Pertahankan Nyawa Berujung pada Jeratan Pidana

Ilustrasi by istockphoto.com

Julfahmi Syahputra (Mahasiswa Universitas Andalas)

Akhir-akhir pembelaan terpaksa kian mendapatkan banyak perhatian terutama dari masyarakat luas. Seperti korban begal di Nusa Tenggara Barat (NTB) dijadikan tersangka oleh pihak kepolisian. Kasus ini bermula ketika Amaq Sinta, Warga Praya Timur, Kabupaten Lombok, NTB dihadang oleh komplotan begal berjumlah empat orang, pada 10 April 2022 menggunakan senjata tajam.

Komplotan begal tersebut mencegat dan mencoba merampas motor korban. Tak terima dengan apa yang ditimpanya,  korban berusaha melakukan perlawanan untuk membela diri. Namun naas, pembelaan diri itu mengakibatkan dua begal tertusuk dan meninggal di tempat. Adapun begal lainnya kabur melarikan diri.

Amaq Sinta oleh pihak kepolisian dijadikan sebagai tersangka, karena pembelaan diri yang ia lakukan mengakibatkan terbunuhnya komplotan begal. Penjatuhan Amaq Sinta menjadi tersangka didasarkan kepada hasil dari penyelidikan yang dilakukan oleh pihak kepolisian yang kemudian dikenakan dengan Pasal 338 KUHP dan Pasal 351 KUHP ayat (3).

Hal tersebut menjadi perhatian publik kala itu, setelah mendapatkan banyak kecaman dan tekanan dari masyarakat, akhirnya pihak Polda NTB mengambil alih kasus tersebut dan penyidik dari polda NTB memutuskan menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang membuat Amaq Sinta pun dinyatakan bebas dari status tersangka.

Atas kasus ini penerapan pembelaan terpaksa kian mendapat perhatian, terlebih ketika banyak terjadi kasus pembelaan terpaksa yang diselesaikan tidak sesuai dengan ketentuan Hukum Pidana di Indonesia. Seharusnya negara dalam hal ini hadir untuk melakukan perlindungan kepada masyarakat, sesuai yang telah diamanatkan dalam UUD 1945 Pasal 28I Ayat (4) yang mengatakan bahwa: “Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab negara, terutama pemerintah”.

KUHP itu sendiri di dalamnya telah diatur perihal pembelaan paksa (Noodweer) itu sendiri yakni pada Pasal 49 ayat (1) KUHP yang menyebutkan bahwa: “Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum”.  Jika merujuk kepada kasus Amaq sinta, ia melakukan pembelaan yang dilakukan semata-mata untuk melindungi diri dan kehormatannya. Hal ini dibenarkan meskipun dalam perbuatan tersebut dilakukan dengan cara yang merugikan kepentingan penyerang, yang pada keadaan biasa merupakan suatu perbuatan yang dilarang, di mana jika melakukan perbuatan tersebut pelaku akan diancam dengan hukuman pidana. Sehingga pada kasus yang dialami oleh Amaq Sinta tidak terlihat adanya unsur melawan hukum, baik secara formil dan secara materil.

Menurut R. Soesilo dalam buku “Kitab Undang-Undang Hukum Pidana serta Komentar-Komentar lengkap Pasal Demi Pasal” menjelaskan apa saja yang dapat dijadikan sebagai syarat-syarat yang dapat dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa, yaitu:

1.    Perbuatan yang dilakukan itu harus terpaksa dilakukan untuk mempertahankan (membela). Pertahanan itu harus amat perlu, boleh dikatakan tidak ada jalan lain. Di sini harus ada keseimbangan yang tertentu antara pembelaan yang dilakukan dengan serangannya. Untuk membela kepentingan yang tidak berarti misalnya, orang tidak boleh membunuh atau melukai orang lain.

2.    Pembelaan atau pertahanan itu harus dilakukan hanya terhadap kepentingan-kepentingan yang disebut dalam pasal itu yaitu badan, kehormatan dan barang diri sendiri atau orang lain.

3.    Harus ada serangan yang melawan hak dan mengancam dengan sekonyong-konyong atau pada ketika itu juga

Perbuatan melawan hukum dapat dikategorikan sebagai pembelaan terpaksa apabila dalam pembelaan tersebut dilakukan terhadap serangan secara tiba-tiba yang mengancam dan ditujukan kepada harta benda ataupun nyawa serta pembelaan tersebut semata-mata dilakukan terhadap serangan tersebut. Dengan adanya ketentuan mengenai pembelaan terpaksa yang menjadi salah satu alasan penghapusan pidana seharusnya menjadi perlindungan bagi masyarakat luas.

 Amaq Sinta seharusnya tidak dijadikan sebagai tersangka, karena pembelaan yang ia lakukan semata-mata dalam rangka pembelaan terpaksa demi menjaga keamanan diri dan kehormatannya. Namun penerapan Pasal 49 ini sangat sulit, sehingga diperlukan kejelian aparat penegak hukum khususnya para hakim menerapkan aturan. Pasalnya aturan tersebut merupakan perlindungan hukum bagi mereka yang disangka bersalah. Selain itu penguasaan yang mendalam terhadap pengetahuan hukum pidana serta ilmu hukum lainnya yang relevan akan menambah idealisme penerapan hukum, sehingga menjadikan wibawa hukum tidak luntur di mata masyarakat dalam menegakan keadilan.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Wali Nagari: Talang Babungo Tempat yang Cocok untuk Pelaksanaan KKN

Next Post

Libur Semester, Perpustakaan UIN IB Tetap Dibuka

Related Posts
Total
0
Share
410 Gone

410 Gone


openresty