PPN Merangkak Naik, Ekonomi Rakyat Makin Tercekik?

(Ilustrasi: Ummi/suarakampus.com)

Oleh: Nurul Husni

(Mahasiswa Universitas Islam Negeri (UIN) Imam Bonjol)

Rencana kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% telah memunculkan polemik di berbagai kalangan. Dilansir dari republika.co.id, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan kenaikan tarif PPN akan dimulai tahun depan, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Langkah ini diambil untuk memperkuat penerimaan negara, meskipun masih mempertimbangkan kondisi perekonomian nasional dan daya beli masyarakat. Selanjutnya, dilansir dari tirto.id, Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Achmad Hanif Imaduddin menyatakan bahwa, keinginan awal untuk memutar roda ekonomi dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi, justru akan jadi bom waktu yang membahayakan kestabilan ekonomi negara.
Kenaikan tarif PPN diklaim sebagai langkah strategis untuk meningkatkan penerimaan negara, mendukung pembiayaan pembangunan, dan mengurangi ketergantungan pada utang. Namun, realitasnya tidak selalu sejalan dengan klaim tersebut. Dampak positifnya terhadap penerimaan negara dan pengurangan utang masih menjadi tanda tanya besar, sementara dampak negatifnya justru sudah terasa, terutama bagi masyarakat. Dalam situasi ekonomi yang sulit, kebijakan ini berpotensi semakin menekan daya beli rakyat dan memperburuk kesenjangan sosial. Lebih parah lagi, kebijakan itu diterapkan di tengah persoalan besar seperti korupsi yang belum teratasi dan kebiasaan pemerintah yang masih bergantung pada utang. Alih-alih meringankan beban negara, kebijakan seperti ini justru menambah penderitaan masyarakat tanpa solusi yang jelas untuk memperbaiki tata kelola keuangan dan ekonomi.
Situasi ini mencerminkan konsekuensi dari penerapan sistem ekonomi kapitalis yang menjadikan pajak sebagai salah satu sumber utama pemasukan negara. Dalam sistem ini, negara lebih berperan sebagai regulator dan fasilitator, yang sering kali lebih mengutamakan kepentingan pemilik modal dibandingkan dengan kebutuhan rakyat banyak. Alih-alih menjadi pelindung dan pengelola yang adil, negara tampak kehilangan kendali atas sumber daya dan potensi ekonominya, sehingga beban fiskal justru dialihkan kepada masyarakat luas.
Dalam sistem ekonomi Islam, negara yang dipimpin oleh seorang Imam (Khalifah) berperan sebagai ra’in (pelindung dan pengurus rakyat), yang bertanggung jawab penuh atas kesejahteraan masyarakat. Islam menetapkan berbagai sumber pemasukan negara yang stabil dan berkeadilan, seperti zakat, fai’, kharaj, dan pendapatan dari pengelolaan sumber daya alam. Adapun pajak, bukanlah sumber utama pendapatan negara dalam sistem ekonomi Islam. Justru, pajak hanya digunakan sebagai solusi darurat ketika kas negara kosong, sementara ada kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi demi kepentingan rakyat.
Pajak dalam negara Islam, tidak bermacam-macam seperti yang diterapkan dalam sistem kapitalisme. Pajak hanya dikenakan pada pria Muslim dewasa yang kaya, dan itu bukanlah sumber pemasukan rutin negara. Pajak tidak dipungut dari perempuan, anak-anak, orang non-Muslim, atau orang miskin. Dengan pengaturan pajak yang adil ini, negara Islam memastikan bahwa rakyat tidak akan terzalimi. Pengelolaan anggaran berdasarkan syariat Islam akan menciptakan kesejahteraan yang merata, di mana setiap warga negara mendapatkan haknya tanpa adanya beban yang tidak adil.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Dampak Media Sosial Terhadap Kesehatan Mental Remaja

Next Post

Listrik Belum Merata, Kemaslahatan Rakyat Diabaikan

Related Posts
Total
0
Share