Oleh: Fajar Hadiansyah
(Mahasiswa UIN Imam Bonjol Padang)
Tepat pada hari Minggu 07 Juli 2024, gubernur Sumatra Barat akan meresmikan nama Masjid Raya Sumatra Barat yang terletak di jalan Khatib Sulaiman, Alai Parak Kopi, Kec. Padang Utara, Kota Padang, dengan nama Masjid Raya Syekh Khatib Al Minangkabawi. Oleh karena itu, sejumlah kalangan menyambut gembira dan memberikan dukungan atas pergantian nama masjid tersebut.
Pergantian nama masjid itu dilakukan oleh Pemerintah Provinsi Sumatra Barat. Pergantian nama tersebut adalah bentuk penguatan hubungan antara Ranah Minang dengan Arab Saudi. Karena menurut pemerintah, akan membuka peluang investasi yang lebar dengan Arab Saudi, dan mengingat keturunan dari Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi cukup banyak di Pemerintahan Arab Saudi, termasuk juga sebagai pengusaha dan akademisi.
Namun demikian, perubahan nama masjid yang dibangun pada masa pemerintahan Gamawan Fauzi itu, menjadi langkah yang tidak tepat karena ada beberapa alasan diantaranya.
Pertama, Masjid Raya Sumatera Barat telah lama dikenal, serta menjadi simbol identitas dan kebanggaan masyarakat Sumatra Barat. Nama ini bukan hanya merepresentasikan sebuah bangunan fisik, tetapi juga mengandung makna historis dan kultural bagi warga setempat.
Mengubah nama tersebut dapat dianggap sebagai penghilangan identitas lokal yang sudah mengakar kuat di kalangan masyarakat. Tentunya pemerintah Sumatra Barat masih minim menghargai identitas ranah Minang.
Kedua, meskipun Syekh Khatib Al Minangkabawi adalah tokoh penting dalam sejarah Islam di Sumatra Barat, penghormatan atau penghargaan terhadap beliau bisa dilakukan dengan cara lain, dan tidak mengubah ke identitas yang telah ada, karena nama Masjid Raya Sumbar sudah dikenal luas. Misalnya ditempatkan nama Syekh Khatib Al minangkabawi tersebut di monumen, pusat studi, museum atau lembaga pendidikan. Dengan demikian, penghargaan terhadap tokoh ini bisa tetap diberikan tanpa harus mengorbankan identitas yang telah ada.
Ketiga, perubahan nama yang tiba-tiba dapat menimbulkan kebingungan dan resistensi di kalangan masyarakat. Karena proses sosialisasi yang kurang matang dapat mengakibatkan ketidaksetujuan dan protes dari warga yang berada di ranah atau di rantau, yang merasa perubahan ini tidak melibatkan partisipasi mereka.
Oleh karena itu, keputusan semacam ini seharusnya didasarkan pada konsultasi yang lebih mendalam dengan berbagai elemen masyarakat, termasuk tokoh agama, tokoh adat, dan masyarakat umum. Karena telah tertuang dalam pituah “Duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang”. Artinya, ketika duduk sendirian, pikiran bisa sempit, tetapi jika duduk bersama, pikiran akan lebih luas. Ini menekankan pentingnya musyawarah dan kebersamaan dalam mengambil keputusan yang berdampak luas pada masyarakat.
Secara keseluruhan, meskipun niat untuk menghormati Syekh Khatib Al Minangkabawi patut diapresiasi, mengubah nama Masjid Raya Sumatera Barat tidaklah merupakan langkah yang bijaksana, “Pucuak ka sarumpun, urek ka surang”. Artinya, seorang pemimpin harus mampu menyatukan berbagai kepentingan dan pandangan yang berbeda. Jika seorang pemimpin tidak bijaksana, ia cenderung hanya memperhatikan kepentingannya sendiri dan mengabaikan kepentingan rakyat.
Lebih baik fokus pada cara-cara alternatif yang bisa menghargai tokoh penting tersebut tanpa merubah simbol kebanggaan masyarakat Sumatra Barat. Sebagai masyarakat yang sangat menjunjung tinggi musyawarah dan mufakat, “Jan ba urai tapatan” digunakan untuk mengingatkan agar tidak sembarangan mengubah sesuatu yang sudah berjalan dengan baik, tanpa ada pertimbangan yang matang dan bermusyawarah yang menyeluruh dengan semua pihak yang berkepentingan.