Suarakampus.com- Diskriminasi rasisme bermula dari ketidakadilan yang menimbulkan kebencian yang berulang dan ketakutan kolektif. Hal ini diungkapkan Wakil Ketua Komisi Nasional (Komnas) Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Republik Indonesia (RI), Mariana Amiruddin.
Mariana mengatakan diskriminasi yang terjadi di Indonesia dimulai sejak masa kolonialisme yang dikuatkan pada masa Orde Baru (Orba). “Kata pribumi dan non pribumi, serta sistem kelas yang dibangun kolonial membuat diskriminasi ras tersebut semakin tajam,” tuturnya dalam diskusi publik Komnas HAM RI, Kamis (11/02).
Lanjutnya, ras merupakan konstruksi mental dari pemerintah kolonial yang saat itu meresap ke dalam dimensi paling penting dari kekuatan global, serta dapat diklasifikasikan berdasarkan hal tersebut. “Pengelompokan tersebut merupakan sebuah bentuk relasi hubungan antara superioritas dengan inferioritas untuk mengatasi legitimasi ras mendominasi dan didominasi yang dianggap benar,” jelasnya.
Diskriminasi ras ini dapat terlihat dalam bentuk ucapan, ujaran, pernyataan, dan bisa juga berdasarkan bentuk fisik atau ciri biologis seseorang seperti warna kulit, rambut, hidung, dan mata yang mengandung hierarki antara supremasi dan merendahkan martabat yang menimbulkan penindasan dan konflik.
“Diskriminasi juga dapat terlihat dari ucapan, pernyataan, dan ciri biologis, selain itu bisa berupa aturan dan kebijakan yang dapat membunuh karakter seseorang dengan ciri biologis tertentu,” tutur Mariana.
Senada dengan Mariana, Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM RI, Amiruddin Al-Rahab menjelaskan aturan hukum mengenai diskriminasi ini terdapat pada pasal 4 Undang-Undang (UU) No. 40 tahun 2008 Pasal 4 No 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. “UU ini dibentuk untuk memberikan jaminan perlindungan terhadap setiap bentuk diskriminasi ras dan etnis bagi setiap warga negara,” ungkapnya.
Lanjutnya, rasialis di Indonesia sesungguhnya dilarang oleh UU dan dari segi instrument UU tersebut kita memiliki supremasi untuk mengatasi persoalan tersebut. “Undang-undang ini memang tidak terlalu dikenal dan tidak banyak aparat hukum dan pemerintah yang merujuk ke aturan ini, seharusnya ini jadi rujukan mengatasi persoalan diskriminasi dalam rangka penegakan hukum,” terang Amiruddin.
Amiruddin juga mengatakan untuk membangun kesadaran menolak adanya perilaku rasialis tidak terlepas dari peran serta warga negara dalam meningkatkan keutuhan, kemandirian, dan pemberdayaan anggota masyarakat. “Salah satu caranya dengan mencengah penyebaran Hate Speech berdasarkan ras dan etnis serta penegakan keadilan hukum,” pungkasnya. (rta)
Wartawan: Nada Andini (Mg)