Suarakampus.com– Resmi dikukuhkan sebagai Guru Besar, Ikhwan Matondang sampaikan orasi ilmiah dalam studi kasus perempuan sebagai imam dan khatib saat sholat Idul Fitri di Balingka, Sumatera Barat. Katanya, tradisi ini sudah dimulai sejak tahun 1928.
Ia menyebutkan tradisi tersebut dilatarbelakangi tekad dan semangat kaum wanita untuk mendirikan sholat Idul Fitri berjamaah pasalnya pada masa itu sholat Idul Fitri hanya diperuntukkan untuk kaum laki-laki. “Akhirnya mereka membentuk jamaah, imam, dan khatib sendiri,” ujarnya.
Kata dia, akibat tradisi tersebut banyak terjadi kontroversi dan pemahaman fiqh yang berbeda. “Ada tiga corak pemahaman fiqh di sini, radikal, moderat, dan liberal,” ungkap Dekan Fakultas Syariah itu.
Ia mengungkapkan pemahaman radikal, biasanya identik dengan ayat-ayat yang tertulis dan kontekstual. “Radikal cenderung kaku dalam memahami ayat, sedangkan moderat memberikan kesan mudah menafsirkan ayat,” jelasnya.
“Paham liberal mengartikan bahwa kebenaran adalah absolut, sehingga memahami ayat sampai melampaui batas,” sambungnya.
Ia menyimpulkan baik dalil yang melarang atau tidak, dalam problematika seperti ini Ikhwan memakai pemahaman moderat, bahwa sahnya sholat dengan imam maupun khatib perempuan dengan ketentuan tertentu. “Ini disandarkan qatadah perempuan boleh mengimami perempuan lainnya, tetapi tidak boleh untuk laki-laki,” tutupnya. (wng)
Wartawan: Muhammad Afiif Tryanda (Mg) dan Muhammad Nefdrian (Mg)