Plot Pembubaran FPI: Kisah Klasik Lemahnya Demokrasi Indonesia

Suarakampus.com- Semenjak kepulangan Imam Besar Front Pembela Islam(FPI) Habib Rizieq Shihab (HRS) dari Arab Saudi pada awal November lalu, ormas yang bermarkas di Petamburan itu hampir tidak pernah absen dari pemberitaan media.

Sebelumnya, HRS juga tengah berada dalam proses hukum terkait kerumunan di Megamendung, Bogor, Jawa Barat pada Jum’at (13/11). Saat itu massa FPI datang beramai-ramai menyambut kedatangan HRS yang baru beberapa hari berada di tanah air pasca kepulangannya dari Arab Saudi.

Berdasarkan gelar perkara yang dilakukan Polda Jawa Barat (Jabar) pada 17 Desember lalu, Polda Jabar menetapkan HRS sebagai tersangka akibat kerumunan di Megamendung. Tak cukup sampai di situ, polemik FPI terus berlanjut ketika polisi menembak mati enam pengikut HRS di Tol Jakarta-Cikampek KM 50 pada Senin (7/12) dinihari.

Polisi beralasan langkah tersebut diambil karena pengikut HRS mencoba untuk merebut senjata milik polisi. Dikutip dari Kompas, sebelum penembakan itu, mulanya polisi menerima informasi ada rencana pengerahan massa mengawal HRS untuk pemeriksaan yang dijadwalkan berlangsung pada Senin, (7/12). Keterangan polisi mengatakan dari situ petugas membuntuti kendaraan pengikut HRS.

Teranyar, PT. Perkebunan Nasional (PTPN) mengirim suara somasi tertanggal 18 Desember 2020 terkait lahan di Megamendung yang ditempati pesantren binaan HRS. PTPN menyebut lahan yang ditempati pesantren HRS merupakan lahan milik PTPN (detik.com, 24/12).

Plot perjalanan FPI akhirnya menemui titik akhir ketika pemerintah menetapkan FPI sebagai ormas terlarang. Pemerintah mengumumkan FPI sebagai organisasi terlarang dan resmi dibubarkan, Rabu (30/12).

Pembubaran FPI tersebut berlaku setelah pemerintah menandatangani Surat Keputusan Bersama (SKB) enam pejabat yakni Menteri Dalam Negeri, Menteri Hukum dan HAM, Menteri Komunikasi dan Informatika, Jaksa Agung, Kapolri, dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme tentang Larangan Kegiatan, Penggunaan Simbol dan Atribut serta Penghentian Kegiatan Front Pembela Islam per Rabu (30/12/2020).

“Pemerintah melarang aktivitas FPI dan akan menghentikan setiap kegiatan yang dilakukan FPI, karena FPI tidak lagi mempunyai legal standing sebagai ormas maupun organisasi biasa,” ucap Menkopolhukam Mahfud MD dalam konferensi pers di kantor Kemenko Polhukam.

Lebih lanjut, eks Ketua Mahkamah Konstitusi itu menyebut berdasarkan peraturan perundang-undangan dan sesuai putusan MK, tertanggal 23 Desember 2014, pemerintah melarang aktivitas FPI dan akan menghentikan setiap kegiatan FPI.

“Bahwa FPI sejak 21 Juni 2019 secara de jure telah bubar sebagai ormas, tetapi sebagai organisasi, FPI tetap melakukan aktivitas yang melanggar ketertiban dan keamanan yang melanggar hukum,” lanjutnya.

Membahayakan demokrasi

Menanggapi pembubaran FPI, Profesor Pemerintahan dengan fokus kajian Asia Tenggara dari Cornell University Tom Pepimsky, mengatakan pembubaran FPI oleh pemerintah melihatkan betapa lemahnya demokrasi di Indonesia.

“Pembubaran FPI adalah error stratrgis melawan radikalisme yang menunjukan kelemahan Demokrasi Pancasila di Indonesia,” mengutip pernyataan Tom di akun tiwitter pribadinya saat dikonfirmasi suarakampus.com.

Menurutnya, pendekatan yang dilakukan pemerintah Jokowi beberapa tahun ini, yakni membubarkan ormas secara legal tidak akan efektif. Ia beralasan tidak efektifnya pembubaran ormas seperti FPI, karena yang dibubarkan bukan ideologi atau dukungan kelompok islam yang tergabung dengan FPI, melainkan hanya organisasi dan struktur hukum. “Dalam waktu dekat akan muncul kelompok-kelompok baru,” katanya.

