Bayang Mendung di Kala Senja

Ilustrasi: Nadia/suarakampus.com

Oleh: Verlandi Putra

(Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang)

Akalbalik masa menjadi panduan setapak demi setapak. Sungguh, jalan hidup manusia tak pernah sepi dari liku yang membaur dalam tragedi kolosal maupun komedi serapah. Namun, bagaimana jika sekelumit kisah tertulis tak lebih daripada naskah panjang yang merajut dari satu kepura-puraan demi menyembunyikan kekejian terselubung?

Bernaung dalam mahligai kokoh yang meruak aroma kebahagian, sepasang manusia mengukir nama dalam keemasannya. Si penangguh fatamorgana, Edward Grantburch, mengubah nasib selepas menikahi sang bidadari berharta, Madelyn Witherhome, yang menjelma sosok permaisuri dalam rumah tangga mereka.
“Rawan adalah hidup, tetapi lebih rawan lagi ketika berbalut kemiskinan,” Edward berucap dengan nada pongah sembari memamerkan seringainya. Pandangannya liar menatap sosok jelita Madelyn yang tengah bersandar di samping jendela sembari memandangi hamparan hampir senja di luar sana.

“Namun kemiskinan tidak lantas menjadikanmu bermentalitas miskin, Sayang,” Madelyn menanggapi penuturan suaminya dengan lemah lembut meski dalam hatinya terbesit sedikit keraguan akan keluhuran budi pekerti sang suami. Madelyn sendiri merupakan puteri tunggal dari keluarga terpandang Witherhome yang sukses bergelut dalam bisnis properti.

Terbersit keraguan atas ketulenan hati Edward ketika berbulan menyunting mahkota dari rumpun bunga Witherhome. Bagaimanapun, masa lalu Edward yang sarat akan kehampaan membuat Madelyn sedikit khawatir, terlebih dengan sikap keangkuhan serta keserakahannya. Namun atas kasih sayang yang membuncah, Madelyn mencoba meyakinkan dirinya bahwa Edward telah berubah seutuhnya. Tanpa Madelyn sadari, terselip dendam kesumat dalam relung hati Edward, membusuk bagaikan bangkai tikus yang dikhianati teman-temannya sendiri.

Terlalu silau akan kemilau harta, hati Edward terlanjur terselubungi kabut fanatik yang membutakan mata nuraninya. Bahkan di saat Madelyn hamil dan melahirkan putra mereka, Liam, hasrat keji Edward untuk menguasai harta Witherhome tidak juga luruh. Ia mencoba untuk bersikap manis bagaikan madu di hadapan Madelyn, sembari mengail air dari bawah batu dengan sayap-sayap gelapnya.

“Kaukah anak seorang Witherhome?” Edward berucap dengan senyum kecut sambil mengusap perut istrinya yang membuncit. Ia tengah berpikir untuk memiliki keturunan dari darah Witherhome, tentu akan memudahkannya untuk memiliki hak waris jika suatu saat Madelyn tiada. Cepat atau lambat.

Sosok tua yang wibawanya semakin mengkristal seiringnya kepala semakin memutih itu bangkit dari kursi sembari berjalan memutar ke arah Edward dengan langkah santai namun terkesan berwibawa. Itu sosok Fergus Witherhome, ayah Madelyn yang kemilauannya sama menyilaukan dengan kilau hartanya. Tubuhnya yang ringkih diiringi wajahnya yang berseri bak batu mulia namun mengandung kearifan dan kecerdasan yang tak tertandingi.

“Perlu dikhawatirkan jika seseorang hanya peduli pada suatu golongan belaka. Bukankah Tuhan menciptakan manusia dengan segala perbedaan namun satu tujuan untuk saling mengasihi dan menyayangi?” Fergus berkata dengan bijak. Sorot matanya tenang namun menusuk bagaikan senjata tak kasat mata bagi siapapun yang berani mengusik keluarganya.

“Oh, tentu tidak, Ayah Mertua. Saya tidak berniat seperti itu sama sekali,” Edward menjawab dengan sikap seramah mungkin meski dalam benaknya ingin sekali mengumpat.

Semua berjalan dengan baik sesuai rencana, setidaknya begitulah dugaan Edward. Namun dalam prosesnya, sebuah rintangan senantiasa menghadang seolah bisa menyeretnya ke dalam jurang kelam setiap waktu. Tak disangka, ternyata ada pihak yang waspada akan rencana busuk Edward. Fergus yang masih awas akan potensi kejahatan di balik topeng kebaikan mulai sering mengawasi gerak-gerik menantunya tersebut.

Tibalah suatu sore di salah satu senja dalam awal musim gugur yang menyisakan warna lembayung keruh di langit seperti sulur kelelahan alam semesta. Sepeninggal Madelyn yang sibuk bersosialisasi dengan komunitas sumbangan dan amal, Edward melenggang dengan gaya angkuh dan memasuki ruangan kerja Fergus, merengut dengan wajah masamnya sembari mengulurkan tangan.

“Serahkan seluruh harta Witherhome untuk Liam, sehingga kami bisa berkuasa di masa depan,” tukasnya sambil mengeluarkan seringai sombong. Fergus yang duduk di bangku kerjanya hanya mengangguk pelan dengan seulas senyum tenang menghiasi wajahnya. Matanya tak lagi sejernih ramuan pebuh yang membangunkan makhyak bisu. Namun tatapannya tajam menusuk bagaikan embun yang menyisakan ketajaman duri mawar pada rintik yang menetes.

