Suarakampus.com- Pers Mahasiswa (Persma) menjadi wadah aspirasi dan idealisme mendasar mahasiswa dalam sebuah gerakan. Hal ini diungkapkan oleh Litbang PPMI 2008-2010, Mohammad Fathoni saat acara Diskusi Advokasi yang digelar Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Nasional melalui Live Streaming Youtube.
Fathoni mengatakan basis media yang tersedia semakin meningkat, di mana awalnya berupa media cetak kemudian beralih ke media sosial. “Pengaksesan media sosial lebih mudah dan cepat, siapapun bisa mengaksesnya baik kalangan aktivis, organisasi maupun gerakan mahasiswa itu sendiri,” katanya, Senin (22/03).
Lanjutnya, tulisan-tulisan yang masih berorientasi dengan spirit revolusioner perlu diperbaharui di Era Transisi ini melalui gerakan mahasiswa yang telah terporalisasi. “Dipilihnya Soeharto pada Masa Orde Baru (Orba) tanpa proses pemilihan umum tahun 1970-an menjadi poin penting gerakan mahasiswa untuk terus bersolidaritas,” tuturnya.
Tidak dapat dipungkiri bahwa represi yang terus terjadi tidak dapat mengurangi kelompok pro demokrasi, khususnya Persma. “Represi pers mahasiswa ini datang dari berbagai sektor baik birokrasi kampus, aparatur negara, bahkan sesama mahasiswa sendiri,” jelas Fathoni.
Ia juga mengatakan ketika mahasiswa mengkritik kampus menjadi permasalahan, terlebih lagi media juga menanggapi kritikan sebagai komoditas mereka. “Persma menjadi terkungkung di berbagai sisi baik dari dalam maupun luar, mau bergerak pun terasa sulit,” kata Litbang PPMI itu.
Persma tidak menjadikan pihak kampus maupun pemerintah sebagai sasaran utama permasalahan dan musuh. “Perilaku pejabat kampus atau birokrat pemerintah yang seringkali mencederai demokrasi hak-hak,” tambahnya.
Selain itu, Badan Pekerja Advokasi PPMI Nasional 2019-2020, Wahyu Agung Prasetyo mengatakan pentingnya mempelajari advokasi yang bisa menjadi pembelaan diri agar terhindar dari kekerasan baik secara fisik atau mental. “Salah satu tragedi besar yang terjadi di kalangan Persma yang dibredel, dipecat, dan penukaran anggota baru hanya karena cerpen menjadi perhatian besar bagi pers di tanah air,” jelasnya.
Lanjutnya, tragedi tersebut menjadi kemunduran besar bagi pendidikan tinggi di negara, di mana pihak kampus tidak setuju dengan yang dilakukan mahasiswa. “Bahkan pengadilan yang menjadi perwakilan negara pun membenarkan dan mengungkung kebebasan media, tak ayal Persma di Indonesia tidak berumur panjang jika mulai mengusik rektoratnya,” tutupnya. (rta)
Wartawan: Nada Andini (Mg)