Cetak Biru Orde Baru dalam Rezim Jokowi (I)

Foto: IndoProgress

Oleh: Nandito Putra
Pemred LPM Suara Kampus/Mahasiswa HTN Fakultas Syariah UIN Imam Bonjol Padang

Pemanggilan pengurus Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) UI oleh rektorat bukan lagi hal yang baru di Indonesia. Jauh sebelum rezim Joko Widodo bercokol di Medan Merdeka Utara dan Senayan, pemanggilan dengan dalih menertibkan mahasiswa sudah dilakukan oleh Pendahulu Jokowi: bapak daripada Soeharto, yang telah berkuasa selama 32 tahun. Soeharto merupakan diktator tersukses yang berhasil membangun imperium bisnis, yang bahkan masih eksis setelah 23 tahun kekuasaannya tumbang. Maka dari itu, tindakan “penertiban” mahasiswa tersebut bukanlah hal yang mengejutkan. Jauh sebelum itu, pemerintahan Jokowi sudah terlanjur banyak menjiplak model kekuasaan orde baru.

Untuk itu—dengan jari yang mengalir, setuju tidak setuju, suka tidak suka—saya harus menuliskan  bahwa rezim hari ini merupakan cetak biru orde baru. Perbedaannya tipis sekali, bahkan nyaris tidak terlihat: Jokowi bukan dari militer, berkebalikan dengan bapak daripada Soeharto yang merupakan jenderal bintang lima.  

Selain itu, ada banyak bukti yang menunjukkan bahwa relasi militer begitu kental dalam pemerintahan Jokowi sejak pertama ia merengsek dari gorong-gorong, di perkampungan padat penduduk di Jakarta, sehingga menarik perhatian publik ketika itu. Kemenangan Jokowi di Pilpres 2014 merupakan secercah harapan di oase reformasi yang sunyi. Harapan baru disandarkan pada seorang sipil yang bersahaja, yang bahkan dalam suatu kerumunan, bagi yang tidak tahu siapa Jokowi sebenarnya, akan mengira dirinya adalah warga biasa. Siapa sangka, pria bertubuh ceking itu ternyata begitu misterius. Kita sadar bahwa Jokowi yang kita kenal sebagai seorang presiden tidak bertindak atas pikirannya sendiri. Di sinilah muncul anggapan bahwa ada power luar biasa di belakang Jokowi, yaitu oligarki. Dan, Jokowi adalah salah satu bagian dari oligarki tersebut, saya mengetahui hal ini dari film dokumenter WatchDoc garapan Dhandy Laksono, Sexy Killers.

Sekali lagi, saya harus mengataken, bahwa Jokowi adalah Soeharto berbaju sipil. Meski tidak sama persis, kesamaan pola kekuasaan (dalam hal politik, hukum, HAM, dan demokrasi) yang dijalankan pemerintahan Jokowi melihatkan gambaran umum bahwa, reformasi kita berjalan mundur, kembali menuju otoritarianisme gaya baru. Atau istilah yang ramai berseliweran di twitter yaitu neo orba. Entah siapa yang menciptakan istilah tersebut.

Untuk membuktikan anggapan bahwa rezim hari ini adalah cetak biru orde baru, selain kuatnya relasi militer di tubuh pemerintahan saat ini. Juga dibuktikan dengan model kekuasaan yang menerapkan nilai-nilai otoritarianisme. Hal itu tampak dari disumbatnya kebebasan berpendapat, pembungkaman oposisi di parlemen, ketidakberpihakan pada pemberantasan korupsi, menguatnya orientasi ekonomi tambang, dan deregulasi dengan dalih pembangunan.

Kuatnya Cengkraman Militer

Sepanjang perjalanan politik di Indonesia, presiden-presiden yang berkuasa berasal dari dua latar belakang: sipil dan militer. Sukarno, B.J Habibie, Gus Dur, Megawati, dan Jokowi berlatar belakang sipil. Sementara hanya Suharto dan SBY yang berasal dari barak. Kendati hanya dua orang presiden yang berasal dari militer, jika dijumlahkan, keduanya berkuasa selama 42 tahun.

Konstitusi memang tidak melarang siapa saja untuk menduduki jabatan presiden, baik sipil maupun pensiunan tentara, asalkan memenuhi syarat dan memenangkan pemilu. Persoalan justru muncul karena sejarah keterlibatan militer dan dominasinya atas sipil di Indonesia sudah mengakar kuat, siapapun presidennya.