“Bukankah kau pernah mengingatkan bahwa keluarga kita haruslah bersatu? Mengapa tiba-tiba kau berubah picik seperti ini?” Fergus berpaling menatap putera semata wayangnya yang tengah terlelap di atas ranjang dengan wajah seorang bayi yang polos, suci tanpa dosa.

“Aku hanya ingin yang terbaik untuk keturunan darahku, untuk Liam.” Edward tak lagi bisa menyembunyikan segurat amarah dalam tatapannya. Bahkan tanpa sadar emosinya telah menguap begitu saja.
Fergus bangkit dan beringsut melangkah mengambil sebuah pigura yang tersimpan di lemari berukir.

Dipandangnya lekat pigura itu, memperlihatkan sebuah foto padang rumput yang berhamparan luas nan hijau dengan butiran embun menghiasi ujung-ujung daunnya di pagi buta. Di foto itu tampak beberapa kerumunan manusia, namun Fergus hanya memandang satu objek saja, sesosok wanita tua yang sudah renta tengah menatap hamparan padang rumput sambil tersenyum teduh. Sang ibunda dari keluarga With… Sang ibunda dari keluarga Witherhome.

“Andai ibundaku masih ada, ia tentu akan sangat kecewa melihat perpecahan dalam keluarga ini,” Fergus berkata dengan nada memelas sembari menatap lekat foto kenangan itu. “Dulu ia selalu mengajarkan tentang ketulusan, keikhlasan, serta pentingnya menjaga persatuan dalam keluarga.”

Edward termangu mendengar kalimat yang dilontarkan sang mertua. Sebersit rasa malu mulai mengusiknya, namun ego keangkuhan kembali mengalahkannya. “Aku hanya ingin yang terbaik untuk putraku, yaitu harta untuk masa depannya,” ujarnya dengan geram, mencoba membela diri.

Fergus menghela napas panjang. Perlahan ia berjalan mendekati Edward dengan langkah tertatih. “Aku tahu kau menginginkan yang terbaik untuk keturunanmu, Edward. Tetapi percayalah, harta bukanlah segalanya. Justru ketulusan, keikhlasan dan persatuan dalam keluarga adalah harta yang tak ternilai,” tuturnya bijak.
“Lagipula, mengapa kau begitu tergesa-gesa menuntut harta? Bukankah aku masih hidup dan masih bisa menjaganya untuk masa depan cucuku?” Fergus melanjutkan dengan tatapan teduh namun menghunjam sanubari Edward.

Tak disangka, ternyata Fergus sepenuhnya menyadari segala niat buruk yang terbesit dalam benak menantunya itu. Selama ini ia berpura-pura tidak tahu sembari mengamati secara saksama setiap gerak-gerik dan kata yang terlontar dari mulut Edward. Kini semua sudah terbongkar dengan gamblang.

Edward tercenung, seakan semua tipu muslihatnya telah terkuak sudah. Ditatapnya teduh sang mertua yang menatapnya dengan penuh wibawa sekaligus kearifan. Sejenak ia mencoba berkelit, “Maksudku, demi kebaikan Liam sepeninggal Anda nanti…”

“Jangan membohongi dirimu sendiri lagi, Edward,” Fergus memotong dengan nada tegas namun masih memancarkan keteduhan. “Lihatlah di cermin, sadarlah bahwa nafsu keangkuhanmu telah menghalaumu dari sifat kemanusiaan. Sadarlah, sebelum segalanya terlambat.”

Edward menelan ludah dengan susah payah. Ia terpaksa harus mengakui dalam hati bahwa semua kata-kata Fergus memang benar. Ambisi untuk menguasai harta telah mengalahkan sisi kemanusiaannya. Seketika ia sadar bahwa dirinya telah melupakan esensi sejati sebuah keluarga yang seharusnya dijunjung tinggi-tinggi, ketulusan, keikhlasan dan persatuan.

Edward pun jatuh berlutut di hadapan Fergus. Pertahanannya luruh sudah. “Maafkan aku, ayah mertua. Aku… aku telah buta oleh ambisi harta hingga lupa akan pentingnya ikatan keluarga,” lirihnya dengan nada penuh penyesalan.

Fergus tersenyum teduh. Ditepuknya pelan bahu Edward, “Semua tidak terlambat, Anakku. Yang terpenting sekarang, buanglah segala nafsu keangkuhanmu itu. Mari kita jaga keutuhan keluarga ini dengan sepenuh ketulusan dan keikhlasan. Harta sejatinya adalah kasih sayang yang tulus dalam keluarga.”
Setitik air mata haru menetes di pelupuk mata Edward. Entah mengapa tiba-tiba ia merasa lega, seakan terbebas dari jerat belenggu ambisi kegelapan yang selama ini membelenggunya. Kini ia sadar, kebahagiaanlah harta yang sejati, dan kebahagian itu hanya bisa diraih dengan menjaga keharmonisan dan persatuan dalam keluarga.

Dari balik pintu, tampak sesosok Madelyn yang sedari tadi menyaksikan peristiwa tersebut dengan senyum haru terkulum di bibirnya. Setidaknya kini ia tak perlu lagi meragukan sikap suaminya, karena kebenaran telah menemukan cahayanya sendiri. Persatuan keluarga, bukan harta, adalah harta sejati yang harus dijaga hingga akhir nanti.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Masa Depan yang Cerah Berkelanjutan dengan Energi Bersih Serta Lingkungan Hidup

Next Post

20 Mahasiswa UIN IB Lolos SIBAC-SIP, Bakal Berangkat ke Dua Negara

Related Posts
Total
0
Share