Dilema Trifting sebagai Trend Fashion di Kalangan Anak Muda dan Dampaknya terhadap Industri Tekstil Lokal Indonesia

Ilustrasi (sumber: Isyana Nurazizah Azwar/suarakampus.com)

oleh Muliana Syamimi (Mahasiswi Manajemen Bisnis Syari’ah UIN Imam Bonjol Padang)

Meluasnya fenomena thrifting dipengaruhi oleh perkembangan zaman melalui media sosial seperti Instagram, Facebook, X dan Tiktok. Kata thrift mulai populer sekitar tahun 2020 dan telah menjadi trend fashion sebagai bentuk perlawanan dari adanya budaya fast fashion yang mendominasi kultur masyarakat.

Keberadaan fast fashion menjadi kiblat bagi industri pakaian karena kelebihannya yang dapat mengikuti tren dengan cepat melalui berbagai gaya atau model. Akibatnya masyarakat cenderung impulsive bullying dalam berbelanja. Pada tahun 2018, industri pakaian fast fashion memproduksi 600-900 item pakaian setiap minggunya dan bertanggung jawab atas peningkatana 25% kandungan karbon di atmosfir bumi pada tahun 2050 (Lukmanul Hakim & Yuniarti Rusadi, 2022).


Trifting hadir sebagai solusi untuk masyarakat, terutama di kalangan anak muda yang membutuhkan pakaian, namun dengan harga yang terjangkau. Bak mencari jarum dalam tumpukan jerami, tak jarang dalam berburu trift ini banyak ditemukan pakaian dari berbagai merek terkenal. Untuk memenuhi keinginan masyarakat akan trift ini, para pelaku usaha memperjual-belikan pakaian bekas dari negara-negara asing yang diimpor ke Indonesia.

Indonesia sering kali menjadi salah satu negara ketiga sebagai negara tujuan impor baju bekas.
Pada awalnya, impor baju bekas di Indonesia dianggap sebagai solusi untuk masalah finansial, juga dalam proses recycle produk agar tidak menimbulkan kerusakan alam. Dikutip dari Kompas (2023) Menteri Koperasi dan UKM, Teten Masduki menjelaskan bahwa pemerintah tidak melarang kegiatan thrifting atau berburu barang bekas. Ia menyebut budaya thrifting justru bagus untuk recycle produk agar tidak menimbulkan kerusakan alam.

Teten menjelaskan bahwa bentuk kegiatan yang dilarang pemerintah adalah penyelundupan dan impor pakaian bekas. Namun, disisi lain keberadaan trifting bisa menjadi tantangan bagi industri tektstil lokal. Praktik Impor pakaian bekas ini berdampak signifikan terhadap kondisi perekonomian. Pakaian bekas dilarang dalam Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2022 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 18 Tahun 2021 tentang Barang Dilarang Ekspor dan Barang Dilarang Impor.


Penegakan peraturan yang melarang impor baju bekas tidak juga menghentikan praktik curang oleh pihak tertentu yang tetap mencari keuntungan. Detik Jateng (2023) menyatakan, bahwa 537 ballpress atau pakaian bekas selundupan tanpa cukai senilai 2 miliar asal Malaysia dimusnahkan oleh Kanwil Bea Cukai Jawa Tengah dan DIY Akhmad Rofiq dengan cara dibakar. Rofiq menyebutkan “Impor pakaian bekas dapat mengganggu pasar domestik yang merupakan pangsa pasar sebagian besar Industri Kecil dan Menengah (IKM) Tekstil dan Produk Tekstil. Pakaian bekas juga tidak higienis dan dikhawatirkan menjadi media pembawa penyakit, serta menurunkan harga diri bangsa di mata dunia”.


Pemerintah memiliki peran penting dalam mengawasi peredaran pakaian bekas impor di Indonesia. Namun, hingga kini upaya dalam mencegah masuknya pakaian bekas yang dilarang masih belum berjalan secara optimal oleh pihak berwenang.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Mahasiswa Soroti Sulitnya Peminjaman Gedung Untuk Berkegiatan

Next Post

Program Berbuka Bersama dan Berbagi Takjil di Masjid Baitul Hikmah

Related Posts
Total
0
Share