Sebagai gambaran, persentase keterlibatan kaum militer di kabinet Jokowi cukup besar. Jokowi memiliki kedekatan tersendiri dengan para pensiunan jenderal bekas didikan rezim orde baru. Semenjak 2014, Jokowi telah mendapuk sembilan menteri yang berasal dari kalangan militer. Dengan rincian sebagai berikut: Tedjo Edhy Purdijatno (Menko Polhukam pada 2014), dia kena reshuffle dan digantikan oleh Luhut Binsar Pandjaitan, kemudian Wiranto menggantikan Luhut; Ryamizard Ryacudu (Menteri Pertahanan); Moeldoko (Kepala Staf Kepresidenan); A.M. Hendropriyono yang pernah menjadi tim transisi kabinet Jokowi; Agum Gumelar (Anggota Wantimpres); Fachrul Razi Batubara (Menteri Agama), dan rival Jokowi di dua Pilpres terakhir, Prabowo Subianto (Menteri Pertahanan).

Keterlibatan para jenderal tersebut dalam pemerintahan Jokowi menimbulkan kecaman keras dari publik. Sebab publik menilai, presiden akan kesulitan menunaikan salah satu janji politiknya yang cukup prestisius, yakni penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu. Terlebih lagi, sejumlah jenderal tersebut kuat diduga terlibat dalam pelanggaran HAM. 

Smuel Huntington mengemukakan dua model konsep yang menjelaskan bagaimana kontrol sipil dilakukan. Berupa Subjective Civilian Control (Maximizing Civilian Control) yaitu memaksimalkan kekuasaan sipil, diartikan bahwa model ini sebagai upaya meminimalisasi kekuasaan militer dan memaksimalkan kekuasaan kelompok–kelompok sipil. Dan Objective Civilian Control (Maximizing Military Professionalism) yaitu memaksimalkan profesionalisme militer dan menunjukkan bahwa adanya pembagian kekuasaan politik antara kelompok militer dan kelompok sipil yang kondusif menuju perilaku professional.

Agar relasi sipil-militer di sebuah negara demokrasi dapat berjalan sehat, kaum serdadu harus diminimalisir keterlibatannya dalam urusan sipil. Meski tidak ada regulasi yang mengikat hak politik purnawirawan, seharusnya sebagai presiden yang berasal dari sipil, dan dipilih langsung oleh rakyat, Jokowi harus mampu menegakkan supermasi sipil, alih-alih bersandar pada kekuatan militer. Gestur politik semacam ini melihatkan betapa rezim hari ini tidak memiliki kepercayaan diri yang memadai dalam menuntaskan reformasi di sektor keamanan. Pendek kata, salah satu agenda reformasi yaitu penghapusan dwifungsi ABRI masih menyisakan tanda tanya besar. Jika dulu tentara terlibat secara terbuka di perpolitikan dan urusan sipil, hari ini militer terjebak dalam situasi paretorianisme. Pretorianisme mengacu pada situasi di mana tentara tampil sebagai aktor politik utama yang sangat dominan. Luhut lagi, Lhut lagi, misalnya.

Felix Nathaniel dalam “Rezim Militer” Jokowi dan Cengkaraman Serdadu atas Presiden Sipil, menuliskan, Jokowi memberi lebih banyak konsesi kepada militer pada sejumlah kementerian dan lembaga pasca reformasi. Bahkan saat ini, kata Felix, reformasi TNI malah berpeluang berjalan mundur. Salah satu indikasinya adalah desakan dari TNI kepada Presiden RI ke-7 itu untuk membereskan masalah kelebihan jumlah perwira. Panglima TNI Hadi Tjahjanto berharap revisi UU 34 tahun 2004 tentang TNI bisa menjadi solusi. Sementara Jokowi meresponnya dengan memberikan 289 jabatan baru perwira TNI dalam Perpres 66 tahun 2019. Itulah yang membuka peluang pengkhianatan terhadap agenda reformasi tentara. Meski sipil seharusnya mengontrol militer, pada kenyataannya sipil masih bergantung kepada militer untuk menopang kekuasaan.

Ada apa dengan agenda reformasi?




 

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Direktur LBH Padang: Pemanggilan BEM UI adalah Bentuk Kemunduran Demokrasi

Next Post

New Media, Lahan Baru Pergerakan Mahasiswa

Related Posts
Total
0
Share