Oleh: Verlandi Putra
(Mahasiswa Prodi Tadris Bahasa Inggris)
Sepanjang tiga puluh tahun hidupku, bayangan itu tak pernah meninggalkanku. Selalu ada, bergerak dalam irama yang sama, bernafas dalam tempo yang selaras. Kami lahir bersama, tumbuh bersama, dan akan tetap bersama. Setidaknya, itulah yang selalu kupercayai.
“Rani, kamu yakin nggak mau ikut makan?” Suara lembut itu mengalun dari seberang meja makan. Ranti, saudara kembarku, duduk dengan anggun seperti biasa. Rambutnya yang sebahu bergoyang pelan saat ia mengibaskan poni yang jatuh ke matanya.
“Nanti aja deh. Masih kenyang,” jawabku sambil tersenyum. Ku lihat dia mengangkat bahu dan mulai menyendok nasi gorengnya dengan lahap.
Ibu yang sedang mencuci piring di dapur menoleh ke arahku dengan tatapan yang sulit kuartikan. “Rani, makan dulu nak. Dari pagi belum makan apa-apa.”
“Tuh kan, dengerin Ibu dong. Masa aku makan sendirian?” Ranti menimpali dengan nada mengejek yang familiar, yang selalu dia gunakan sejak kami kecil.
Aku menggeleng pelan. “Beneran masih kenyang, Bu. Nanti aja.”
Ibu menghela napas panjang. Matanya berkaca-kaca saat menatapku. “Rani… Ranti sudah tidak ada, Nak.”
Kalimat itu menghantam dadaku seperti palu godam, tapi aku tetap tersenyum. Tentu saja Ranti ada. Dia duduk tepat di hadapanku, makan dengan lahap seperti biasa. Bahkan dia sedang menggerutu karena sambalnya kurang pedas.
“Ibu ngomong apa sih? Ranti kan ada di sini, lagi makan.” Aku menunjuk ke arah Ranti yang masih asyik dengan makanannya.
Air mata mulai mengalir di pipi Ibu. “Sudah enam bulan, Rani. Ranti sudah pergi. Waktu kalian ke Puncak…”
“Nggak, Bu!” Aku memotong kata-kata Ibu dengan suara bergetar. “Ranti ada di sini. Dia baik-baik aja. Iya kan, Ran?”
Tapi, ketika aku menoleh ke seberang meja, kursi itu kosong. Piring nasi goreng yang tadi ku lihat juga tidak ada. Hanya ada meja makan yang bersih, tanpa bekas makanan sedikit pun.
Kepalaku mulai berdenyut. Potongan-potongan memori yang selama ini ku kubur dalam-dalam mulai menyeruak ke permukaan. Hari itu, enam bulan lalu, ketika kami memutuskan untuk mendaki Gunung Gede…
—
“Ayo dong, Rani! Masa kalah sama aku?” Ranti berteriak dari atas, beberapa meter di depanku. Napasnya memburu tapi senyumnya mengembang lebar.
“Tunggu… capek…” Aku tersengal-sengal, mencoba mengimbangi langkahnya yang gesit.
Langit mulai menggelap. Awan hitam bergulung-gulung di atas kepala kami, pertanda hujan akan turun. Seharusnya kami sudah mulai turun, tapi Ranti bersikeras ingin mencapai puncak.
“Sebentar lagi sampai kok. Masa nyerah sekarang?” godanya sambil berkacak pinggang.
Aku menggeleng pasrah dan terus mengikutinya. Begitulah Ranti, selalu lebih berani, lebih kuat, lebih… segalanya. Sejak kecil, dia yang selalu memimpin, dan aku yang mengikuti.
Tetesan hujan mulai turun ketika kami hampir mencapai puncak. Awalnya gerimis, lalu semakin deras. Tanah yang kami pijak mulai licin.
“Ran, kayaknya kita turun aja deh!” teriakku melawan deru angin yang semakin kencang.
“Dikit lagi, Rani! Masa nyerah udah mau sampai ni.”
Kemudian semuanya terjadi begitu cepat. Ranti melangkah ke depan, kakinya terpeleset di tanah yang licin. Tubuhnya oleng ke belakang.
“RANTII!”
Aku mencoba menggapai tangannya, tapi terlambat. Tubuhnya meluncur ke bawah, membentur bebatuan. Suara teriakannya tenggelam dalam deru hujan.
