Suarakampus.com- Pandangan pemerintah mengenai banjir di Kalimantan Selatan (Kalsel) menimbulkan polemik dari masyarakat terdampak, pasalnya banjir tersebut telah berlangsung sejak, Rabu (12/02) sampai sekarang. Hal ini tuai perbedaan pandangan antara pemerintah dengan aktivis lingkungan.
Menanggapi hal itu, Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Keluarga Mahasiswa (KM) Universitas Muhammadiyah (UM) Banjarmasin, Rini Randika menilai pandangan pemerintah kurang tepat mengatakan banjir diakibatkan curah hujan yang tinggi. Karena berdasarkan pengalaman Rini yang tinggal di Banjarmasin dan Kalsel selama 21 tahun, banjir biasanya terjadi dua atau tiga hari.
“Saat ini sudah hampir satu bulan banjir belum ada tanda-tanda surut padahal curah hujan sudah mulai turun,” ucapnya saat mengisi webinar yang diadakan Narasi Perempuan dan Perempuan Mahardhika, Kamis (11/02).
Rini menuturkan berdasarkan data Kementerian Kajian Strategis BEM KM UM Banjarmasin, Jumat (29/01) terkait banjir terdata sebanyak 10 kabupaten/kota yang di terjang banjir dan termasuk banjir terbesar sejak 50 tahun terakhir.
“Hal ini juga diperkuat oleh pandangan dari teman-teman Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan aktivis lingkungan. Menyebutkan penyebab banjir karena dialihkannya fungsi lahan secara pasif menjadi tambang batu perak dan perkebunan sawit,” tuturnya.
Sambungnya, berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mendata sejak tahun 1990 sampai 2009, terjadi penurunan luas hutan alam Barito. Sebanyak 62,8 persen dan 55 persen di antaranya terjadi di tahun 1900 sampai tahun 2000.
“Di mana data tersebut telah dikonfirmasi langsung oleh kementerian bahwa data ini memang benar. Namun pihak pemerintah tetap berargumen banjir yang terjadi tidak ada kaitannya dengan data tersebut,” ungkap Rini.
Sementara itu, koordinator Bidang Politik Walhi Nasional, Khalisa Khalid menjelaskan bencana ekologis yang terjadi di Kalsel ditimbulkan akibat salah urus negara dalam mengelola sumber daya alam.
“Di mana bukan hanya persoalan kebijakan tapi juga paradigma ekonomi dan politik yang dipraktekkan oleh pengurus negara, baik itu eksekutif pemerintah maupun parlemennya yang membuat kebijakan,” jelasnya.
Khalisa mengungkapkan kebijakan yang diberikan pemerintah justru memberikan Red Karpet kepada korporasi melalui perizinan dan sebagian besarnya legal.“ Hal ini telah merusak apalagi tambang itu investasi yang rakus dan merusak,” ungkap Khalisa.
Khalisa menyebutkan logika yang dibangun oleh pemerintah memang sejalan dengan paradigma yang dipilih yaitu paradigma ekonomi dan politik.
“Akibatnya banjir itu adalah akumulasi dari krisis ekonomi ekologis yang sudah terjadi sehingga bencana terus berulang dan tidak bisa diantisipasi,” sebutnya. (ulf)
Wartawan: Yossi Yusra