Aku dan Mesin Waktu

Ilustrasi jam dan waktu (foto: Pixabay)

Oleh : Hasbunallah Haris (Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang)

Namaku Annie, lengkapnya Annie van Helen. Kutulis kisahku ini ketika berada di atas kapal Waltevreden yang bertolak dari Rotterdam tahun 1946. Sudah sangat lama aku ingin kembali ke Hindia Belanda (sekarang Indonesia), untuk menyaksikan perkembangannya setelah kemerdekaan. Bersama mahasiswanya yang ikut kembali, aku dan suamiku Alex turut berlayar.

Lepas dari pelabuhan Indramayu yang ramai dan asri, kami kembali bertolak ke Emmahaven sekarang Teluk Bayur, untuk berkunjung ke kota lama. Karena di sanalah suamiku dulunya ditempatkan sebagai resident assistant. Saat pecah Perang Kamang di tahun 1908, suamiku sudah dipindah tugaskan ke Sawahlunto untuk mengurus Ombilin Mijnen Tambang Batu Bara Ombilin. Di gereja Santa Barbara Ombilin kami menikah dan tinggal selama tujuh tahun di sana, sebelum mendapat perlop.

Suamiku tercinta temasuk tipikal pria yang bersifat iba. Berkali-kali aku mendapatinya bermenung di ruang kerja hingga larut malam. Kuseduhkan kopi robusta kiriman dari Malang dan kami duduk di luar rumah sambil menyaksikan pemandangan malam yang sangat indah.

Rumah dinas suamiku tak berapa jauh dari gereja Santa Barbara, jadi kami dapat leluasa memandang ke sana sepanjang hari jika tidak ada tugas melapor ke Kota Praja Padang. Aku masih sangat ingat dengan salah satu percakapan kami ketika suatu malam, saat suamiku mengemukakan pendapatnya mengenai nasib para bumiputra di masa depan.

“Sangat disayangkan sekali,jika saja mereka meninggalkan pemahaman nenek moyang mereka, tentu negeri ini akan sangat cepat merdeka. Lihatlah para bupati-bupati yang ada, mereka hanya menggunakan kekayaan untuk diri sendiri, bahkan di antara mereka ada yang tak menyekolahkan anak-anaknya. Mereka pikir sekolah hanya membuang-buang uang saja. Huh, uh,”” katanya bermurung durja.

Aku yang duduk di samping Alex hanya mampu tersenyum, sejak dulu pikirannya selalu tajam ketika mengkritik seseorang atau suatu bangsa, hal itulah yang sangat kusukai darinya.

“Sekolah Raja di Bukittinggi amat ramainya, mengapa berpendapat mereka tak peduli akan pendidikan seperti yang kau bilang?”

“Benar, Annie, tapi lihatlah ke sana siapa yang bersekolah. Hanya keluarga Rangkayo, Marah, Sutan, anak-anak petinggi pemerintahan saja isinya. Tak ada yang tak bergelar, yang tak bergelar hanya kerja di pelabuhan, jadi jongos. Jika terus begini ilmu hanya akan sampai kepada bangsawan, orang penting dan pemegang kekuasaan saja, bagaimana nasibnya dengan rakyat biasa?”

“Benar, tapi kan mereka tak sanggup membayar uang sekolah dan lagi mereka melihat Belanda saja alangkah takutnya, bagai melihat hantu saja mereka.”

“Uh, uh, kalau mereka tak sanggup membayar, seharusnya pemerintah yang menyiapkan sekolah gratis. Mengapa harus bersusah-susah memebayar? Kebodohan begini banyaknya sedangkan pendidikan tak disediakan. Sudah tamat Sekolah Raja, gaji yang diberikan pun hanya Rp26 saja sebulan. Kehidupan macam apa itu?”

“Kalau begitu berarti kau sudah bosan bekerja di Ombilin Mijnen? Hendak jadi kepala sekolah atau pendiri sekolah agak-agaknya,”aku tersenyum pada Alex.

Alex tak mengatakan apa-apa lagi, aku tahu dia kesal dengan tanggapanku barusan. Karena yang diinginkannya mungkin jawaban lain yang keluar dari mulutku. Tapi ya sudahlah, kami duduk lama di beranda rumah itu, sesekali mobil dan orang bersepeda lalu-lalang, beberapa orang berkain sarung yang berjalan bergerombol-gerombol lewat tak lama kemudian, mereka pasti akan pergi menonton layar tancap.

Demikianlah hari-hari indah yang kami lalui bersama. Kini, saat sudah kembali menginjakkan kaki di Sumatra, aku sangat rindu dengan rumah dinas itu. Ingin pergi melancong tiap-tiap sore ke bukit panorama, atau ketika akhir pecan berkeliling naik kereta api ke Kayu Tanam, Padang Panjang, hingga kota wisata Bukittinggi.

“Kita naik bendi saja ke stasiun Simpang Haru, bagaimana?” Alex menawarkan. Aku mengangguk, tak masalah.

Sekitar pukul enam sore, kami sudah berada dalam kereta. Alex ingin agar kami menginap semalam di Pariaman sebelum besok pagi baru bertolak ke Sawahlunto. Aku setuju karena kami juga dalam keadaan yang sangat letih.

Januari 1947

Harus kuakui ini adalah tahun yang sangat berat bagiku. Saat itu Alex mendapatkan telegram bahwa dia harus segera kembali ke Batavia (sekarang Jakarta), untuk kemudian diberangkatkan ke Sulawesi. Karena suamiku adalah mantan Politieke Inlichtingen Dienst (PDI), maka pangkatnya masih dipertimbangkan dan direkrut ke dalam Korps Speciale Troepen (KST) atau pasukan khusus Belanda dalam masa Revolusi Nasional Indonesia.

