Oleh verlandi (Mahasiswa prodi Tadris Bahasa Inggris UIN Imam Bonjol Padang)
Aku berjalan dalam teduh
Membawa mimpi dalam genggaman
Setangkup harap di dalam tubuh
Menunggu waktu menetas perlahan
Aku lindungi dalam dekapan
Telur kecil nan rapuh renta
Kupelihara penuh harapan
Agar esok sempurna nyata
Lalu datang ia dengan senyum
Bicara manis selembut angin
Katanya aku tak perlu risau
Sebab bersamanya aku tak dingin
Demi kata-kata yang ia bisikkan
Aku percaya tanpa ragu
Telur kujaga ia genggam pelan
Kusangka sayang, kusangka restu
Namun tangan itu tak sehalus tutur
Genggamannya kuat, tajam menekan
Telurku gemetar dalam belenggu
Sebelum hancur tanpa kasihan
Retakan pertama tak kentara
Namun kurasakan gemanya getir
Aku bicara, ia tertawa
Katanya itu hanyalah takdir
Retakan kedua lebih menyayat
Darah mengalir dari celah harap
Aku menangis dalam sekarat
Ia berbisik, “Itu bukan salahku”
Telurku hancur, ia berlalu
Tak menoleh, tak menatap
Katanya ia tak pernah tahu
Bagaimana retak bisa menetap
Orang-orang pun ikut bicara
Tapi bukan padanya, melainkan padaku
Katanya aku terlalu ceroboh
Mengapa memberi jika tak bersiap jatuh?
Aku mendengar, aku membisu
Telurku pecah di tanganku
Namun entah mengapa dunia bertanya
Seolah semua ini kesalahanku
Ia berjalan dengan langkah ringan
Mencari sarang lain yang hangat
Sementara aku memungut pecahan
Mengumpulkan sisa yang tersisa lambat
Mungkin esok aku belajar
Bahwa dunia tak pernah adil
Sebab retakan tak pernah dicari sumber
Hanya tempat pecah yang dituding getir