Suratan Jiwa

Ilustrasi by Zulis Marni

Lania gadis 16 tahun yang berada di ambang pintu kesedihan dengan dunianya. Merasa sendiri saat ayahnya telah menemukan ibu baru untuknya yang tidak pernah ia minta. Lania menatap piano yang sudah jarang ia sentuh, padahal ia bermimpi untuk menjadi seorang penyanyi. Dulu ia berlatih setiap hari, almarhum ibunya selalu berada di sampingnya untuk sekedar mendengarkan Lania bernyanyi, sesekali ikut mengoreksi kesalahan nadanya. Namun, sekarang ia sendiri karena ayahnya lebih sering menghabiskan waktu dengan istri barunya, apalagi saat perempuan itu hamil. Jangankan menemaninya bermain piano bahkan, untuk makan bersama pun ayahnya tidak sempat.

Sekarang ia benar-benar sendiri, kesepian tanpa ada siapapun, terkadang Lania bermain ke rumah temannya hingga, larut malam atau sekedar nongkrong di sebuah cafe atau bar. Hal itu membuat ayahnya marah dan tidak jarang terjadi adu mulut setiap kali ia pulang.

“Kemana aja kamu? Anak sekolah pulang jam satu malam?” tanya ayahnya dengan nada tinggi.

“Papa urus saja istri baru papa itu, tidak usah sok peduli sama aku” ujar Lania ketus

“Jaga mulut kamu ya Lania! Papa tidak pernah mengajarkan kamu kaya gitu” ucap ayahnya meninggikan suara.

Lania pergi tanpa peduli dengan wajah marah ayahnya sambil berteriak memanggil namanya. Lania belum bisa menerima perubahan hidupnya yang sangat jauh berbeda, ia bahkan ditampar oleh kenyataan bertubi-tubi. Lania sangat benci dengan semua takdir diberi tuhan untuknya.

Rumah yang dulu menjadi tempat ternyaman sekarang sudah tidak lagi, kamar yang begitu menyenangkan sekarang hanya tempat terlelap saat malam. Hubungannya dengan istri baru ayah semakin buruk.

Hingga pada waktu itu Lania mengikuti audisi menyanyi tanpa sepengetahuan ayahnya. Untuk tampil pertama kali Lania ditemani oleh sahabatnya Karin yang selalu ada untuk Lania.

Lania akhirnya lulus untuk tahap pertama kemudian, ia masuk final dan di saat itulah ia benar-benar ingin ayah hadir untuk melihatnya bernyanyi.
Lania berjalan menghampiri ayahnya yang duduk di ruang tamu menikmati segelas kopi yang dibuatkan oleh istrinya.

“Pa, aku mau ikut audisi nyanyi” ujar Lania sedikit ragu, takut jika ayahnya marah.

Ayah menatap Lania sejenak lalu tersenyum hangat. “Oh ya? Bagus dong jadi kapan tampilnya?” tanya ayah antusias.

Lania menghela nafas lega ternyata respon ayah tidak seburuk yang ia bayangkan, “Ini minggu depan pa, aku masuk grand final”. Lania menunjukkan tiket berwarna emas itu, yang tertulis namanya dengan rapi sambil tersenyum senang.

“Papa janji datang ya” celetuk Lania lagi setelah mendengar jawaban ayahnya yang begitu meyakinkan lalu, Lania pergi ke kamarnya.

Lania sangat bahagia ia bahkan memamerkan kepada Karin bahwa ia dan ayahnya sudah baikan dan berjanji setelah ini ia akan bersikap baik dengan ibu baru nya itu.

Hari yang ditunggu-tunggu telah tiba, Lania mengenakan baju terbaik yang diberikan oleh almarhum ibunya dulu. Lania sedikit gugup jantungnya berdegup tidak beraturan demi menunggu namanya dipanggil.

“Peserta selanjutnya Lania!” ucap pembawa acara audisi dengan lantang.

Lania berjalan menuju panggung ia melempar pandangan ke kursi penonton mencari sosok yang sangat ditunggu-tunggunya. Lania terdiam lama hingga membuat juri dan penonton lainnya bingung, Karin yang melambaikan tangan berharap Lania sadar dan mulai bernyanyi.

Lania tersenyum tipis saat melihat Karin melambaikan tangan memberi semangat. Lania menghirup nafas dalam sebelum meneteskan air mata, ia sedih karena ayahnya pasti lupa dengan acara hari ini. Sekelebat ingatan memasuki memori otaknya memutar kenangan bersama ibunya. Lania menangis tanpa sadar, saat itu benar-benar memilukan. Semua penonton terdiam dengan suara Lania yang begitu menghayati lagunya beberapa dari mereka ikut meneteskan air mata.

Di tempat lain ayah Lania berada di ruangan persalinan bersama istri barunya itu, ya istrinya melahirkan, ayah Lania menemani istrinya melawan maut. Ia ingat dengan janjinya kepada Lania tapi, tidak mungkin meninggalkan istrinya yang melahirkan sendirian.

Lania selesai bernyanyi lalu menunduk lemas hatinya sakit dan dadanya terasa sesak, ia butuh ibu sekarang. Dewan juri berdecak kagum dengan suara Lania, bukan bahagia, Lania hanya diam menatap kosong membuat Karin khawatir melihat tingkah Lania dari kejauhan.