—
“Rani? Rani, sayang?” Suara Ibu menarikku kembali ke realitas. Aku mengerjap, mendapati diriku masih duduk di meja makan. Pipi dan bajuku basah oleh air mata yang entah sejak kapan mengalir.
“Tapi… tapi tadi Ranti ada di sini, Bu,” bisikku lirih. “Dia makan nasi goreng. Dia…”
Ibu mendekat dan memelukku erat. “Rani harus merelakan Ranti pergi, Nak. Dia sudah tenang di sana.”
Aku menggeleng kuat-kuat dalam pelukan Ibu. Bagaimana mungkin aku merelakan separuh diriku pergi? Bagaimana bisa aku hidup tanpa bayanganku?
Tapi, bayangan Ranti yang duduk di seberang meja tadi mulai memudar dalam ingatanku. Digantikan oleh memori terakhirnya: tubuh yang terbaring kaku di rumah sakit, kulit yang pucat kebiruan, dan mata yang tak akan pernah lagi berbinar jahil ke arahku.
“Maafin aku, Ran,” bisikku parau. “Harusnya aku bisa mencegah kamu waktu itu. Harusnya…”
“Sshhh,” Ibu mengusap punggungku lembut. “Bukan salah siapa-siapa, Nak. Takdir sudah mengatur semuanya.”
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam enam bulan terakhir, aku memberanikan diri masuk ke kamar Ranti. Semua masih persis seperti terakhir kali dia tinggalkan. Buku-buku tersusun rapi di rak, boneka beruang pemberian pacarnya masih duduk manis di tempat tidur, dan foto-foto kami berdua masih berjajar di dinding.
Ku hempaskan tubuh ke tempat tidurnya, menghirup dalam-dalam aroma vanilla yang masih tertinggal di bantal. Aroma khas Ranti.
“Kamu tahu nggak, Ran?” bisikku pada keheningan kamar. “Aku masih sering bangun tengah malam, berharap ini semua cuma mimpi buruk. Berharap besok pagi kamu akan berteriak menyuruh ku bangun seperti biasa.”
Air mataku kembali mengalir saat memandangi foto terakhir kami bersama, diambil pagi itu sebelum mendaki. Ranti tersenyum lebar ke kamera, tangannya merangkul pundakku. Kami mengenakan baju pendaki yang sama, seperti biasa. Karena kami selalu sama dalam segala hal.
Tapi sekarang tidak lagi.
—
Pagi berikutnya, aku terbangun dengan kepala berdenyut. Mataku bengkak karena terlalu banyak menangis. Untuk pertama kalinya sejak kejadian itu, aku tidak melihat Ranti di cermin kamar mandi saat gosok gigi. Tidak mendengar suaranya mengoceh tentang rencana hari ini. Tidak merasakan kehadirannya yang selama ini selalu menghantuiku.
“Pagi, Bu,” sapaku pelan saat masuk ke dapur. Ibu sedang membuat sarapan, sama seperti pagi-pagi sebelumnya.
“Pagi, sayang. Mau sarapan apa?”
“Nasi goreng…” Tenggorokanku tercekat. “Nasi goreng kayak yang biasa Ranti suka.”
Ibu tersenyum lembut, matanya berkaca-kaca. “Iya, Nak. Ibu buatkan.”
Kami sarapan dalam diam. Kali ini aku benar-benar makan, tidak seperti kemarin dan hari-hari sebelumnya di mana aku hanya pura-pura makan sambil mengobrol dengan bayangan Ranti.
“Bu,” kataku setelah menghabiskan sarapan. “Aku… aku mau ke makam Ranti.”
Ibu menggenggam tanganku erat. “Ibu temani ya?”
Aku mengangguk. Sudah waktunya aku menghadapi kenyataan yang selama ini ku hindari.
Makam Ranti terletak di bawah pohon kamboja. Sederhana tapi terawat, karena Ibu rajin mengunjunginya. Sementara aku? Ini kunjungan pertamaku sejak pemakaman.
“Hai, Ran,” bisikku sambil meletakkan sebuket bunga mawar putih, bunga kesukaan kami berdua. “Maaf ya baru dateng sekarang. Aku… aku nggak sanggup.”
Air mata mulai mengaburkan pandanganku.
