Oleh: Kafarizal
(Mahasiswa Prodi KPI
Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi
UIN Imam Bonjol Padang)
Dalam setiap alunan langkah di kampus-kampus Indonesia, terdengar riuh rendah harapan dan cita-cita dari ribuan mahasiswa. Mereka adalah penimba ilmu yang memegang erat impian masa depan, bersusah payah menapaki jenjang pendidikan tinggi dengan semangat membara. Namun, harapan yang menggelora ini sering kali terbentur dengan realita yang tidak seindah angan-angan. Pernyataan terbaru dari seorang pejabat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemenbudristek) yang menyatakan bahwa “sistem pendidikan tinggi di Indonesia sudah berada di jalur yang benar” seolah-olah meredam asa mereka. Ucapan tersebut menyulut api kekecewaan yang mengungkapkan sisi gelap dari perjalanan akademik di negeri ini.
Melalui tulisan ini, kami mengajak Anda menyelami lebih dalam rasa kecewa para mahasiswa yang merasa suara mereka tidak didengar. Kami akan menelusuri berbagai masalah yang mendera sistem pendidikan tinggi kita, dari kurikulum yang usang hingga fasilitas yang minim, dari beban biaya pendidikan yang melangit hingga tekanan mental yang tak tertahankan. Ini adalah kisah tentang para mahasiswa yang tak sekadar berjuang untuk diri mereka sendiri, tetapi juga berusaha memperbaiki sistem yang akan membentuk masa depan bangsa.
Beberapa waktu lalu, pernyataan dari seorang pejabat Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemenbud Ristek) menuai reaksi keras dari kalangan mahasiswa. Ucapan tersebut dianggap tidak sensitif terhadap realita yang dihadapi oleh mahasiswa di seluruh Indonesia. Artikel ini akan mengulas reaksi mahasiswa terhadap pernyataan tersebut dan menjelajahi masalah-masalah mendasar yang memicu kekecewaan mereka.
Ucapan yang Memicu Kontroversi
Dalam sebuah konferensi pers, pejabat Kemenbud Ristek menyatakan bahwa “sistem pendidikan tinggi di Indonesia sudah berada di jalur yang benar dan memberikan kesempatan yang adil bagi semua mahasiswa.” Pernyataan ini dimaksudkan untuk menunjukkan optimisme terhadap reformasi pendidikan yang sedang berjalan. Namun, bagi banyak mahasiswa, kata-kata ini terdengar jauh dari kenyataan yang mereka hadapi sehari-hari.
Reaksi Mahasiswa: Ketidakpuasan yang Meluas
Banyak mahasiswa merespon pernyataan tersebut dengan rasa kecewa dan marah. Mereka merasa bahwa pernyataan tersebut menunjukkan ketidakpahaman pejabat terhadap tantangan nyata yang mereka hadapi. Di media sosial, tagar seperti RealitaMahasiswa dan DengarMahasiswa menggema, mencerminkan suara-suara yang merasa tidak didengar oleh pemerintah.
Kurikulum yang Tidak Sesuai Kebutuhan
Salah satu isu utama yang disorot oleh mahasiswa adalah kurikulum yang dianggap tidak relevan dengan dunia kerja. Menurut sebuah survei yang dilakukan oleh Indonesian Career Center Network (ICCN), lebih dari 60% lulusan perguruan tinggi merasa bahwa keterampilan yang mereka pelajari di kampus tidak sesuai dengan kebutuhan industri(Indonesian Career Center Network (ICCN). Survei Kesesuaian Keterampilan Lulusan dengan Kebutuhan Industri, 2023).Banyak mahasiswa merasa bahwa apa yang mereka pelajari tidak mempersiapkan mereka untuk tantangan profesional yang nyata. Mereka berharap Kemenbud Ristek lebih fokus pada pembaruan kurikulum yang dapat menjembatani kesenjangan antara teori dan praktik.
Fasilitas yang Tidak Memadai
Banyak kampus di Indonesia, terutama di daerah, masih menghadapi masalah dengan fasilitas yang kurang memadai. Sebuah laporan dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti) pada 2023 menunjukkan bahwa hanya 40 persen perguruan tinggi negeri memiliki laboratorium yang memenuhi standar internasional (Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemristekdikti). Laporan Tahunan 2023). Mahasiswa sering kali harus belajar dalam kondisi yang jauh dari ideal, seperti ruang kelas yang penuh sesak dan laboratorium dengan peralatan yang ketinggalan zaman. Dalam situasi seperti ini, ucapan bahwa sistem pendidikan sudah berada di jalur yang benar terasa sangat jauh dari kenyataan.