Ia melanjutkan, penggunaan kekuasaan negara melawan ormas bisa membahayakan demokrasi. “Ini bukan tindakan demokrasi yang sehat, yang percaya diri. [Melainkan] demokrasi yang sesat, yang tidak percaya ideologi pancasila bisa melawan islamisme garis keras. Mengkhawatirkan. Dan implikasi jangka panjangnya menakutkan,” katanya.

FPI adalah ormas kedua yang dibubarkan Pemerintahan Joko Widodo semenjak eks Walikota Solo itu berkuasa dari Medan Merdeka Barat sejak 2014 silam. Nasib serupa telah dialami terlebih dahulu oleh Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang dibubarkan pada 2017 lalu.

UU Ormas ‘ala’ Orde Baru

Melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2017 tentang perubahan atas UU Nomor 17 Tahun 2013 tentang Ormas, yang telah disahkan menjadi UU Nomor 16 Tahun 2017, pemerintah dapat membubarkan suatu organisasi tanpa melalui proses di pengadilan.

Menurut Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKO) Universitas Andalas Feri Amsari, walau pembubaran FPI memiliki dasar hukum yang jelas, yakni UU 16 Tahun 2017. Namun, kata Feri, UU Ormas ini dinilai bermasalah sejak awal, yakni pengabaian kritik terhadap UU tersebut saat proses pembentukannya. “UU tersebut menghapus mekanisme pembubaran ormas melalui peradilan yang sesungguhnya diatur dalam UU Ormas lama. UU Ormas baru yang dibentuk dari Perpu Presiden Jokowi ini bermasalah,” ujar Feri.

UU Ormas tersebut, kata Feri, bertentangan dengan semangat reformasi yang termaktub dalam UUD 1945 yang melindungi kebebasan berserikat, berkumpul dan menyatakan pendapat dalam bentuk lisan dan tulisan. “Gaya pembubaran ormas seperti ini khas Orde Baru. Presiden Gus Dur menentang betul cara-cara pembubaran ormas seperti ini,” kata Feri seperti dikutip Tempo.co, Rabu (30/12).

Adapun Pasal 59 UU Ormas mengatur ketentuan mengenai syarat sebuah ormas dilarang. Selanjutnya, Pasal 60 mengatur bahwa Ormas yang melanggar ketentuan dapat dijatuhi sanksi administratif dan/atau sanksi pidana. Pasal 61 lebih lanjut mengatur, sanksi administratif terdiri atas peringatan tertulis, penghentian kegiatan, dan/atau pencabutan surat keterangan terdaftar atau pencabutan status badan hukum.

Sementara itu, Pengamat Politik sekaligus Aktivis Demokrasi M. Nurul Fajri menilai, kendati ada pihak yang berseberangan gagasan politik dengan FPI, dalam negara demokrasi, negara harus memberi ruang untuk pandangan politik apapun. “Negara harus memberi ruang sebagai pasar swalayan pandangan politik apapun. Sepanjang tidak melakukan tindakan yang merugikan hak orang lain,”kata Fajri.

Menurut Fajri, pembubaran FPI didasari atas perbedaan garis politik semata. Hal itu dilandasi karena selama ini FPI dinilai sebagai ormas yang keras mengkritik pemerintah dan militan. “Apakah sebegitu tidak berdayanya negara ini dalam kontestasi wacana, sampai semua harus ditindak lewat jalur paling banal dalam demokrasi, yaitu represi lewat jalur hukum dan kekuasaan,” kata Fajri.

Kemudian, merujuk kepada dalil pembubaran FPI, menurut Fajri, tidak memilik korelasi langsung dengan sikap organisasi sehingga patut dibubarkan apalagi dianggap terlarang. “Sebab dalil yang dipakai UU Ormas. Sementara dalil faktualnya hukum pidana biasa dan terorisme,” ungkapnya kepada suarakampus.com via whatsapp, Kamis (31/12).

“Kalau logikanya begitu, partai politik harusnya dibubarkan pertama kali. Sebab kadernya banyak terlibat korupsi, kejahatan lingkungan dengan pemberian izin lingkungan bermasalah hingga pengabaian hak warga negara. Dan itu terjadi setiap tahun,” pungkasnya.

Setelah FPI, siapa lagi? (ndt)

Wartawan: Nandito Putra

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Pemerintah Anggarkan Rp 110 Triliun untuk Bansos, Presiden: Semoga Tepat Sasaran

Next Post

Kasubag Humas UIN IB Padang Getri Ardenis dipindahkan, Mardius: Belum ada Pengganti

Related Posts
Total
0
Share