Pasal Pembungkam Kritik Masyarakat, Masih Adakah Demokrasi di sini?

Ilustrasi pembungkaman kritikan oleh masyarakat (Sumber: Pixabay.com)

Oleh: Ifra Wahyuni

(Mahasiswa Hukum Ekonomi Syariah, UIN Imam Bonjol Padang)

Tepat pada hari Rabu, 09 November 2022, Presiden Republik Indonesia (RI), Joko Widodo menyerahkan draf Rancangan Undang-undang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RUU KUHP) terbaru. Pasalnya, RUU tersebut membahas ancaman terhadap orang yang dengan sengaja menghina lembaga kekuasaan negara seperti Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) hingga Kejaksaan baik itu melalui lisan ataupun lewat tulisan.

Sejatinya, Undang-undang (UU) disusun sebagai bentuk kebutuhan pedoman dengan mengatur suatu tindakan yang melawan hukum dalam bermasyarakat. Berangkat dari persoalan tersebut, mengapa RUU KUHP ini sangat urgen disahkan? Karena pada dasarnya, setiap aturan yang dibentuk akan digandengkan dengan arus perkembangan masyarakat.

Ada beberapa pasal krusial dari draf RUU KUHP yang masih dipandang serius oleh sebagian besar masyarakat sebagai pasal penghinaan kepada kekuasaan umum. Sanksi yang diperoleh dari pelanggaran tersebut adalah ancaman penjara 18 bulan atau bisa diperberat jika penghinaannya menyebabkan kerusuhan.

Adapun substansi dalam RUU KUHP kontroversial tersebut sebagai berikut:

Pasal 349 Ayat 1

Berdasarkan pasal tersebut, disebutkan bahwa setiap orang yang di muka umum dengan lisan atau tulisan menghina kekuasaan umum atau lembaga negara, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

Lalu dalam ayat 2 menyatakan bahwa jika tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 mengakibatkan kerusuhan dalam masyarakat, mendapatkan sanksi dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV. Sementara itu, di ayat 3 menegaskan bahwa tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dituntut berdasarkan aduan pihak yang dihina. Hukuman akan diperberat lagi bila penghinaan itu dilakukan menggunakan sosial media dengan ancaman 2 tahun penjara.

Pasal 350 Ayat 1

Pasal tersebut menyatakan bahwa setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, menempelkan tulisan atau gambar, memperdengarkan rekaman, menyebarluaskan melalui sarana teknologi informasi yang berisi penghinaan terhadap kekuasaan umum atau lembaga negara, dengan maksud agar isi penghinaan tersebut diketahui oleh pihak umum akan mendapatkan sanksi dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III. Bukan hanya itu, pada bagian penjelasan, telah dijelaskan mengenai penghinaan kepada DPR, polisi, jaksa hingga wali kota.

Apa esensi dalam RUU tersebut? Tak lain dan tak bukan ketentuan tersebut dimaksudkan agar kekuasaan umum atau lembaga negara dihormati. Oleh karena itu, perbuatan menghina terhadap kekuasaan umum atau lembaga tersebut dipidana berdasarkan sanksi ketentuan tersebut. Dalam hal ini, yang dimaksud dengan “kekuasaan umum atau lembaga negara” adalah DPR, DPRD, Polri, kejaksaan, atau struktural pemerintahan, baik Pemerintah Daerah (Pemda) maupun Pemerintah Pusat (Pempus).

Agaknya, langkah tersebut dapat memancing amarah masyarakat. Secara hukum, seolah-olah ketentuan tersebut dirancang untuk membungkam kritikan masyarakat terhadap kelembagaan negara. Bukankah negara Indonesia adalah negara hukum dan domokrasi? Dari semua gejolak tersebut, lantas dimanakah letak era demokratisasi tersebut?

Padang, 17 November 2022

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Rinai

Next Post

Nafas Pagi

Related Posts
Total
0
Share