Surakampus.com- Tantangan akses informasi terkait hoaks politik menjelang proses pemilihan rentan bagi kelompok disabilitas tuna netra. Hal ini disampaikan Cut Meutia Karolina dalam seminar bertema Tren Bentuk-bentuk Praktik Misinformasi, Disinformasi, dan Malinformasi menjelang Pemilu 2024, dilaksanakan via streaming YouTube Cek Fakta Aji Indonesia, Rabu (13/03)
Cut selaku pembicara mengatakan lakukan riset guna mengetahui tren praktik misinformasi, disinformasi, dan malinformasi menjelang Pemilu 2024 pada kelompok tunanetra. “Kami ingin mengetahui sebenarnya bagaimana bentuk-bentuknya menjelang proses pemilihan,” jelas Dosen Ilmu Komunikasi, Al Azhar Indonesia tersebut.
Selain itu, ia mengatakan riset ini dapat menjajaki pihak-pihak yang membantu tuna netra dalam memverifikasi informasi yang mereka terima. “Kami ingin mengetahui dari mana pihaknya, siapa, dan hal apa saja yang membantu tuna netra membuktikan informasi yang mereka dapat,” tambahnya.
Ia mengungkapkan pada diskusi kelompok melakukan penelitian berfokus di tiga kota di antaranya Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung. “Kami memilih wilayah ini berdasarkan banyaknya komunitas netra disana,” paparnya.
Berdasarkan temuannya, ia menuturkan ada tiga jenis hoax politik yang diterima oleh komunitas tunanetra sebelum Pemilu 2024. “Di antara ini ada berita bohong politik, tapi kurang lebih dengan gambaran kategori yang berbeda,” ungkapnya.
Demikian, ia menyampaikan pola paparan hoax politik pada tunanetra bervariasi. “Meski secara formasi mereka sudah cukup inklusif, dan apa yang kita lakukan selama ini ketika mencari informasi sama dengan teman-teman tuna netra,” jelasnya.
Lalu ia menyampaikan sebagian tuna netra cenderung mengabaikan informasi politik karena tidak sesuai preferensi mereka. “Tidak banyak yang tertarik pada isu politik, dan juga terpaan hoaks politik juga tidak banyak ditemukan karena mereka memang tidak tertarik pada pemberitaan nomina ini,” paparnya.
Selain itu, ia menyampaikan terdapat pula tunanetra yang terpapar hoax politik akibat fenomena kecendrungan dan sudah memiliki selera politik tertentu. “Ketika ada berita negatif pada lawannya yang sudah sejak awal mereka pilih berkaitan dengan pemilu, mereka akan tetap mempercayai,” ungkapnya.
Ia menegaskan tantangan utama yang dihadapi tunanetra adalah aksesibilitas digital yang rendah pada media online dan media sosial. “Seringkali tidak aksesibel karena informasi yang berbentuk gambar seringkali tidak dijelaskan maknanya,” katanya.
Lebih lanjut, ia mengatakan perlu adanya penyediaan layanan informasi digital yang mempertimbangkan aksesibilitas bagi tunanetra, termasuk pada layanan pemerintah. “Dibutuhkan aturan mengenai kewajiban penyediaan jasa dan petunjuk teknologi untuk mempertimbangkan kemudahan terhadap disabilitas sensorik,” tutupnya. (hkm)
Wartawan: Verlandi Putra (Mg)