Merefleksikan Budaya Menulis dan Membaca Mahasiswa


Muhammad Rasid Parapat
(Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN Imam Bonjol Padang dan Pengamat Tipologi Gerakan Mahasiswa Indonesia)

Suarakampus.com- Belakangan ini persoalan minimnya daya produktivitas menulis dari mahasiswa harus diperbincangkan kembali. Sebab daya dan minat menulis itu sudah amat merosot, baik itu di media cetak maupun media online. Bahkan bisa kita amati maraknya diadakan penyelenggaraan berbagai forum diskusi maupun seminar tentang pelatihan soft skill kepenulisan.

Hal ini diperuntukkan dalam merangsang spirit mahasiswa untuk merefleksikan produktivitas menulisnya. Sebab bagaimanapun menulis merupakan aktivitas akademik yang tidak bisa lepas dari mahasiswa, mulai dari membuat esai, review, artikel ilmiah, laporan penelitian, makalah, dan bahkan untuk mencapai gelar S1, S2 dan S3 harus melalui kegiatan menulis, baik itu skripsi, tesis dan disertasi.

Pada dasarnya menulis merupakan kegiatan mengekpresikan diri berupa ide, gagasan, dan bahkan perasaan secara tertulis. Namun hari ini menulis tampaknya menjadi kegiatan yang dihindari, terutama mahasiswa. Padahal dengan menulis kita dapat memperbanyak pengetahuan, dimana pengetahuan itu akan sengat sulit hilang dari pikiran kita. Sebab menulis merupakan upaya mengabadikan ilmu pengetahuan yang kita miliki.

Bukankah Syaikh Imam al Ghazali pernah mengatakan, “Kalau engkau bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis”. Begitu juga dengan pernyataan Pramoedya Ananta Toer bahwa “Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”. Bagi penulis, dua pernyataan tokoh di atas sudah cukup mampu memberikan stimulus dan penyegaran diri tentang pentingnya bagi kita untuk menulis.

Bahkan para tokoh pergerakan bangsa kita sewaktu melawan pembelengguan kolonialisme dan imperialisme merupakan para literal yang begitu mencintai buku dan kegiatan menulis. Sehingga perjuangan mereka dapat terbentuk dari konsep buah pikirnya yang sudah membiasakan diri membaca lalu menuliskannya, baik itu dikoran, buku harian dan lainnya.

Sekiranya rutinitas mereka itu memang menjadi salah satu faktor kemerdekaan kita dengan perannya yang strategis dalam mempengaruhi pemikiran, dialektika, dan perjuangan para pejuang bangsa. Pun sejarah kita mencatat bahwa para founding father Indonesia merupakan pecinta buku, sebut saja Soekarno, Hatta, Sjahrir, Tan Malaka dan tokoh lainnya.

Mahasiswa sebagai insan akademis tentu tidak bisa lepas dari lingkungan ilmiah dan bernaung dibawah lingkup keilmuan. Kita pun dituntut agar lebih akrab dengan aktivitas literasi, mulai dari membaca, dialektika, diskusi, debat dan menulis. Melalui keakraban kita berliterasi akan meningkatkan wawasan, mempertajam analisis, dan kritis berpikir yang sistematik secara signifikan. Tidak hanya itu, aktivitas literasi diatas juga akan mengokohkan peran sebagai mahasiswa yang dinobatkan sebagai insan akademis. Dimana aktivitas kita yang bernaung dibawah lingkup keilmuan juga bagian dari posisi kita mengejawantahkan Tri Dharma Perguruan Tinggi dalam melaksanakan pendidikan, penelitian atau pengembangan dan pengabdian kepada masyarakat.

Apabila merujuk publikasi artikel ilmiah dari Nature Asia-Pasifik Publishing Index dalam rentang waktu 1 Oktober 2018 sampai dengan 30 September 2019, posisi Indonesia berada pada urutan ke-11 dan China posisi pertama skala Asia Pasifik. Bahkan India, Thailand dan Vietnam masih diatas Indonesia. Sengaja penulis membawakan data kepenulisan dari tulisan segi ilmiah, sebab setiap tahun perguruan tinggi di Indonesia melahirkan ribuan mahasiswa yang wisuda, dimana semestinya karya ilmiah mereka itu layak dipublikasikan, baik itu intisari dari makalah, skripsi, tesis dan disertasi. Dan bukankah data diatas miris untuk kita, Negara sebesar Indonesia yang memiliki 4659 Perguruan Tinggi yang terdiri dari 637 Universitas, 241 Institut, 2515 Sekolah Tinggi, 923 Akademi, 308 Politeknik dan 35 Akademi Komunitas ternyata masih kalah dengan Negara jumlah perguruan tingginya jauh dibawah Indonesia. Bahkan perguruan tinggi di China setengah dari jumlah perguruan tinggi di Indonesia.

