Menanti Pemilu dan Hidup yang Mengambang di Lautan

foto (Rahmad/Antara Foto)

Suarakampus.com- Sunarto Wijaya, nelayan di Ulakan, Kabupaten Padang Pariaman, menanti dengan penuh harap gelaran pemilu. Pemilihan umum baginya adalah hari-hari penuh sembako dan cat gratis untuk perahu-perahu nelayan. Dan tentunya, juga bonus bendera partai untuk dipasang di tiang-tiang perahu.

“Bahkan ada juga yang memasang semua bendara partai di biduknya, ha ha ha,” seloroh salah seorang warga Ulakan, Samsudin, di sebuah lepau di dekat masjid Syekh Burhanuddin Ulakan. Walau membuat perahu tak sedap dipandang, tapi apa boleh buat, toh siapa juga yang akan peduli, demikian anggapan Samsudin.

Pada suatu sore yang panas, Jumat (15/10) lalu, saya bertemu dengan Sunarto, di kediamannya, yang berjarak 100 meter dari bibir pantai, di Ulakan.

“Cuma di saat pemilu pemerintah mendekati kami, nelayan miskin dengan biduk yang ditambal di sana-sini,” kata Sunarto. Sunarto tak tamat sekolah dasar, tapi ucapannya barusan keluar bak seorang pengamat politik kesohor.

Mungkin, yang dimaksud dengan pemerintah di sini adalah para caleg atau orang-orang partai. Ia menceritakan, setiap akan pemilu, ada saja para tim sukses memberi bendera, stiker, bahkan mengecat perahu reotnya dengan warna partai tertentu.

Sunarto heran, mengapa orang partai mau berkampanye sampai ke tengah laut. Tapi ia tidak bisa menolak hal itu, karena beberapa kilo beras dan sembako, juga amplop, akan ia terima. “Ya saya sih tidak masalah, asalkan ada keuntungannya,” katanya.

Sunarto sangat senang apabila perahu miliknya dilapisi cat minyak setiap pemilu, lima tahun sekali. Terserah mau warna partai apa. “Dengan cat minyak itu, perahu akan jadi awet dan tidak mudah lapuk,” kata Sunarto.

Partai politik, adalah bagian dari negara yang menggelikan. Pada 2019 lalu, misalnya, Sunarto dijanjikan akan diberi perahu dan alat tangkap baru untuk melaut. Namun, sampai hari ini, ia tetap menangkap ikan dengan perahu yang mengkhawatirkan.

Sunarto sudah berbaur dengan laut sejak ia berusia enam tahun, diajak sang ayah. Kondisi perekonomian yang sulit, sehingga dia tidak dapat mengenyam pendidikan lebih lanjut.  Sekolah? Ia tak tamat SD. Itu artinya, hampir seluruh hidupnya dihabiskan di laut, mengurai jala kusut, menambal perahu bocor, memperbaiki mesin rakitan dan merajut kepiting. Namun demikian, hidupnya begitu-begitu saja; melarat. Tapi, dari laut pula, Sunarto banyak belajar tentang hidup.

Dalam dialek Pariaman yang khas, Sunarto menyentak saya dengan kata-katanya. “Hidup sama halnya dengan laut, ada pasang surut dan naik. Tetapi, bagi saya, pasang tak pernah naik,” katanya. Kemudian, tawanya pecah diiringi bunyi ombak.

Ia, seperti orang pesisir lainnya, tak punya pilihan selain pergi melaut. “Sejak kecil saya sudah kenal laut sebagaimana ikan mengenal air,” kata pria dengan empat anak ini.

Mengalami nasib sial, ya, Sunarto tidak sendirian. Saya juga bertemu dengan Oyong, Burhan, Sumaidi, dan Toro. Menurut keterangan yang dipaparkan Ketua Kelompok Nelayan Ombak Berdebur, Asmidi, 90 persen nelayan di Ulakan, adalah nelayan tradisional, dengan biduk-biduk kecil.

“Ya hampir seluruh yang tak punya kapal besar adalah nelayan yang jauh dari kata sejahtera,” kata Asmidi.

Pada suatu pagi yang terik, Minggu (17/10), saya ikut Toro menangkap ikan. Meski dia menolak, saya bersikeras ingin ikut. Saya ingin melihat bagaimana nelayan dari dekat, dekat sekali. Setelah negosiasi yang alot, Toro akhirnya takluk.

Beberapa bungkus rokok, mie instan, kopi, dan gula enau yang saya bawa membuat Toro tersenyum kecil. Saya sadar bahwa Toro bukan tidak mau mengajak saya. Tapi ia khawatir modal melautnya tidak cukup bila saya juga ikut.

Setelah berhasil memecah ombak pantai barat Sumatra yang ganas, saya menyesal ikut dengan Toro. Biduk yang kami naiki, nyaris terbalik. “Ini sudah biasa dik, setiap ada ombak besar, selalu begini,” kata pria 34 tahun itu dengan santai.

Hampir seluruh baju yang saya kenakan basah kuyup. Tapi apa boleh buat, biduk reot yang sudah berusia 20 tahun itu, kini sudah berada di tengah laut yang tenang. Suara mesin biduk yang datar dan membosankan menemani perjalanan kami ke kawasan pulau Pieh, tempat di mana biasanya Toro membentangkan jala.

Dari daratan Sumatra ke kawasan pulau Pieh, Toro menghabiskan ongkos 400 ribu pulang pergi. Jarak yang ditempuh kira-kira 50 kilometer dari bibir pantai, dengan waktu tempuh 2 jam perjalanan. Dari kejauhan, terlihat samar-sama pulau Sumatra dengan pasak-pasak Bukit Barisan seperti mencuat dari laut.

Tangkapan maksimal yang pernah diperoleh Toro adalah lima keranjang ikan. itu, kata dia, sudah melibihi kapasitas lambung biduknya yang kecil. “Kira-kira kalau diuangkan sekita sejuta,” kata dia.

Jala yang digunakan sering kusut saat hendak diturunkan ke laut. Panjangang jala itu 100 meter. Dan itu hampir membuat lambung biduknya penuh. Namun, hari itu,dia tidak begitu beruntung. Toro hanya mendapat tiga keranjang ikan. Karena perbekalan dan bahan bakar yang terbatas, setelah semalaman di laut, kami memutuskan untuk pulang.

Di perjalanan pulang menuju daratan Sumatra, Toro menceritakan mengapa ia betah menjadi nelayan. “Itu artinya Anda juga betah setiap ke laut pergi menghantarkan nyawa,” kata saya. Ia terdiam mendengan pernyataan tersebut. Tatapannya kosong, menatap pulau Sumatra nun jauh di depan sana.

“Nelayan sejati hanya akan mati di laut, mati karena tangkapan sedikit, jatuh miskin dan sakit-sakitan. Atau mati tenggelam, dihempas badai tanpa ampun,”

Ia tak tahu pekerjaan selain mencari ikan. Tapi apa boleh buat, toh sampai hari ini, ia masih hidup, meski tersendat-sendat. (Red)

Wartawan: Nandito Putra

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Menjelang Kuliah Tatap Muka, UIN IB Kembali Gelar Vaksinasi Massal

Next Post

Landasan Kode Etik Jurnalistik Mengacu pada Kepentingan Publik

Related Posts
Total
0
Share