Suarakampus.com-Reformasi 1998, seperti yang kita lihat, memang telah membuka katup-katup demokrasi yang sebelumnya disumbat rezim otoriter orde baru: pers yang bebas, supermasi sipil, pemilihan langsung, dan pemurnian institusi-institusi demokrasi.
Buah dari reformasi terlihat dari komitmen negara untuk meletakkan kembali prinsip negara hukum. Misalnya, dengan pembentukan sejumlah peraturan perundang-undaang, seperti UU No. 35/1999 tentang Kekuasaan Kehakiman; UU No. 31/1999 tentang Tindak Pidana Korupsi; UU No. 40/1999 tentang Pers; UU No. 39 tentang HAM dan produk hukum lainnya yang memperkuat paham negara hukum.
Akan tetapi, pakar hukum Todung Mulya Lubis, dalam tulisannya Recworning Negara Hukum: A New Challenge, A New Era (2014), mengatakan, setelah reformasi 1998, negara hukum tidak pernah benar-benar diwujudkan. “Terlepas dari semua undang-undang tersebut belum berfungsi sebagaimana mestinya. Begitu banyak kejanggalan, tumpang tindih antara peraturan perundang-undangan, baik secara vertikal maupun horizontal. Bahkan ada persaingan tidak sehat antar lembaga hukum…” tulis Todung (h.7).
Senada dengan Todung, Ilhamdi Putra, akademisi dan peneliti hukum independen, mengatakan tidak banyak perubahan yang terjadi setelah reformasi 1998. Ilhamdi bilang, reformasi dirancang seolah-olah tidak akan pernah selesai. “Enam gagasan besar agenda reformasi itu tinggal catatan sejarah. Tidak bertemu ruas dengan buku,” kata Alumnus Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Andalas itu, saat ditemui wartawan Suara Kampus, dua pekan lalu.
Pengkhianatan terhadap agenda reformasi, kata Ilhamdi, tampak dari pembajakan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi UUNo. 30/2002. Revisi tersebut dinilai memperlemah lembaga anti rasuah.
Ilhamdi menguraikan bahwa apa yang terjadi pada KPK hari ini, adalah contoh nyata adanya kontrol tangan-tangan tidak terlihat di balik kekuasaan. Padahal, KPK lahir di tengah semangat penumpasan korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), yang telah berjalin-berkelindan di bawah kekuasaan Presiden daripada Soeharto.
Pria yang akrab disapa Aam itu menyebut, jauh sebelum pelemahan KPK, tanda-tanda mangkraknya agenda reformasi sudah terjadi, seperti gagalnya negara mengadili Soeharto dan kroni-kroninya. “Sampai hari ini, orang-orang lama yang berafiliasi dengan rezim orde baru masih tetap eksis memainkan perannya di negara ini,” kata dia.
Reformasi Tinggal Kenangan
Indikator utama yang dapat digunakan untuk melihat penurunan tren demokrasi Indonesia dalam beberapa tahun terakhir adalah pengekangan kebebasan berpendapat, praktik legislasi yang buruk, pelemahan KPK, dan hilangnya kontrol parlemen terhadap pemerintah.
Berdasarkan laporan The Economist Intelligence Unit (EIU), terjadi penurunan kualitas demokrasi Indonesia, dengan poin 6.3. Terburuk dalam 14 tahun terakhir. Berdasarkan survei itu, Indonesia berada di peringkat 64, berada di bawah Malaysia, Timor Leste, dan Filipina.
“Negara berupaya ikut campur tangan dalam katup-katup demokrasi, berbeda dengan era orde baru yang secara terbuka memang membatasi adanya demokrasi. Di era orde baru, katup demokrasi itu sengaja dikunci dengan adanya kontrol sosial yang sulit untuk diterabas,” kata Ilhamdi.
Ilhamdi menambahkan, tidak adanya kekuatan politik oposisi di parlemen, semakin memperburuk kondisi demokrasi Indonesia. Hal itu terlihat dari timpangnya polarisasi partai pendukung pemerintah dengan partai oposisi.
Saat ini, seperti dikatakan peneliti Forum Masyarkat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius, DPR mutlak dikuasai oleh pemerintah. Dari 9 partai parlemen, 7 di antaranya memberikan dukungan kepada pemerintah, kecuali Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan Demokrat. “Ini berbahaya bagi demokrasi,” kata dia, (26/09).
Situasi hari ini sangat sulit dipahami. Ada demokrasi, tetapi tidak dengan supermasi hukum dan kebebasan berpendapat. Kritik dipandang sebagai ancaman terhadap eksistensi kekuasaan. Negara melihat demokrasi hanya sekadar kontenstasi elektoral semata.
