang fundamental.
Lebih jauh lagi, seperti diungkapkan dalam artikel Muslim.Okezone.com, Islam bahkan memberikan posisi istimewa kepada perempuan, terutama dalam perannya sebagai ibu. Namun, penting untuk dipahami bahwa penghormatan ini seharusnya tidak membatasi perempuan hanya pada peran-peran tradisional, melainkan harus diperluas untuk mencakup semua aspek kehidupan.
Di era modern ini, sudah saatnya kita membangun paradigma baru dalam memandang relasi gender. Paradigma yang tidak lagi didasarkan pada dominasi atau subordinasi, melainkan pada kemitraan dan saling menghargai. Kemajuan perempuan seharusnya tidak dilihat sebagai ancaman terhadap maskulinitas, melainkan sebagai kesempatan untuk membangun masyarakat yang lebih seimbang dan berkeadilan.
Tantangan ke depan adalah bagaimana mengubah cara pandang masyarakat agar bisa menerima bahwa kemajuan perempuan tidak berarti kemunduran bagi laki-laki. Diperlukan upaya sistematis untuk mengedukasi masyarakat bahwa kesetaraan gender adalah tentang memberikan kesempatan yang sama, bukan tentang menciptakan dominasi baru.
Daniel Chrisendo dalam artikelnya mengungkapkan, solusi untuk masalah ketidaksetaraan gender bukan dengan membuat perempuan bergantung pada laki-laki, melainkan dengan memberdayakan mereka dan memperbaiki sistem yang selama ini diskriminatif. Ini adalah tantangan besar yang membutuhkan komitmen dari semua pihak.
Pada akhirnya, penolakan terhadap kemajuan perempuan adalah cerminan dari ketidaksiapan masyarakat menghadapi perubahan. Namun, perubahan adalah keniscayaan, dan alih-alih menolaknya, kita perlu belajar untuk beradaptasi dan mencari cara terbaik untuk membangun masa depan yang lebih setara dan berkeadilan bagi semua gender.
Sebagai penutup, penting untuk diingat bahwa perjuangan kesetaraan gender bukanlah tentang menciptakan persaingan antara pria dan wanita, melainkan tentang membangun kemitraan yang saling menguatkan. Hanya dengan pemahaman ini, kita bisa berharap untuk menciptakan masyarakat yang benar-benar menghargai kontribusi setiap individu, terlepas dari gender mereka.