Istri baru ayah selesai melahirkan bayi yang sehat, namun sayang ia harus kehilangan ibu di usia yang baru beberapa jam. Hal itu membuat ayah Lania terpukul ia sangat sedih dan merasa bersalah melihat istrinya berjuang sendirian merasakan kesakitan yang bahkan, ia tidak pernah rasakan ia sangat menyesal karena tidak menjaga istrinya dengan baik. Sekarang ayah menangis sesenggukan di samping ranjang istrinya yang sudah terbujur lemas dengan wajah pucat sementara itu, anaknya dimandikan oleh suster dan kemudian dengan sisa tenaga ayah mengumandangkan ikamah untuk bayi perempuan yang lucu itu.

Lania dinobatkan menjadi juara pertama, semua orang bertepuk tangan senang ikut bahagia apalagi Karin yang menangis haru tapi, Lania hanya diam tanpa senyum bahkan ia benar-benar tidak berharap dengan kemenangan ini. Dulu ia pikir jika menang dalam perlombaan seperti ini akan bahagia akan tetapi, sama saja ia masih merasakan hampa. Ternyata Lania sadar bahwa hidup yang menurutnya menyenangkan itu tidak ada artinya, jika orang yang tersayang tidak bersama.

Lania kesal, kecewa, marah, dan sedih bercampur semua dalam hatinya, ia benar-benar benci dengan ayahnya bahkan, di saat yang seharusnya bahagia seperti ini pun Lania sendirian. ia menyesal telah berharap banyak pada ayah. Lania turun dari panggung dengan air mata memeluk Karin dengan isak tangis yang tak terdengar. Lania meredam tangisnya dalam dekapan Karin menumpahkan semua kesedihannya.

Tiba-tiba ponsel Lania berbunyi ia melihat nama ayah yang tertera di sana.
Lania diam membiarkan ponsel itu berdering, membuat Karin menatapnya sedih. Setelah lama Karin membujuk Lania dan akhirnya Lania mengangkat telpon ayahnya dengan sekuat tenaga ia tidak menangis, ia menahan suaranya yang bergetar.

Saat telpon diangkat Lania mendengar suara gaduh di seberang sana lalu, tidak lama ayah berbicara dengan suara serak. Lania yang tadinya ingin sekali marah tertahan mendengar tangis ayahnya tergugup. Tangisan ini juga pernah ia dengar saat ibu meninggal. Jantung Lania berdetak sepuluh kali lebih cepat membuat badannya panas dingin. Kenapa? Itulah pertanyaan yang terlintas dalam benak Lania tapi enggan ia utarakan. Lania menunggu ayah berbicara membuka percakapan.

“Lania, papa kehilangannya lagi”. suara papa terdengar lelah setelah beberapa menit menangis.

Lania terdiam lalu mematikan telepon setelah ayah memberikan alamat rumah sakit, Lania menitipkan piala pada Karin dan bergegas pergi ke rumah sakit.
Di sana Lania melihat ayah yang begitu kacau terduduk di samping tubuh istrinya yang ditutupi oleh kain putih. Lania tersentak kaget melihat pemandangan itu, seperti dejavu.

Ayah Lania yang menyadari kedatangan anaknya. Ia hanya bisa tersenyum kaku, matanya sembab dan merah. Sama seperti saat ibu Lania meninggal dulu. Lania melangkah mendekati ayahnya dan memeluknya dengan erat. Lania tidak pernah mengira ini akan terjadi, benar-benar di luar dugaan. Lania merasa sangat bersalah telah berprasangka buruk pada ayah.

Lania melepaskan pelukannya menatap istri baru ayahnya itu terlelap dengan damai. Meskipun Lania tidak dekat dengan istri baru ayahnya tetapi, ia merasa bersalah telah bersikap buruk dan terus memperlakukan nya seperti maling di rumah. Ya Lania berpikir bahwa istri ayahnya telah memaling sebagian kebahagiaan hidupnya.

Lania mencoba memeluk ibu tirinya untuk terakhir kalinya “Maafin aku ya,” bisik Lania pelan. Tuhan memang selalu memberi kenyataan yang memilukan.

Rasa sedih tidak kunjung usai hingga, satu tahun kemudian Lania ditinggal oleh ayahnya saat hari kelulusannya, ayah menyusul ibu meninggal karena gagal ginjal. Lania tersenyum getir, bahkan semesta tidak pernah mengizinkannya untuk bahagia sedikitpun.

Kini Lania tinggal bersama adik tiri yang begitu menggemaskan, namanya Arin. Nama itu adalah milik ibu kandung Lania ia sengaja memberikan nama tersebut untuk adik tirinya agar, dapat menghilangkan rasa sedihnya yang masih bergelayut dalam jiwa. Merawat Arin hingga besar nanti adalah salah satu cara Lania menebus semua kesalahan-kesalahan yang pernah ia lakukan di masa lalu.

Arin tertawa renyah saat melihat bibir ombak membasahi kakinya. Melihat Arin bahagia seperti itu membuat Lania bisa kembali bernafas lega sembari menatap senja yang selalu mengajarkan Lania arti indah sesungguhnya, tidak harus datang di awal kehidupan bisa saja di akhir menutup usia. Tugasnya sekarang hanya bisa ikhlas dengan semua suratan untuk jiwanya.Tuhan tahu segala yang terbaik meski kadang hati Lania sering bertanya-tanya.

“Apakah setelah ini akan datang hari bahagia yang benar-benar bisa membuatku tersenyum?”. (ndn)

Penulis: Zulis Marni (Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang)

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Rinai

Next Post

Kebun Coklat Janofia Nagari Sumanik Kecamatan Salimpaung Tanah Datar

Related Posts
Total
0
Share