Menanggapi hal itu, Ilhamdi mengatakan telah terjadi pembajakan demokrasi oleh oligarki. “Hal itu terlihat dari proses legislasi, seperti revisi UU KPK, UU Cipta Kerja, revisi UU MK, UU Minerba, yang dilakukan secara serampangan. Jauh dari nilai-nilai demokrasi,” imbuh Ilhamdi
Pola seperti ini, menurutnya, sama dengan apa yang terjadi pada era orde baru. Ketika itu, parlemen mutlak berada dalam pengaruh pemerintah Soeharto. Ruang oposisi sebagai penyeimbang, adalah hal yang sulit diwujudkan. Partai penguasa hari ini, PDIP, paham betul tentang kondisi tersebut. Tetapi hari ini, sejarah seperti berulang.
Sistem presidensial idealnya mengedepankan asas pengawasan dan keseimbangan atau checks and balances. Namun dengan besarnya koalisi pemerintah, maka Jokowi sebagai eksekutif bakal mendapat dukungan mayoritas di legislatif. “Idealnya demokrasi itu checks and balances. Mengoptimalkan representasi di DPR. Hari ini, Jokowi mutlak tidak akan bisa berbuat banyak,” kata dia.
“Implikasi dari kondisi hari ini, ya, ruang kontrol terhadap kekuasaan sudah tidak tersedia. Kita bisa lihat bagaimana penegakan hukum, proses legislasi dan pemberantasan korupsi. Itu hanya satu dampak kecil saja dari hilangnya kekuatan pengimbang di parlemen,” ia menambahkan.
Demokrasi Tangan Besi
“Tirani kekuasaan sering akan menyalahkan kebenaran apabila hal itu dianggap merongrong”-Pidi Baiq (Seniman)
Tabiat pemerintah otoriter terlihat dari maraknya pengekangan kebebasan berpendapat. Menurut survei yang dilakukan Komnas HAM setahun terakhir, 36% persen masyarakat takut berekspresi melalui internet. Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) menyebut kondisi kebebasan berekspresi memburuk pada 2020.
Sepanjang 2020, Kapolri mengeluarkan dua surat telegram: pertama, sanksi pidana bagi individu yang mengkritisi kebijakan penanganan pandemi Covid-19; kedua, surat telegram berisi larangan unjuk rasa penolakan RUU Omnibuslaw Cipta Kerja. SAFEnet juga mencatat, terjadi 147 kasus serangan digital terhadap individu yang mengkritisi kebijakan omnibuslaw. Berdasarkan catatan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia, sepanjang Mei 2020-Mei 2021, 90 jurnalis mengalami kekerasan: tertinggi dalam satu dekade terakhir. Sementara itu, 14 jurnalis mendapat serangan digital (doxing).
Mirza Satria Buana mengatakan, di masa pandemi Covid-19 menjerumuskan banyak negara di dunia, termasuk Indonesia, meniru model kekuasaan otoritarianisme. Katanya, pembatasan ruang gerak masyarakat sangat rentan dimanfaatkan oleh kekuasaan untuk mengekang kebebasan berpendapat. “Tindakan reaktif pemerintah terhadap kritik tidak hanya dilakukan oleh perangkat atau oknum pemerintah saja, namun lewat ‘agen-agen’ pendukung pemerintah dan buzzer politik,” kata akademisi dari Fakultas Hukum, Universitas Lambung Mangkurat itu, kepada Suara Kampus, (27/09).
Mirza mengatakan bahwa situasi tersebut berbeda dengan pakem negara otoriter konvensional. Yang menekan publik lewat tindakan represif secara nyata. “Yang terjadi saat ini, kritik terhadap pemerintah lebih banyak direspon balik oleh ‘agen-agen’ pendukung pemerintah,” katanya.
Fenomena ini disebut everyday authoritarianism, yang diartikan sebagai: warga negara (pendukung pemerintah) malah memberi afirmasi atau persetujuan dalam bentuk bullying atau perundungan/intimidasi terhadap warga negara lain yang melakukan kritik atau protes terhadap tindak pembiaran atau represi negara.
Ia melanjutkan, buruknya kualitas demokrasi Indonesia juga dilihatkan oleh pemerintah maupun DPR, melalui ketergesaan legislasi (hasty lawmaking) dan nir-partisipasi publik. “Itu terlihat dari upaya pemerintah dalam membahas dan kemudian mengesahkan UU Minerba, mengeluarkan beberapa produk-produk hukum Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perppu) dalam merespon Covid-19, dan membahas RUU Cipta Kerja. Kerja legisalasi di atas menjadi sorotan karena mengabaikan aspirasi publik,” kata Mirza.
