Nawal El Saadawi: Mengabdi, Berjuang dan Mati Demi Kebebasan Perempuan

Penulis Mesir,Nahwal El Saadawi (foto by: officialbespoke.com)

Obituari Nawal El Saadawi (1931-2021)

Suarakampus.com-Kabar duka datang dari Mesir, penulis sekaligus aktivis feminis yang memperjuangkan hak-hak perempuan, Nawal El Sadawi meninggal dunia di Kairo, Minggu waktu setempat. Ia meninggal di rumah sakit Kairo setelah lama melawan penyakit.

Naawal El Saadawi lahir di Kafr Tahla, sebuah daerah di tepi Sungai Nil pada 27 Oktober 1931 silam.  Saadawi yang lewat tulisannya selalu membangkitkan emosi pembaca dengan bahasa emotif (emotif  language) di dalam setiap karyanya itu meninggal dalam usia 89 tahun.

Ia berbeda dengan penulis dalam khazanah Sastra Arab pada umumnya. Dalam setiap bukunya, Naawal El Saadawi selalu menampilkan dan menonjolkan kritik yang cukup pedas sekaligus penggambaran realitas sosial politik yang lugas, dengan menggunakan gaya bahasa harian dalam penceritaannya, natural dan tanpa embel-embel analitik.

Penggunaan bahasa sarkastis yang sering ia pakai dalam bukunya membuat geram para intelektual dan Pemerintah Mesir. Saadawi harus membayar mahal itu. Rezim Anwar Sadat menjebloskannya ke dalam penjara atas tuduhan melawan pemerintahan yang sah pada 1981.

Penulis lebih dari 55 buku itu juga merupakan seorang dokter dan psikiater. Ia juga terkenal karena aktivismenya dalam memperjuangkan hak-hak perempuan melawan konservatisme di Mesir.

Di Indonesia, Saadawi banyak dikenal lewat bukunya yang berjudul Perempuan di Titik Nol itu bahkan pernah dikutuk oleh Al-Azhar, lembaga pendidikan dan otoritas hukum (fatwa) di Mesir karena perjuangannya sebagai seorang feminis.

Saadawi  pernah blak-blakan dalam kampanye melawan perempuan berjilbab, ketidaksetaraan hak waris Islam antara laki-laki dan perempuan, poligami dan mutilasi alat kelamin perempuan (FGM), demikian seperti dilansir arabnews.com, Minggu, (21/03).

Pada hari sabtu (20/03), putri Saadawi meminta pemerintah negara bagian untuk membayar tagihan medisnya yang sangat tinggi setelah dia mengalami patah tulang panggul.

“Saya tidak peduli dengan kritikus akademis, atau orang yang menulis tentang tulisan kritis. Saya tidak pernah banyak dikenali oleh mereka atau oleh pemerintah,” kata Saadawi kepada kantor berita AFP, pada 2015 silam.

“Pria dan wanita muda di seluruh Mesir dan di luar Mesir telah menghujani saya dengan cinta dan pengakuan yang luar biasa,” kata Saadawi, yang bukunya telah diterjemahkan ke lebih dari 30 bahasa—di antaranya adalah risalahnya yang sudah lama dilarang otoritas Mesir “Wanita dan Seks

Selain menulis buku dan memperjuangkan hak-hak perempuan di tengah kungkungan konservatisme, Saadawi terkenal karena kecamannya yang berapi-api terhadap FGM, yang dia alami ketika berusia enam tahun.

“Sejak saya masih kecil, luka dalam yang tertinggal di tubuh saya tidak pernah sembuh,” tulisnya dalam otobiografi. Sadaawi kepada The Guardian pada 2015 silam pernah mengatakan, sangat menyesali konservatisme yang merayap di negerinya, Mesir.

“Sesuatu telah terjadi selama 45 tahun terakhir. Otak perempuan dan laki-laki telah hancur, hancur!” kata penulis buku Perempuan di Titik Nol itu kepada The Guardian.

Saadawi yang semasa hidupnya telah menikah sebanyak tiga kali dan bercerai tiga kali pula, juga mengecam tabu agama serta menjadi penentang keras Ikhwanul Muslimin Mesir, dia menuduh Ikhwanul Muslimin telah membajak revolusi di Mesir pada 2011, yang menggulingkan penguasa otoriter Mesir yang telah bercokol selam 30 tahun lebih, Husni Mubarak.

Sadawi termasuk di antara puluhan ribu pengunjuk rasa di Lapangan Tharir Kairo menuntut penggulingan Mubarak selama pemberontakan. Jatuhnya Mubarak dilanjutkan oleh Presiden Muhammad Mursi, pemimpin Mesir pertama yang dipilih secara bebas melalui Pemilu—Mursi dikudeta oleh Milter pada 2013. Saadawi mengatakan Mesir lebih baik tanpa “fundamentalis agama” yang berkuasa.

Semasa hidupnya, Nawal El Saadawi pernah meraih berbagai penghargaan seperti North-South Prize. Ia memperoleh penghargaan tersebut karena komitmen dan pencapaian luar biasa dalam memperjuangkan hak asasi manusia. Penghargaan ini ia peroleh pada 2004 bersama Stephane Hessel, aktivis HAM dari Prancis, penulis dan juga merupakan penyintas kamp konsentrasi pada masa perang dunia II

Saadawi juga memperoleh penghargaan Stig Dagreman Prize pada 2011, penghargaan ini diperoleh Saadawi dari Stig Dagerman Society, Swedia, untuk mengenang penulis Swedia Stig Dagerman. Penghargaan ini diberikan kepada orang atau organisasi yang memperjuangkan kebebasan dalam menyampaikan pendapat.

“Saya bisa menggambarkan hidup saya sebagai kehidupan yang mengabdikan diri untuk menulis, meskipun saya seorang dokter. Terlepas dari semua rintangan, saya terus menulis,” kata Saadawi dalam wawancaranya dengan The Guardian.

Walau Saadawi telah pergi, ia akan tetap dan selalu akan dikenang lewat buku-buknya dan apa yang telah ia perjuangakan selama ini. Seperti kata Pramoedya Ananta Toer “ Orang-orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah”.

Penulis: Nandito Putra

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Pimpin KSR PMI UIN IB, Tahmid Siap Kembangkan Kemampuan Anggota

Next Post

Begini Proses Olahan Cemilan dari Kulit Roti Tawar

Related Posts
Total
0
Share
410 Gone

410 Gone


openresty