Film A Thousand Cuts: Tubuh Demokrasi Tersayat Akibat Pers Dibungkam

Kegiatan Nobar dan Diskusi Film A Thousand Cuts (Foto: Doni/suarakampus.com)

Suarakampus.com- A Thousand Cuts merupakan film dokumenter garapan Sineas keturunan Filipina-Amerika Ramona Diaz, dengan mengangkat sosok Pemimpin Redaksi Portal Berita Online Rappler, Maria Ressa. Film ini mengeksplorasi konflik antara pers dan pemerintah Filipina di bawah Presiden Rodrigo Duterte.

Memperingati hari impunitas internasional pada 24 November lalu, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Padang bersama LBH Padang mengadakan diskusi dan nobar film A Thousand Cuts. Di mana Maria Ressa harus mendekam di penjara selama enam tahun karena tuduhan penipuan dan pencemaran nama baik.

Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, film tersebut menceritakan sayatan-sayatan terhadap tubuh demokrasi dengan memenjarakan kebenaran yang disampaikan para jurnalis. “Hal ini menjadi ketakutan tersendiri bagi Indonesia karena mempunyai budaya dan sistem politik yang sama dengan Filipina,” katanya di Segeh Koffiehuis, Kamis (04/11).

Ia menuturkan presiden sebagai raja yang dibatasi konstitusi seharusnya paham dengan batasan-batasan kekuasaan. Namun Duterte memanfaatkan kekuasaan sehingga muncul sifat arogansi yang cenderung anti kritik.

Feri menyebutkan, Duterte mencoba membungkam media yang kritis terhadap pemerintah, seperti kisah Meria Ressa sebagai Pemimpin Redaksi Media Rappler. “Ketika jurnalis sudah ditangkap apalagi dibungkam maka tidak ada lagi yang memberikan berita,” katanya

Sependapat dengan Feri, Direktur LBH Padang Indira Suryani mengatakan, film tersebut menceritakan tentang pembelaan Hak Asasi Manusia (HAM). Katanya, Meria Rossa adalah potret pejuang HAM yang mengajarkan arti keikhlasan dalam perjuangan.

“Kita harus menikmati ancaman tersebut dengan senyuman, seperti yang dilakukan Maria Ressa saat ditahan dan didiskriminasi,” ucapnya.

Indira menilai Film A Thousand Cuts mempunyai kesamaan dengan situasi Indonesia saat ini, yaitu oligarki. Kata dia, penerapan politik balas budi dan bagi-bagi jabatan merupakan dampak buruk dari oligarki. “Seperti jabatan Wali Kota yang didapatkan anak Durte ketika ia berkuasa,” terangnya.

Lanjutnya, oligarki juga didukung oleh pasukan dunia maya atau buzzer pro pemerintah yang mengakibatkan akun para aktivis sering di hack pemerintah atau buzzer. “Maka kita harus punya cara menghadapi buzzer,” tegasnya.

Ia menuturkan, salah satu satu penyebab oligarki begitu berkuasa, karena masyarakat kurang kritis terhadap pemerintah, sehingga sifat primordial yang dianut masyarakat menghasilkan pemimpin yang tidak bijaksana. “Pemimpin itu gambaran dari rakyatnya, karena rakyat murahan maka terpilihlah pemimpin yang demikian,” tuturnya.

Indira berharap masyarakat dapat mengubah sifat primordial dan kritis dalam memilih pemimpin. “Ini tugas kita semua untuk memperbaiki pola pikir masyarakat agar tidak bersifat murahan,” harapnya. (ulf)

Wartawan: Firga, Muhammad Iqbal

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Jurnalpos Media Gelar PJTLN, Bahas Advokasi Jurnalisme

Next Post

Kemuslimahan Al Irsyad Fakultas Syariah Gelar Kajian Forum Annisa

Related Posts
Total
0
Share
410 Gone

410 Gone


openresty