Konflik Agraria Tidak Kunjung Selesai, KPA: Penguasa Mesti Introspeksi Diri

Sosok Linda Dewi Rahayu (Foto: Nada Asa/Suarakampus.com)

Suarakampus.com- Menanggapi permasalahan konflik agraria yang tak kunjung selesai, ditambah dengan maraknya persoalan mafia tanah, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) adakan diskusi bertajuk Pakel dan konflik-konflik agraria yang tidak pernah selesai. Diskusi ini diadakan secara langsung di Studio Eknas Walhi dan live streaming via Youtube, Sabtu (22/01).

Walhi secara terbuka mengundang seluruh rakyat Indonesia untuk ikut berpartisipasi dalam diskusi yang membahas tanggung jawab pengurus negara atas konflik agraria yang terjadi, di tengah pertikaian Undang-undang (UU) cipta kerja yang menyapu habis hak-hak rakyat.

Selaku Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Linda Dewi Rahayu mengungkapkan bahwa pengurus negara sudah gagal dalam mengurus daerah lingkungan hidup. “Penguasa harus introspeksi diri dan mengakui kesalahannya,” katanya.

Sambungnya, permasalahan itu layak untuk dieksploitasi dan dikonsumsi global, sejak tahun 60-an sampai sekarang sudah ribuan izin yang lahir, karena tidak lepas dari potret kebijakan dari rezim ke rezim. “Hal ini lebih cenderung melihat bahwa sumber daya itu sebagai suatu komunitas roh material,” lanjut Dewi saat menyampaikan materi.

Kemudian, perihal potret kebijakan tersebut diikuti oleh sektoral pertambangan, perkebunan, dan perhutanan, yang sangat rakus akan eksploitasi sumber daya dan tidak adil kepada rakyat. “Melihat dari revisi UU cipta kerja, kita dapat melihat sistem kapital itu terus berjalan,” ujarnya.

Menanggapi hal itu, Dewi menuturkan bahwa wajar konflik itu muncul disekitar wilayah yuridis Indonesia, karena progresifitas kebijakan yang mengeksploitasi sumber daya, tidak seimbang dengan konflik penyelesaian agraria.

Dewi juga menekankan bahwa setiap kebijakan sumber daya dibuat oleh negara harus mengacu kepada TAP MPR. Namun, kita lihat saat ini aturan yang dibuat negara tidak sesuai dengan itu. “Malah aturan yang ada menghilangkan hak veto rakyat,” tuturnya.

Katanya, hal ini tentu sangat mengancam hilangnya daerah kelola rakyat yang seharusnya pengurus negara, melindungi hak veto rakyat, bukannya melegitimasi untuk pengerukan sumber daya. “Jadi, di sini kita melihat bahwa negara mewariskan konflik ini,” ucapnya.

Dewi mengatakan hingga tiga keturunan konflik ini tidak akan kunjung selesai, permasalahan ini seperti lingkaran setan. “Semoga negara mengakui dan melindungi hak-hak rakyat, bukan malah menjadi sumber kesengsaraan bagi rakyat,” tutupnya. (nsa)

Wartawan : Zaitun Ul Husna (Mg)

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Menulis Esai, Dosen FAH: Perlu Pahami Kaidah Penulisan

Next Post

Perubahan Spektrum Warna Pengaruhi Perkembangan Komunikasi Anak

Related Posts
Total
0
Share
410 Gone

410 Gone


openresty