Suarakampus.com- Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional gelar Diskusi Advokasi Interaktif, mengangkat tema Perkembangan Gerakan Pers Mahasiswa dari Zaman Kolonial Sampai Reformasi. Diskusi hari kedua tersebut menghadirkan Sekretaris Jenderal PPMI Periode 1993-1995, Rommy Fibri Hardiyanto serta Pengurus Penelitian dan Perkembangan Organisasi PPMI Periode 2002-2004, Hesti Murthi.
Dalam materinya, Rommy Fibri Hardiyanto mengungkapkan banyak media yang dikelola mahasiswa pada zaman Kolonial Belanda seperti Sunda Berita, Priyayi, Putri Hindia dan Usaha Pemuda. Kala itu, menyuarakan penghargaan diri, kesejahteraan dan kebangsaan yang membuat Kolonial Belanda itu marah besar.
“Konsekuensinya pemerintah Belanda akhirnya menutup media-media tersebut dan tokoh-tokohnya ditangkap kemudian dibuang,” ungkapnya saat menjadi pembicara secara virtual, Senin (15/03).
Lanjutnya, Pers Mahasiswa dalam sejarahnya memiliki sejarah yang panjang. Tentunya harus menghadapi berbagai tantangan dari berbagai pihak sehingga perjuangan tersebut menjadi tulang punggung pergerakan mahasiswa Indonesia.
“Sikap kritis menjadi ciri khas Pers Mahasiswa di era Orde Baru seperti kritik terhadap arogansi kekuasaan terhadap masyarakat sipil dan semakin nampak ketika puncak perlawanan Pers Mahasiswa menjelang kejatuhan pemerintah Soeharto pada Mei 1998,” jelasnya.
Rommy mengatakan di era Orde Lama dalam sejarahnya terdapat dua ikatan wartawan mahasiswa lalu dilebur menjadi Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia. “Sejak itulah Pers Mahasiswa mulai berhimpun dalam satu organisasi yang diberi nama PPMI,” katanya.
Sementara itu, Hesti Murthi menceritakan setelah reformasi tekanan tidak banyak muncul, sehingga Pers Mahasiswa bisa menulis apa pun. Kemudian seiring berjalannya waktu muncul tantangan baru berupa penguasa dari dalam kampus itu sendiri.
“Sebelumnya, tantangan berawal dari munculnya penguasa dari luar kampus, kemudian muncul penguasa dari kampus itu sendiri,”katanya.
Sambungnya, tahun 2002 tekanan mulai tampak melalui sifat kritis dan mulai adanya dana-dana yang dimainkan, ketika proposal diajukan dananya tidak selalu dikeluarkan.
“Rektorat dan fakultas menjadi tempat anti kritik sehingga menyebabkan media mahasiswa tidak punya amunisi,” tutupnya. (ulf)
Wartawan: Nada Andini (Mg)