Sudah kularang dia berangkat, namun Alex tetap bersikeras bahwa ini adalah panggilan yang mesti dia penuhi. Maka di pagi-pagi buta itu kuantarkan dia ke stasiun dan itu adalah pertemuan terakhir kami. Tepat satu bulan kemudian, di bulan Maret 1947, pos datang padaku dengan kilat khusus, surat dari Alex dan temannya, Houtman Manders.

Untuk istriku terkasih, aku sungguh berharap waktu dapat diputar kembali. Aku sungguh berharap kita dapat mengulang kembali kenangan-kenangan manis kita selama berada di Hindia Belanda ini. Namun apalah dayanya diriku ini, Wahai istriku. Karena mungkin kita sekarang harus saling merelakan dan berpisah jalan.

Marilah kuceritakan sedikit mengenai perjalananku ini padamu. Setelah aku berlayar ke Batavia dan menemui Meneer Letnan Kolonel Van Berg, aku mendapatkan mandat untuk berlayar ke Sulawesi Selatan, ada tugas yang harus ditumpas di sana. Perjalanan yang kami lalui sungguh baik-baik saja, kami masuk hutan mencari orang-orang Indonesia yang dianggap memberontak dan menghabisinya.

Namun, perlu kutekankan di sini padamu, wahai istriku, bahwa kami mendapatkan komandan bertangan besi. Dia orang Turki, badannya tegap, tinggi besar, dengan tangan berbulu dan tatapan yang sungguh membuat lawan maupun kawan menjadi ciut. Jika dia sudah memakai baret di kepalanya dan menyingsingkan lengan baju, tak ada suatu atau seorang pun yang akan dapat menahannya.

Ketika kami melaksanakan tugas, si iblis jelmaan yang bernama Raymond Westerling ini, selalu melaksanakannya dengan sangat rapi, bahkan pasukan kami jika pulang ke markas akan dijuluki sebagai “Pasukan si Turki yang telah kembali” amat banyak korban berjatuhan, namun apa boleh buat, itulah yang namanya peperangan. Puncaknya ketika perangai orang Turki ini menjadi-jadi, dia bukan hanya memerintahkan untuk menghabisi para pejuang Indonesia saja, namun juga anak-anak dan penduduk biasa. Kami menjadi kekuatan yang sangat ditakuti.

Inilah yang sama sekali tak sesuai dengan pemahamanku, aku yang semula bersimpati dan melaksanakan apa saja yang diperintahkannya menjadi pembangkang, dia tak segan untuk menghukumku dan membuat jadi percontohan untuk pasukannya yang lain. Karena sudah dianggap berkhianat dan tak sanggup melaksanakan tugas lagi, maka aku dipulangkan ke Batavia untuk dirawat. Kutuliskan surat ini ketika aku sedang terbaring di rumah sakit, dan kukatakan kepada sahabatku untuk mengirimkan surat ini padamu jika aku sudah meninggal.

Demikianlah kisah yang kualami, Istriku. Jika sudah sampai surat ini padamu, maka kau pasti telah mafhum apa yang terjadi padaku. Hanya sekedar saranku saja, setelah membaca suratku ini, pergilah ke pelabuhan dan bertolaklah kembali ke Belanda. Jika kau hendak singgah dahulu ke Batavia, maka temuilah sahabatku, Houtman, dan minta padanya untuk menunjukkan di mana kuburku.
Maafkan aku wahai istriku terkasih, aku berlayar lebih dulu.
Peluk hangat,

Suamimu.

Aku membaca surat yang ditulis Alex dengan deraian air mata. Aku terduduk seorang diri dan terisak-isak memeluk surat yang ditulisnya. Kejam. Amat kejam dunia ini. Sehari diberikannya kami kenangan yang indah-indah, sehari kemudian diberikannya kabar duka yang teramat sangat. Namun sebagai perempuan yang tegar, kuturuti apa yang dipesankan Alex dalam suratnya. Seminggu kemudian aku bertolak ke Batavia, kujumpai pria yang bernama Houtman itu untuk menunjukkan makam suamiku.

“Selamat jalan, Sayang,” ujarku mengelus pusaranya.

Kutaburkan bunga dan kubacakan doa terakhir untuknya. Houtman lalu menceritakan padaku hari-hari terakhir yang dilalui oleh suamiku ketika di rumah sakit.

“Saya sudah mendapatkan tugas akan mengawal nyonya sampai ke Belanda, untuk itu kita akan segera berlayar meninggalkan Indonesia ini,” kata pria itu.

“Benar, kita akan berlayar, meninggalkan segala kenangan ini, karena waktu amat kejam hingga kita tak bisa meminta yang hilang untuk kembali”

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Kuliah Daring Berlanjut, Mahasiswa UIN IB Ingin Layanan UPT Perpustakaan Dibuka

Next Post

Bekerjasama dengan UNESCO, AJI Gelar Webinar Pelaporan Data Kekerasan pada Jurnalis

Related Posts

Ruam

Oleh: Nada Asa Fhamilya Febria Andre(Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang) Seseorang datang tanpa raguMengucap cinta bak semanis gulaKata-kata…
Selengkapnya

Teh

Oleh: Rolla Purnama Sari (Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang) Seduh manis aroma tehMenarik rupa dari beningnya air putihMenyisipkan…
Selengkapnya
Total
0
Share