Paradoks Reshuffle Kabinet

Penulis: Nandito Putra (Mahasiswa HTN, Fakultas Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang)

Kita tidak dapat memungkiri bahwa keputusan Presiden Joko Widodo melakukan reshuffle kabinet agak terlambat dilakukan. pasalnya sejak awal publik sudah mulai kehilangan harapan terhadap pemerintah lantaran banyaknya masalah yang silih berganti menyerap atensi masyarakat secara bersamaan. Bahkan, semenjak presiden Jokowi berang terhadap sejumlah menteri yang dinilai lamban dalam menghadapi situasi pandemi.

Tercatat presiden marah beberapa kali soal lambannya kinerja jajarannya dalam menghadapi situasi pandemi. Kemarahan pertama meluap pada 18 Juni lalu kepada para menteri, Jokowi berang karena masih ada yang bersikap biasa saja di jajarannya menyikapi situasi krisis kesehatan dan ekonomi akibat covid-19. “Kita yang berada di sini bertanggung jawab kepada 267 juta penduduk Indonesia. Ini tolong digarisbawahi, dan perasaan itu tolong kita sama. Ada sense of crisis yang sama,”. Waktu itu Presiden marah karena serapan anggaran kesehatan masih terbilang rendah. Untuk pertama kalinya eks Wali Kota Solo itu mengancam akan mereshuffle kabinet dalam periode kedua kepemimpinannya.

Dampak signifikan dari kemarahan tersebut berujung pada pembubaran 18 lembaga negara yang fungsinya dinilai sia-sia. Padahal dulu di awal pemerintahannya, dia begitu gencar memoles kekuasaan dengan berbagai jabatan yang tidak begitu penting bagi jalannya pemerintah.

Masih dalam bulan yang sama, Presiden Jokowi kembali meluapkan kemarahannya karena lonjakan kasus covid-19 kian tak terkendali, yang ketika itu ada 2.500 laporan harian pasien positif covid-19, rekor tertinggi sejak pemerintah melaporkan kasus pertama covid-19. Pada 27 Juli, presiden kembali memberi lampu kuning bahwa progres penanganan pandemi dinilai tak terlalu signifikan. “Di sektor kesehatan baru terealisasi 7 persen. Demikian juga untuk sektor pemerintah daerah juga baru terserap 6,5 persen, insentif usaha 13 persen,” kata Jokowi pada 27 Juli lalu di hadapan jajaran menteri kabinet.

Akan tetapi baru enam bulan kemudian semenjak kemarahan beruntun itu presiden melakukan perombakan terhadap kabinet. Jika kita berasumsi lain, misalnya ketika eks Menteri KKP Edhy Prabowo dan eks Mensos Juliari Batubara tak tersandung kasus korupsi, akankah reshuffle tetap dilakukan hari ini?

Posisi Presiden Jokowi di tengah prahara politik pasca Pilpres 2019 sangat jauh dari harapan publik. Suatu waktu, di awal Presiden Jokowi menjabat di periode kedua, dia pernah melontarkan pernyataan bahwa dalam lima tahun ke depan, dirinya sudah tidak memiliki beban dalam memimpin Indonesia sehingga siap untuk mengambil keputusan yang terbaik untuk kepentingan negara, kendati keputusan itu dinilai miring.

Sontak pernyataan tersebut disambut hangat oleh publik agar pemerintah di periode kedua dapat menjawab persoalan yang masih membelit negeri ini. Namun tak butuh waktu lama untuk gugurnya pernyataan presiden akan memimpin ‘tanpa beban’ itu. Kejutan menohok datang ketika Presiden memperkenalkan nama-nama menteri yang akan membantunya di periode kedua ini. Ada nama Prabowo Subianto terselip dalam jajaran kabinet, eks lawan politiknya tersebut diajak sebiduk dengan dalih menghindari perpecahan.

Walau banyak pihak yang memaklumi, akan tetapi tindakan itu sangat tidak mencerminkan terjadinya proses politik yang demokratis, di mana terjadi kekuasaan tanpa oposisi, yakni sebuah keniscayaan bagi negara demokrasi. Secara bersamaan, pemerintah juga menghiraukan desakan publik agar revisi Undang-Undang Nomor 30 Tentang KPK tidak dilakukan, namun pemerintah ogah mendengar suara publik.

Kemudian berlanjut ke pengesahan RUU Cipta Kerja dan RUU Minerba yang sejak awal sudah dikritik habis-habisan agar ditunda pembahasannya. Namun itu semua tetap tak dihiraukan, dan publik kembali dikangkangi oleh keputusan yang nihil apresiasi publik. Untuk itu dapat dilihat secara gamblang bahwa Presiden Jokowi masih belum bisa lepas dari belenggu para elite politik dan segelintir pemodal yang bahu membahu melanggengkan kekuasaannya hingga dua periode.

Padahal jika saja presiden memiliki kehendak dan keinginan kuat untuk dapat dikenang sebagai seorang negarawan sejati, seharusnya periode kedua ini dapat menjadi momentum untuk menjawab tantangan yang selama ini dilayangkan padanya. Akan tetapi hal itu tidak terjadi. Wujud pemerintah seperti ini tentu sangat buruk bagi jalannya pemerintahan yang demokratis. Kendati diusung oleh partai politik, dalam sistem presidensialisme presiden tidak boleh merasa terkekang oleh kekuatan politik apa pun selain atas nama kepentingan rakyat.

Kembali kepada persoalan reshuffle kabinet, hal yang sama masih menjadi pengganjal keleluasaan presiden dalam menggunakan hak prerogatifnya selaku kepala pemerintahan sekaligus kepala negara. Seharusnya reshuffle dapat dilakukan sejak awal ketika ada menteri yang dinilai lamban, karena presiden sendiri pernah mengatakan bahwa dalam keadaan darurat, apa saja bisa dilakukan. Namun sekali lagi hal itu tidak terjadi karena presiden masih terpasung belenggu orang-orang di sekitarnya.

Sehingga perombakan kabinet terkesan hanya sekadar formalitas pembungkus motif politik yang sebenarnya. Jika reshuffle kali ini dapat dimaknai, ia hanyalah tangga awal menuju belenggu-belenggu lainnya. Kemudian beriringan dengan itu, kontestasi politik 2024 sudah menanti, dan semua kembali disibukkan untuk menyusun strategi baru.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Kuliah Dirumahkan, UKM dan Lembaga Mahasiswa Kurang Maksimal Serap Anggaran

Next Post

UKM Musik Kampus Resmi Kukuhkan 13 Anggota Baru

Related Posts
Total
0
Share
Just a moment...