Oleh : Hasbunallah Haris
Salju turun, udara dingin menguar memenuhi ruangan segi empat itu. Aku duduk di depan secangkir kopi panas di Hanzade Terrace menikmati salju dari balik jendela kaca yang terpatri bagaikan mozaik abad pertengahan. Di sekelilingku banyak orang-orang berpakaian tebal dengan mantel bulu mereka berbagai model, tak memedulikan salju dan lebih asyik mengobrol dengan teman sebangku mereka.
Aku mengecek arlojiku untuk ke tiga kalinya. Sudah pukul lima sore, namun orang yang dari tadi kutunggu belum juga menampakkan batang hidungnya. Lima menit lagi dia belum muncul aku memutuskan balik ke apartemen. Percuma bermain-main di luar seperti ini saat musim dingin. Lebih baik menyelesaikan pekerjaanku yang menumpuk dan menunggu CV lain datang.
Tapi beberapa saat kemudian seorang perempuan bermantel hitam masuk ke Hanzade dan celingak-celinguk mencari seseorang. Sadar bahwa dia sedang mencariku, aku pun mengacungkan tangan dan memintanya mendekat.
“Maaf saya terlambat,” ujarnya dengan bahasa Turki yang cukup bagus, lalu membuka mantel dan meletakkannya di sandaran kursi. “Saljunya deras sekali. Anda sudah lama menunggu saya, Nyonya Sasyza?”
Aku melirik cangkir kopiku yang sudah hampir kosong. Berusaha memberitahunya bahwa aku sudah cukup lama berada di sana dan belum memesan makanan karena menunggunya datang. Menyebalkan!!
“Saya benar-benar minta maaf, Nyonya Sasyza. Sudah berusaha datang tepat waktu. Tapi … sulit sekali mencari taksi jika salju turun deras begini.”
Aku mengangguk, mengamati perempuan muda yang ada di depanku sekarang. Dia tidak terlalu tinggi, sebegaimana perempuan Asia lainnya. Aku tidak bisa melihat kulit tangannya karena dia memakai jaket besar dan sarung tangan bulu bermotif Mickey Mouse berwarna merah jambu, tapi aku berani taruhan kulitnya kuning langsat seperti umumnya perempuan Asia.
“Duduklah,” ujarku padanya. “Aku sudah tahu salju turun deras dan taksi memang susah.”
Dia menarik kursi yang satunya lagi dan duduk di depanku, melepaskan tas yang disandangnya dan mengeluarkan sebuah map yang cukup tebal. Dia menyerahkan map itu masih dengan raut muka bersalah. Orang-orang Indonesia memang terkenal sekali tidak menghargai waktu, tapi untuk kali ini aku tidak akan memberikannya detensi karena salju memang sedang deras.
“Ini seperti yang Anda minta, saya sudah menuliskan semuanya.”
Aku mengangguk. “Pesan saja makanan dan aku akan membaca ini sebentar. Kau butuh secangkir kopi panas?”
“Ya, saya kedinginan.” Dia menggosok-gosok tangan lalu menekan bel yang ada di atas meja. Seorang pelayan berpakaian rapi datang membawa daftar menu sementara aku sudah asyik dengan map yang diserahkannya tadi.
Nama : Firda Yolanda
Kewarganegaraan : Indonesia
Pekerjaan : Mahasiswa Istanbul Universitesi
Riwayat pendidikan : MTI Candung, Indonesia
Keahlian : Bahasa Arab dan Inggris
Pengalaman Kerja : ….
Aku membaca CV singkatnya dan tertarik dengan salah satu persyaratan yang telah kutetapkan dan itu akan menjadi standar utama dia diterima atau tidak di perushaaan mikro yang sedang aku pimpin; Pengalaman ke Luar Negeri.
“Kau kuliah dengan biaya sendiri, Yolanda? Atau siapa nama panggilanmu, kita baru berkenalaan lewat telepon saja.” Aku mengulurkan tangan dan dia menyambutnya dengan canggung.
“Silakan panggil Yolanda, Nyonya Sasyza.”
“Baiklah, Yolanda. Apakah kau kuliah dengan biaya sendiri?”
“Benar, Nyonya. Sambil bekerja paruh waktu.”
Aku terkejut mendengarnya. Bagaimana mungkin perempuan kecil sepertinya dapat bekerja di dua tempat sekaligus. Dia melamar di kantorku dan bekerja juga di tempat lain. Jangan lupakan dia juga seorang mahasiswa. Apa dia bisa membelah diri?
“Oh ya? Bekerja di mana?”
“Sebagai penulis tetap di Indonesia.”
Aku mengangkat alis, sedikit membuka mulut untuk berkomentar namun Yolanda buru-buru memperbaiki kalimatnya.
“Maksud saya … saya bekerja sebagai penulis novel dan menerbitkannya di Indonesia. Pekerjaan yang bisa dilakukan di mana saja dan sama sekali tak mengganggu jadwal kuliah.”
Aku terkesan padanya. Perempuan muda, pemberani dan penuh tekad. Kuperhatikan wajahnya yang bersih dan alis matanya yang tajam, juga pipinya yang memerah menahan dingin. Di balik itu semua pasti ada tempaan alam yang tidak tanggung-tanggung.
