Suarakampus.com- Konflik persoalan tanah ulayat di Sumatera Barat (Sumbar) bukanlah menjadi hal baru. Kendati demikian, Ahli Ilmu Tanah, Fachri Ahmad menilai bahwa kasus tersebut terus terjadi lantaran pendekatan dan cara penyelesaian yang kurang tepat.
Fachri Ahmad mengatakan, ketika akan menyelesaikan perkara jalan tol terdapat banyak kasus yang ditemui lantaran sebagian besar tanah milik kaum atau nagari disebut “ulayat”. Sehingga, kata dia, pendekatan untuk menyelesaikannya harus secara kaum.
“Ketika salah satu anggota kaum tidak setuju maka tidak bisa kita rumuskan, kecuali sudah sepakat. Tanah di sini (Sumbar-red), tidak sama dengan di Riau atau Jawa yang semua itu dipegang oleh pemerintah,” katanya, Kamis (06/10) di kediammanya.
Ia menyebut, penyelesaian tanah ulayat harus diawali dengan mengajak ninik mamak berunding, memberikan ganti rugi sesuai dengan nilai tanah dan dengan cara yang adil, jika sudah disepakati harus ada hitam di atas putih, tidak sekedar perjanjian mulut.
“Menyelesaikan itu harus jujur, bayarlah seperti yang sudah dijanjikan. Jangan ini (tanah ulayat-red) dibayar lima, yang lain sepuluh, harus ada keadilan sehingga tidak menimbulkan pertentangan,” terangnya.
“Kalau ada masalah, kita kembalikan kepada perjanjian tertulis. Jika belum sepakat silakan lagi beri waktu, sebab di Sumbar masalah terkait tanah harus lebih awal menyelesaikannya. Sehingga memerlukan langkah-langkah panjang, dan pemimpin harus bijak dalam memahami persoalan tanah di Sumbar,” ungkapnya.
Lanjutnya, penyebab konflik berawal dari ego sebab di dalam perundingan dirinya mengenal istilah maju sedikit, mundur sedikit berarti tidak hanya memikirkan urusan pribadi atau kelompok namun juga keuntungan pihak lain. “Maka dudukkanlah permasalahan itu dengan adil, baik untuk kita dan orang lain. Jangan yang lainnya merasa dirugikan itu aja kuncinya, musyawarahkan,” tegasnya.
Berdasarkan pengalamannya sewaktu menyelesaikan tanah untuk lahan lapangan bandara Sumbar dalam waktu delapan bulan selesai dengan cara pendekatan ninik mamak dan pertemuan berbagai pihak terkait. “Saya ajak semua komponen termasuk meminta ninik mamak menunjuk penasehat hukum. Duduk bersama-sama, karena kalau masalah lahan lapangan terbang itu tidak selesai bisa fatal,” tutur Wakil Gubernur tahun 2000-2005 itu.
Fachri Ahmad bilang, untuk menyelesaikan persoalan tanah ulayat harus ada pemimpin bijak “gubernur” (provinsi-red), mampu meyakini kalau yang sedang dibangun mempunyai nilai besar untuk masyarakat sendiri. “Kalau itu tidak terjadi, satu tahun, dua tahun, lima tahun maka akan sama nilainya nanti dengan sekarang,” harapnya. (miq)
Wartawan: Ulfa Desnawati dan Muhammad Iqbal