Suarakampus.com- Sekolah dan perguruan tinggi adalah dua hal yang mengandung cerita di hati pendidik dan peserta didik, karena karakter, wawasan dan pergaulan terbentuk di sana. Namun datangnya pandemi membuat proses belajar harus beradaptasi dengan keadaan, atau yang sekarang dikenal dengan new normal.
Mahasiswi UIN Imam Bonjol Padang, Era Wati menilai perkuliahan online terkesan santai. Namun Era mengeluhkan terkadang perkuliahan menjadi terhambat karena minimnya koneksi internet di kampungnya.
“Saya biasanya memakai kartu Telkomsel seharga Rp75.000 per bulan karena sulitnya akses internet, pernah saat ujian jaringan hilang akibatnya nilai mata kuliah menjadi rendah,” ungkap Mahasiswi yang tinggal di Solok Selatan itu.
Era mengungkapkan selama kuliah daring tidak terlalu bersemangat karena situasi terkesan santai. Selain itu dirinya harus pandai membagi waktu antara belajar dan membantu orang tua.
“Biasanya ada teman yang membangkitkan suasana belajar, sekarang berkomunikasi dengan teman umumnya hanya seputar tugas saja,” ungkap Mahasiswa Fakultas Dakwah dan Ilmu Komunikasi itu.
Kemudian, Mahasiswi Fakultas Tarbiyah dan Keguruan (FTK) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Batusangkar, Ni’matusaidah menjelaskan mekanisme perkuliahan selama pandemi dinilai kurang efektif, karena susah berinteraksi dan mengurus administrasi selama pandemi secara online.
“Untuk masuk ke kampus sangat ketat, sementara semua administrasi dialihkan ke online, pernah waktu itu ke kampus hanya bisa mengurus sampai gerbang saja,” ucap mahasiswi angkatan 2018 itu.
Sambungnya, pengeluaran perkuliahan selama pandemi lebih besar, walaupun tidak membayar uang asrama karena tinggal di rumah. “Biasanya saya membeli paket internet seharga Rp100.000 per bulan, ditambah dengan biaya les bahasa Arab,” lugas Mahasiswi Program Studi Bahasa Arab itu.
Berbeda dengan Ni’matusaidah, Siswa Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Kota Pariaman Kaila Safira menilai selama pandemi silaturahmi dengan teman sekelas menjadi terhambat, hanya sebatas tugas saja.
“Karena proses mengajar dikelas bergantian seminggu sekali, jadi minim berinteraksi dan ketika belajar online hanya satu atau dua orang yang aktif,” tutur siswi yang duduk di kelas X itu.
Sama halnya dengan siswa dan mahasiswa, begitu pula yang dirasakan seorang guru honor Sekolah Menegah Islam Terpadu (SMPIT) Mutiara di Pariaman, Wulandari Bonavia.
Sosok Wulan telah mengabdikan diri sebagai pendidik semenjak semester III di bangku perkuliahan. Wulan menilai pekerjaan menjadi seorang guru merupakan pekerjaan yang unik, sebab rasa lelahnya bisa hilang ketika ia mendengar kalimat penyemangat yang terlontar dari dari murid-muridnya.
“Saya sudah pernah mengajar semenjak kuliah di tiga Taman Kanak-kanak (TK) di Kota Pariaman, karena suka dan membayar setengah uang kuliah agar bisa membantu orang tua,” ungkap perempuan berusia 23 tahun itu.
Ia mengajar saat ini sebagai guru honor sekaligus musyrifah atau wali asrama di SMPIT Mutiara, dengan mengajar lima jam seminggu.
“Mengajar sebagai guru Pendidikan Agama Islam (PAI), hadis dan musrifah sebab kami memakai sistem boarding school atau asrama,” jelas Alumni Madrasah Aliyah Swasta (MAS) Pondok Pesantren Modren (PPM) Tapuz itu.
Wulan mengatakan selama mengajar dirinya harus bisa memposisikan diri dalam mengajar anak-anak yang berusia labil. Ia menilai penanaman karakter di usia remaja sangatlah penting, walau terkesan tidak mudah dirinya tidak bosan untuk menanamkan kedisiplinan berulang setiap harinya.
“Sebelum memulai materi saya selalu menyuruh anak-anak untuk menjaga kebersihan, membaca Alquran, serta memberikan reward sekedar membangun semangat belajar,” ucap perempuan tamatan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Syekh Burhanuddin.
Lanjutnya, walaupun gaji honor dan sebagai musyrifah hanya bisa mencukupi kebutuhannya, dirinya tetap bersyukur karena masih bisa menabung dan membantu adik-adiknya bersekolah.
“Kalau gaji honor dan musyrifah masing-masing Rp300.000 dan Rp1.200.000 setiap bulannya, dari gaji itu saya sisihkan untuk ditabung dan kebutuhan sekolah adik,” tuturnya.
Wulan berharap agar bisa menjadi panutan yang baik untuk murid-muridnya, agar bisa membentuk karakter yang bisa bertanggungjawab dengan siapa saja. “Semoga saya menjadi bagian dalam pembentukan karakter anak-anak yang baik,” harapnya.
Selamat Hari Pendidikan Nasional! (gfr)
Wartawan: Ulfa Desnawati