Suarakampus.com- Jam kerja sebagian buruh perempuan di Indonesia terbilang belum efektif, sebab masih banyak memperkerjakan para buruh di luar jam kerja terutama buruh perempuan. Hal tersebut menimbulkan keprihatinan Aliansi Perempuan Serikat Buruh sehingga adakan Diskusi bertajuk Peran Buruh Perempuan dalam Sejarah Hari Perempuan Internasional, Sabtu (05/02).
Mengingat sejarah tersebut, seorang Aktivis Perempuan Mahardhika, Vivi Widyawati mengatakan penindasan yang terjadi pada perempuan kala itu, membuat perempuan berani melakukan kampanye penuntutan jam kerja buruh.
Lanjutnya, hal inilah yang menjadi alasan turunnya sebanyak 15.000 pekerja perempuan melakukan long march ke jalan menembus kota New York, sehingga hasilnya dinikmati oleh sebagian besar buruh dengan adanya delapan jam kerja per hari.
“Keadilan yang diperjuangkan kala itu yaitu menuntut standar jam kerja yang layak untuk perempuan, gaji yang lebih baik dan diberikannya hak pilih,” lanjut Vivi.
Vivi menuturkan hasil perjuangan para buruh perempuan kala itu dengan menutut keadilan di tengah keadaan tidak sebebas sekarang memang bisa dirasakan. Namun saat ini keadilan untuk buruh perempuan dinilai belum efektif, masih banyak pemilik usaha yang melanggar jam kerja.
“Dengan ditentukannya Hari Perempuan Internasional pada 8 Maret 1908 sebagai tanda adanya ketidakadilan dalam dunia ini termasuk kasus diskriminasi dan eksploitasi terhadap perempuan, serta masih banyak terjadi di berbagai negara,” ucap Vivi.
Ia menambahkan, ada beberapa hal yang membuat perjuangan perempuan Internasional itu berhasil yaitu dengan kekuatan beberapa organisasi-organisasi perempuan, melakukan metode pemogokan untuk melakukan negosiasi.
“Perusahaan sangat takut buruhnya mogok karena tanpa buruh perusahaan tidak akan berhasil serta meraih dukungan dari banyak pihak. Tak kalah penting ketika melakukan penuntutan ada hubungan yang sangat kuat antara buruh dengan hak perempuan, dengan tujuan menghapus diskriminasi dan ketidakadilan tersebut,” tutupnya. (ulf)
Wartawan: Yossi