Lokataru Fondation mencatat, pandemi dijadikan dalih oleh pemerintah untuk mengekang kebebasan berpendapat. “Pandemi juga memperburuk kondisi ruang sipil dan demokrasi di Indonesia. Ketika kerja-kerja perlindungan HAM oleh masyarakat sipil mandek akibat terbatasnya ruang gerak, represi negara semakin kuat. Dengan dalih situasi darurat, negara berulang kali mengabaikan pemenuhan hak sipil serta ketentuan-ketentuan pengurangan hak yang berlaku” tulis Kirana Anjani, dalam laporan bertajuk Pengkerdilan Ruang Sipil di Tengah Pandemi, yang dikeluarkan Lokataru, akhir 2020 lalu.
Kirana mengatakan Indonesia tengah berada pada situasi membahayakan. Hal itu didasari dari pelarangan oleh kepolisian. Juga diikuti dengan penggunaan pasal yang sembarangan dalam memidana pelaku.
Ia mengatakan, pegiat HAM yang vokal mengkritik pemerintah sejak sebelum masa pandemi turut menjadi korban kriminalisasi. Mulai dari kasus tiga mahasiswa Universitas Malang pegiat Aksi Kamisan Malang yang dituduh menghasut rakyat “melawan kapitalisme”, hingga penangkapan Ravio Patra yang penuh kejanggalan dan sarat akan pelanggaran hak. Stigmatisasi kelompok anarko juga berlanjut dengan ribut-ribut rencana penjarahan se-pulau Jawa yang mengada-ada.
“Konflik sosial ekonomi dan wacana darurat sipil yang terus membayangi masyarakat selama pandemi juga menjadi perhatian dalam isu penyempitan ruang sipil,” imbuh Kirana. Sementara temuan terbaru Indikator pada 17-21 September, 47,1% publik menyatakan puas terhadap kondisi demokrasi dan tidak puas sebesar 37,1%.
Pemerintah, yang setahun terakhir tutup telinga, baru merespon soal turunnya kualitas demokrasi Indonesia. Jokowi, seperti di banyak pemberitaan, turut mengundang pengkritik ke Istana. “Bahkan, Presiden sendiri menegur aparat yang mengekang kebebasan berekspresi, orang protes diundang ke istana. Secara kualitatif tentu sudah bekerja untuk menunjukkan komitmen,” kata Staf Khusus Mensesneg, Faldo Maldini, dikutip Kumparan, (27/09).
Menurut anggota KALaM Konstitusi Fakultas Syariah, UIN Imam Bonjol Padang, di bawah kekuasaan Jokowi, demokrasi Indonesia akan tetap buruk. Ia menilai, selama ini, kritikan publik terhadap penolakan revisi UU KPK dan penolakan RUU Omnibuslaw sudah membuktikan bahwa Jokowi tidak menghiraukan aspirasi. Dalam hal ini, ia melihat bahwa tindakan presiden bukan lagi representasi rakyat. “Bahkan, sampai hari ini, dia masih tutup mulut soal polemik TWK, terlihat jelas bahwa Jokowi tidak independen. Ini adalah pengaruh dari oligark,” kata dia.
Musim Semi Oligarki
Tidak sulit untuk mencari benang merah keterlibatan oligarki di dalam pemerintahan Jokowi hari ini. Vedi R. Hadiz dan Richard Robinson dalam Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligharchy in an Age of Markets, mengatakan oligarki di Indonesia, adalah satu sistem kekuasaan di mana kekuatan birokrasi yang memegang kendali sumber daya ekonomi bisa bergandengan dengan kelompok yang punya kepentingan bisnis untuk meraup keuntungan bersama.
Oligarki, lanjut Vedi, mengakar kuat di masa orde baru. Selepas pemerintahan Soekarno tumbang, kapitalisme dengan perekonomian nasionalnya secara besar-besaran menyerbu Indonesia, dan mempengaruhi penataan kembali struktur sosial dan ekonomi domestik.
“Kita lihat di masa Orba muncul kelas kapitalis besar modern. Ini tidak mungkin berkembang tanpa hubungan dengan kekuasaan negara. Sampai hari ini pun hubungan bisnis dan politik terstruktur dengan cara yang berkaitan dengan asal-usulnya, bahwa bisnis besar diinkubasi oleh kekuasaan negara lewat kebijaksanaan prefensi, proteksionisme, kredit, subsidi dsb,” Imbuh profesor kajian Asia di University of Melbourne itu.
Ilhamdi Putra mengatakan, reformasi 1998 yang bermula dari krisis ekonomi, hanya membuat oligarki mati suri. Setelah reformasi, kata dia, para oligarki menjelma dan bertaut dengan cara yang lebih halus. Ia tidak akan hilang, “selama sistem politik dan regulasi yang mengaturnya tidak diperbaiki,” kata peneliti hukum independen itu.