Beban Biaya Pendidikan
Biaya pendidikan yang tinggi menjadi masalah serius bagi banyak mahasiswa dan keluarganya. Menurut data dari Badan Pusat Statistik (BPS), rata-rata biaya pendidikan tinggi di Indonesia meningkat sebesar 15 persesetiap tahunnya sejak 2018 (Badan Pusat Statistik (BPS). Statistik Pendidikan Tinggi Indonesia, 2023).Sementara ada upaya pemerintah untuk memberikan beasiswa, jumlahnya masih jauh dari cukup. Mahasiswa berharap agar pemerintah lebih serius dalam mengatasi masalah ini, termasuk dengan memperluas akses ke bantuan keuangan dan beasiswa.
Tekanan Akademik dan Kesehatan Mental
Tekanan akademik yang tinggi tanpa dukungan kesehatan mental yang memadai adalah kenyataan pahit yang dihadapi banyak mahasiswa. Sebuah studi dari Universitas Indonesia pada 2022 menemukan bahwa 25% mahasiswa mengalami stres akademik tingkat tinggi dan 15% di antaranya mengalami depresi(Universitas Indonesia. Studi Stres Akademik dan Depresi di Kalangan Mahasiswa, 2022).Mereka merasa bahwa pemerintah belum memberikan perhatian yang cukup pada isu kesehatan mental di lingkungan pendidikan tinggi. Layanan konseling yang minim dan stigma terhadap masalah mental hanya memperburuk situasi.
Sulitnya Mendapatkan Pekerjaan
Setelah lulus, banyak mahasiswa menghadapi kesulitan dalam mencari pekerjaan yang sesuai dengan bidang studi mereka. Data dari Kementerian Ketenagakerjaan menunjukkan bahwa tingkat pengangguran terbuka untuk lulusan perguruan tinggi pada 2023 mencapai 5,67% (Kementerian Ketenagakerjaan. Tingkat Pengangguran Terbuka Lulusan Perguruan Tinggi, 2023).Kesenjangan antara keterampilan yang diajarkan di kampus dan kebutuhan industri menjadi tantangan besar. Mahasiswa berharap adanya kerjasama yang lebih erat antara pemerintah, universitas, dan sektor swasta untuk mengatasi masalah ini.
Kapankah Suara Mahasiswa didengar?
Kekecewaan mahasiswa terhadap ucapan pejabat Kemenbud Ristek mencerminkan masalah-masalah mendasar dalam sistem pendidikan tinggi di Indonesia yang belum terpecahkan. Untuk benar-benar berada di “jalur yang benar”, pemerintah perlu mendengarkan dan memahami realita yang dihadapi oleh mahasiswa.
Pembaharuan kurikulum, peningkatan fasilitas, akses yang lebih luas ke bantuan keuangan, perhatian serius terhadap kesehatan mental, dan peningkatan keterlibatan antara universitas dan industri adalah langkah-langkah yang perlu diambil. Hanya dengan begitu, kepercayaan mahasiswa terhadap sistem pendidikan dapat dipulihkan, dan harapan mereka untuk masa depan yang lebih baik dapat terpenuhi.
Di balik gedung-gedung megah kampus dan semangat muda yang bergelora, tersembunyi perjuangan keras yang dihadapi oleh para mahasiswa Indonesia. Kekecewaan mereka terhadap pernyataan pejabat Kemenbud Ristek adalah cerminan dari masalah-masalah mendasar yang belum terselesaikan dalam sistem pendidikan tinggi kita. Ucapan yang seolah mengabaikan realita ini mengingatkan kita akan pentingnya mendengarkan suara mereka yang berada di garis depan perjuangan pendidikan.
Melalui artikel ini, harapan kita adalah agar pemerintah, pemangku kebijakan, dan seluruh elemen masyarakat semakin peka dan tanggap terhadap aspirasi dan keluhan mahasiswa. Dengan demikian, kita dapat bersama-sama menciptakan sebuah sistem pendidikan yang benar-benar inklusif, relevan, dan berdaya saing tinggi.
Kini saatnya bagi kita semua untuk membuka telinga dan hati, mendengarkan dengan seksama, dan bertindak nyata demi masa depan yang lebih cerah bagi pendidikan tinggi di Indonesia. Karena hanya dengan kolaborasi dan pemahaman mendalam, kita bisa memastikan bahwa perjalanan pendidikan tinggi bukan lagi sekadar mimpi, melainkan kenyataan yang membanggakan dan membahagiakan.