Membaca dan Menulislah

Benar bahwa menulis kegiatan yang tidak mudah, tapi bukan pula hal sulit. Dan lebih jelasnya bahwa kemampuan menulis bagi kita sebagai mahasiswa adalah kewajiban selaku kaum terpelajar. Budaya menulis mahasiswa tidak hanya terletak pada lingkup penulisan tugas kuliah berupa makalah maupun laporan, tapi juga lebih menjurus pada penyampaian gagasan dan menawarkan solusi dari tulisan secara inovatif dan kreatif.

Sebagai insan akademis yang menjunjung asas inovatif dan kreativitas dalam rutinitas kependidikannya, menulis mesti dilakukan secara rutin dan terus mengembangkannya sampai saraf yang mendorong kegiatan menulis menjadi fleksible. Tentunya kegiatan menullis harus diiringi dengan aktivitas membaca, karena membaca merupakan kunci dari menulis.

Dalam konteks ini membaca tidak hanya diartikan sebagai upaya memperoleh informasi ataupun membaca yang tertulis saja, seperti buku. Lebih dari itu, membaca harus dilakukan guna mempertajaman analisis dan kerangka berpikir yang runut terhadap permasalahan maupun menawarkan gagasan, serta membaca fenomena dan realitas kehidupan adalag hal terpenting bagi kita. Oleh sebab itu, kita bisa menghasilkan tulisan berkualitas dan dengan gaya yang unik serta memiliki tingkat keterbacaan dan daya tanggap terhadap keadaan secara gesit.

Terlepas dari status sebagai mahasiswa, rutinitas menulis dan membaca diibaratkan dua sisi mata koin yang saling melengkapi membentuk nilai. Menulis yang tanpa diiringi membaca tidaklah bisa, bagaikan agama tanpa kitab suci. Tidak ada panduan yang benar, baik dan indah. Selebihnya dengan memperbanyak kegiatan membaca seiring dalam meningkatkan wawasan kita, kemampuan menelaah, dan menganalisa akar permasalahan dari suatu fenomena maupun memetik intisari bacaan yang berimplikasi pada kegiatan menulis sebagai upaya penyediaan atas gagasan.

Sampai disini, permasalahan atas budaya mahasiswa dalam literasi, menulis dan membaca harus benar-benar harus diperbaiki secara bersama. Terlebih era informasi dewasa ini kita juga harus mampu membaca fenomena data, big data, informasi, artificial intelegency dan teknologi. Lagipula dengan menulis menjadi salah satu upaya dalam memahami hakikat diri yang sebenarnya di kehidupan.

Bonus dari Literasi

Selain itu, menulis juga menjadi salah satu upaya dalam menyebarkan nilai-nilai kebermanfaatan sekaligus memperkenalkan diri kepada dunia. Dan bukankah niat kita ketika menuju kampus untuk memperbaiki tataran kehidupan. Mulai dari cara berfikir, berkarya, hingga tataran untuk memperbaiki jalan rezeki kita. Meskipun hal terakhir itu terkesan pragmatis, tapi yang jelas materi tersebut hanya bonus dari apa yang telah kita lakukan dan jika materi menjadi daya dorong produktivitas menulis bagi penulis tidaklah masalah. Toh para pembaca akan memetik nilai dari karya yang telah dilahirkan dari tulisan dan kegiatan menulis sebagai salah satu pemenuhan kebutuhan di era materialistik ini.

Dan tentunya ketika kita menjadi seorang yang akrab dengan membaca dan menulis akan mempermudah jalan rezeki kita, sering berbagi dari tulisan maupun menjadi pemateri dari karya-karya dan bacaan kita. Demikian daripada itu, kita harus benar-benar paham bahwa membaca dan menulis penting sebagai penunjang dari niat untuk berbagi dan memperbaiki kehidupan diri. Maka membaca lah, sebab dengan membaca kita bisa menaklukan sejarah. Dan menulis lah, sebab dengan menulis kita akan menjadi sejarah masa depan.

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

WR III Lantik 28 Pengurus LPM Suara Kampus

Next Post

Pembina LPM Suara Kampus: Pers Mahasiswa Harus Penuhi Standar Akademik

Related Posts
Total
0
Share