Paradigma Pendidikan sebagai Komoditas, Penyebab Biaya Kuliah Melambung

Tangkapan layar melalui siaran langsung Instagram (sumber: Verlandi/suarakampus.com)

Suarakampus.com- Kenaikan biaya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang signifikan menimbulkan keresahan di kalangan mahasiswa dan orang tua. Apri Hardiyanti dalam wawancara eksklusif mengungkapkan bahwa kenaikan ini dipicu oleh paradigma pemerintah yang menjadikan pendidikan sebagai sektor jasa yang dapat dikomersialisasi.

Menurut Ketua Koordinator Nasional (Kornas) Kohati 2018-2020, Hardiyanti, mengadopsi pandangan global melalui perjanjian World Trade Organization (WTO) oleh pemerintah Indonesia menjadi akar persoalan. “Dinyatakan pendidikan termasuk dalam 12 sektor jasa yang dikomersialisasikan,” ujar aktivis muslimah itu.

Hardiyanti menambahkan bahwa keputusan pemerintah untuk mendorong Perguruan Tinggi Negeri (PTN) agar mandiri secara finansial, telah menyebabkan banyak PTN kesulitan dalam mencari sumber dana. “Pemasukan utama perguruan tinggi itulah menaikkan UKT mahasiswa,” katanya.

Ia menjelaskan Indonesia meratifikasi perjanjian WTO tersebut, sehingga melahirkan payung hukum bagi PTN Berbadan Hukum (BH) dengan otonomi kampus.

“Rektor seperti Chief Executive Officer (CEO) yang mengelola kampus seperti perusahaan,” kritiknya menggambarkan perubahan peran rektor yang lebih berorientasi bisnis dibandingkan akademik.

Ia juga menyampaikan kerjasama dengan korporasi berpotensi mengorbankan kebebasan akademik. “Bahkan di kampus bisa masuk usaha-usaha seperti kafe, karena pendidikan dianggap jasa yang bisa dikomersialisasikan,” imbuhnya. 

Hardiyanti menyoroti Permendikbudristek Nomor 2 Tahun 2024 yang mengatur standar biaya operasional pendidikan tinggi. “Ini menjadi landasan kampus menetapkan skema atau matrik baru UKT yang lebih tinggi,” jelasnya.

Hardiyanti menilai pandangan ini kontradiktif dengan amanat mencerdaskan kehidupan bangsa yang seharusnya dijunjung tinggi oleh negara. “Pemerintah menyatakan pendidikan tinggi bukan keharusan, karena dianggap pilihan tersier, bukan kebutuhan pokok,” lanjutnya. 

Akibatnya, kata dia pendidikan semakin tidak terjangkau dan hanya untuk kalangan mampu. “Jika tidak diubah, siap-siap pendidikan menjadi semakin tak terjangkau,” tegasnya.

Demikian, ia mengatakan mahasiswa terus melakukan aksi penolakan di berbagai kampus. “Pengaduan, audiensi, hingga ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sudah dilakukan, tapi solusi justru bikin cemas,” ujarnya menyoroti kurangnya respons positif dari pihak berwenang.

Lalu, Hardiyanti menegaskan, akar persoalan ini terletak pada paradigma keliru pemerintah. “Kita harus menggeser perspektif agar pendidikan tidak menjadi barang dagangan,” pungkasnya. (hkm)

Wartawan: Verlandi Putra (Mg)

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Terkikisnya Ekonomi Sumatra Barat: Panggilan Aksi Mahasiswa

Next Post

Pendidikan Gratis Solusi Islam, Atasi Melambungnya Biaya Kuliah

Related Posts
Total
0
Share