“Tahu nggak? Selama ini aku masih sering ngobrol sama kamu. Atau mungkin sama bayangan kamu. Gila ya?” Aku tertawa getir. “Tapi mau gimana lagi? Aku nggak tahu caranya hidup tanpa kamu, Ran. Dari lahir kita selalu berdua. Sekarang…”
Angin sepoi-sepoi menggoyangkan dedaunan pohon kamboja. Kelopak-kelopak bunganya yang putih berguguran, menari-nari di udara sebelum jatuh ke tanah.
“Tapi sekarang aku harus belajar,” lanjutku. “Belajar hidup sendiri. Belajar jadi diriku sendiri, bukan setengah dari kita. Mungkin… mungkin ini yang kamu mau?”
Ku usap nisan Ranti perlahan. “Kamu selalu bilang aku terlalu bergantung sama kamu. Selalu ngikutin kamu ke mana-mana. Mungkin sekarang saatnya aku berdiri sendiri ya?”
Di belakangku, Ibu menangis tanpa suara.
“Tapi aku tetep kangen banget sama kamu, Ran. Sama ocehan kamu yang nggak ada habisnya. Sama tawa kamu yang selalu bikin aku ikut ketawa. Sama…”
Suaraku tercekat. Ku pejamkan mata, membiarkan air mata mengalir bebas.
“Makasih ya udah jadi saudara kembar terbaik selama tiga puluh tahun ini. Makasih udah selalu ada buat aku. Makasih udah… makasih udah jadi kamu.”
Ku letakkan sebuah foto di samping buket bunga. Foto terakhir kami bersama di kaki gunung, sebelum semuanya berubah.
“Sekarang giliranku yang harus jadi kuat. Yang harus berani. Kayak kamu.”
Angin kembali bertiup, lebih kencang kali ini. Untuk sesaat, aku seperti mendengar tawa Ranti yang khas, bergema dalam hembusan angin. Tawa yang selalu membuatku merasa aman, merasa lengkap.
“Sampai ketemu lagi ya, Ran. Di kehidupan selanjutnya, kita masih jadi kembar kan?”
Aku bangkit perlahan, menghapus air mata dengan punggung tangan. Ibu mendekat dan merangkul pundakku.
“Ayo pulang, Nak?”
Aku mengangguk. Untuk terakhir kalinya, aku menoleh ke makam Ranti.
“Dadah, Ran. Aku sayang kamu.”
Kami berjalan pulang dalam diam. Kali ini, aku tidak menoleh ke samping untuk mencari bayangan yang biasa berjalan sejajar denganku. Tidak mencari sosok yang selama ini selalu ada dalam setiap langkahku.
Karena mulai hari ini, aku harus belajar berjalan sendiri.
Di perjalanan pulang, aku melihat refleksiku di kaca mobil. Untuk pertama kalinya, aku tidak mencoba mencari wajah Ranti di sana. Untuk pertama kalinya, aku melihat diriku sendiri – bukan sebagai separuh dari kami, tapi sebagai diriku seutuhnya.
Dan meskipun hatiku masih terasa hampa, meskipun kehilangan ini mungkin tidak akan pernah benar-benar hilang, aku tahu aku akan baik-baik saja. Karena Ranti akan selalu hidup dalam ingatanku, dalam setiap tawa yang pernah kami bagi, dalam setiap mimpi yang pernah kami rajut bersama.
Dia akan selalu menjadi bagian dari diriku. Tapi mulai sekarang, aku harus belajar untuk menjadi utuh tanpanya.
“Bu,” kataku pelan saat mobil memasuki halaman rumah.
“Ya, sayang?”
“Besok… besok aku mau mulai kerja lagi ya?”
Ibu tersenyum, matanya berbinar bangga. “Tentu, Nak. Tentu.”
Malam itu, untuk pertama kalinya dalam enam bulan terakhir, aku tidur tanpa memimpikan Ranti. Dan meskipun kesedihan masih terasa menusuk, ada secercah harapan yang mulai tumbuh.
Karena kadang, merelakan bukan berarti melupakan. Kadang, mencintai justru berarti membiarkan pergi.
Dan mungkin, hanya mungkin, ini adalah cara Ranti mengajariku untuk tumbuh menjadi diriku sendiri. Seperti yang selalu dia inginkan.
—
Untuk Ranti,
Yang selalu ada dalam setiap detak jantungku
Yang tak akan pernah benar-benar pergi
Karena kita adalah satu
Dalam hidup ini, dan mungkin dalam kehidupan selanjutnya
Rani