Ia menilai, kendali oligarki semakin nyata ketika digolkannya sejumlah UU yang syarat akan kepentingan ekonomi pebisnis, yaitu UU Minerba dan UU Cipta Kerja. Selain itu, pelemahan KPK, kata dia, adalah bentuk nyata adanya pembajakan oleh kekuasaan yang begitu besar. Berjalin berkelindannya oligarki hari ini begitu sulit diurai. “Selama pendanaan partai politik tidak diawasi dengan baik, sampai kapanpun demokrasi kita akan tetap di bawah bayang-bayang oligarki,” kata Ilhamdi.
Pemerintahan Jokowi hari ini tidak bisa dilepaskan dari campur tangan oligarki. Secara detail, sulit memukul rata semua elit adalah oligark. Namun, sesuatu yang tidak dapat dibantah adalah, hampir seluruh elit berafiliasi dengan oligarki, baik dalam urusan bisnis maupun politik.
“Bagaimana Jokowi akan bisa lepas dari oligarki, sementara keuangan politiknya saat Pemilu berasal dari para ‘pemodal’,” kata Ilhamdi.
“Dana partai berasal dari oligarki, sementara ongkos pemilu begitu mahal, politisi kita tidak bisa lepas dari ketergantungan ini. Dan akan sulit sekali mengubahnya, selama poltisi di pemerintahan tidak tergerak. Dan apakah mereka mau?” ia menambahkan.
Akademisi Belanda, Mark Bovens dan peneliti Universitas Leiden, Anchrit Wille, dalam Diploma Democracy: The Rise of Political Meritocracy (2017) menulis: sistem pemerintahan demokrasi sebenarnya dibuat demi menentang sistem politik oligarki. Golongan bangsawan yang sudah tua mulai digantikan dengan mereka yang punya kemampuan dan berasal dari perguruan tinggi. “Di negara demokrasi Barat dan Eropa, golongan bangsawan turun-temurun digantikan oleh kelompok elite terdidik selama abad ke-20,” catat Bovens dan Wille.
Dalam negara demokrasi, sistem pemilu dan penentuan suara oleh rakyat memang menjadi nomor satu dan inilah yang menghalangi praktik politik turun-temurun di Indonesia. Namun, pada beberapa hal, seperti pemilihan menteri atau pimpinan korporat pemerintah, politik turun-temurun yang melibatkan oligarki tak bisa dicegah.
Karut Marut Penegakan Hukum
Aktivis sekaligus Direktur LBH Padang, Indira Suryani, mengatakan praktik negara hukum, sebagaimana diamanatkan Pasal 1 (3) UUD 1945, masih jauh panggang dari api. Penegakan hukum hari ini tajam ke bawah, tumpul ke atas. Indira bilang, penegakan hukum belum memberi rasa adil kepada seluruh warga negara. “Hal ini disebabkan oleh rusaknya sistem hukum, substansi hukum dan budaya hukum yang ada di tengah masyarakat,” katanya, kepada wartawan Suara Kampus.
Berdasarkan indeks akses terhadap keadilan, yang diluncurkan oleh Konsorium Masyarakat Sipil untuk Indeks terhadap Keadilan pada 2019 lalu, ketersediaan bantuan hukum untuk masyarakat pencari keadilan masih minim. Kendalanya terletak dari terbatasnya sumber daya yang sesuai dengan permasalahan hukum yang dihadapi masyarakat. Dalam kajian itu, disebutkan 51% persen masyarakat takut masalahnya akan semakin rumit bila menempuh jalur hukum.
Minimnya pemantauan dan evaluasi terhadap kondisi regulasi nasional menyebabkan banyak peraturan yang dibuat tidak harmonis satu dengan lainnya. Tingginya penilaian terhadap kedayagunaan kerangka hukum pada sektor Keamanan dan Ketertiban Umum, pada umumnya masih didominasi dengan perspektif penegakan hukum yang mengutamakan upaya penindakan.
“Sedangkan upaya pencegahan masih belum mendapat perhatian yang cukup. Artinya, Negara baru mengambil tindakan ketika telah timbul masalah dengan melakukan langkah-langkah represif guna menjaga ketertiban dan keamanan umum. Padahal, banyak studi telah membuktikan bahwa ongkos yang dikeluarkan negara lebih besar ketika fokus pada penegakan hukum daripada melakukan investasi terhadap upaya-upaya pencegahan kriminalitas jangka panjang,” tulis laporan tersebut.
Indira mengatakan, pada akhrinya hal ini berdampak pada rendahnya kontribusi kerangka hukum terhadap akses masyarakat mendapatkan keadilan.
Laporan ini sebelumnya diterbitkan di Tabloid Suara Kampus edisi 151. Redaksi menerbitkan ulang di portal ini dalam rangka memperingati tujuh tahun masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo, dan agar dapat menjangkau pembaca yang lebih luas.
Reporter: Firga Ries Afdalia, Izzatul Nisa Syafa
Editor: Nandito Putra