“Bagaimana kau bisa sampai di Turki? Apa Indonesia tidak menarik lagi bagimu? Ah, jangan terlalu formal, Yolanda. Kau tidak perlu menyebut saya dengan Anda dan saya untuk dirimu. Kau tahu aku belum terlalu tua.”
Harus kuakui dia sedikit terganggu dengan pertanyaanku. Tapi aku orang yang tidak pandai basa-basi jika sedang menanyai seseorang. Terserah padanya apakah dia marah padaku atau tidak.
“Baiklah. Aku … sudah memimpikan hal ini sejak kecil,” jawab Yolanda sedikit menunduk. “Orang-orang di desaku selalu mengejek keluarga kami yang miskin tapi punya mimpi yang sangat tinggi. Kami dijuluki dengan peribahasa bagaikan pungguk merindukan bulan. Sesuatu hal yang mustahil untuk dicapai. Tapi ayahku selalu meyakinkanku akan mimpi itu dan berulang kali mengatakan bahwa suatu hari nanti pasti tercapai. Dia membelikanku peta negara Turki sebagai hadiah ulang tahun yang ke sembilan belas dan aku menempelkannya di dinding kamarku agar bisa kupandangi setiap saat.”
“Aku melihat bahasa Turkimu oke. Kau belajar di mana, Yolanda?”
“Aku belajar dengan cermin, di rumahku. Setiap malam aku bicara dengan diriku sendiri dengan bahasa Arab, Inggris dan Turki. Aku menghafal banyak kosa-kata setiap hari dan mempraktekkannya di depan cermin. Ketika ujian kuliah ke luar negeri, alhamdulillah aku memperoleh nilai yang memuaskan. Tapi … ayahku meninggal satu hari sebelum keberangkatanku.”
“Dan kau dilarang untuk terbang?”
“Benar. Karena hanya ayah yang mendukungku untuk terbang ke Turki, sedangkan keluargaku yang lain tak senang begitu aku lulus di Turki. Mereka menganggap bahwa itu hanya kebetulan dan melampauai anak-anak mereka yang hanya kuliah di daerah saja. Pada akhirnya tak ada lagi yang mendukungku. Aku sungguh sangat terpuruk. Apalagi setelah mengetahui aku lulus di Turki namun tidak dengan beasiswa luar negerinya. Dengan apa aku akan terbang jika uang tidak ada? Sekalipun selama di sini aku tidak akan membayar uang kuliah, namun tetap saja memerlukan banyak uang untuk keberangkatan dan biaya hidupku di sini …”
“Ibumu?” Aku menyela. “Dia juga tidak mendukungmu?”
Yolanda makin menunduk. “Ibuku meninggal ketika usiaku sembilan tahun. Dia perempuan luar biasa yang telah melahirkanku. Seperti ayahku, ibu sangat mendukung apa saja yang menjadi cita-citaku.”
Aku tercekat. Sebuah tamparan seolah baru saja menyadarkanku akan satu hal. Tuhan tidak pernah menyia-nyiakan hambanya yang bekerja keras dan selalu memberikan selimut ketenangan bagi siapa yang ingin mendekat padanya. Aku berhenti bertanya karena pelayan sudah datang membawakan pesanan. Betapa kagetnya aku melihat perbedaan pesanan di antara kami. Yolanda memesankan daging asap, kambing bakar dan roti gandung serta semangkok sup panas untukku. Namun dihadapannya sendiri hanya ada secangkir kopi panas.
“Kau hanya memesan itu?”
Yolanda mengangguk, tersenyum. Aku berani bersumpah itu adalah senyum paling tulus setelah senyum ibuku yang pernah kulihat.
“Aku hanya mampu membeli secangkir kopi ini, Nyonya Sasyza,” jawab Yolanda sejujurnya dan membuatku terguncang. Aku lalu memindahkan sup kacang dan roti gandum ke hadapannya dan memaksanya untuk makan setelah dia menolak beberapa kali.
“Di mana kau tinggal, Yolanda?” tanyaku sambil makan, menyingkirkan map itu dari hadapanku.
“Di Emim Sinan Hamami, ada teman yang memberiku tumpangan selama dua tahun, selanjutnya aku harus mencari tempat tinggal baru. Dia juga orang Indonesia, senior semasa sekolah dulu.”
Aku mengangguk. Yolanda menikmati hidangan dihadapannya dengan ragu. Aku memprediksikan bahwa dia belum pernah makan semewah ini selama di Turki. Karena ketika aku menyebutkan tempat pertemuan kami tadi, dia sedikit ragu sebelum menjawab ‘ya’.
“Kau bisa tinggal di apartemenku kalau kau mau,” ujarku lagi. Setelah mempertimbangkan banyak hal yang berputar dalam kepalaku. “Aku tinggal di Tiyatro, kau akan cepat jika hendak ke kampus. Bagaimana?”
Kulihat Yolanda ragu-ragu. Aku menambahkan dengan berujar, “Oh, kau tidak perlu memikirkan sewa rumah, Yolanda. Silakan tinggal sesuka hati dan kau diterima bekerja di perusahaaanku di LC Waikiki. Kau mau bekerja mulai besok? malam ini kita akan menjemput barang-barangmu di tempat orang Indonesia itu.”
“Aku … terima kasih banyak, Nyonya Sasyza. Tapi … apa yang membuat Anda begitu baik dengan saya?”
Aku tersenyum padanya. “Kita sama. Aku juga anak yatim-piatu.”