Pesona Literasi: Taman Bunga di Negeri Darah

Ilustrasi: Ummi/suarakanpus.com

Nabilla Arsya Amara

Alumni Student Literacy Camp (SLC) 2024 UIN Imam Bonjol Padang

“Tapi yang pintar dan rajin membaca itu belum tentu jadi orang kaya, anak tetangga saya sewaktu sekolah tidak pintar-pintar sekali, sekarang dia menjadi orang sukses. Mending biasa-biasa saja tapi jelas hasilnya.”

Entahlah, untaian kata itu terdengar seperti pembelaan di tengah kemiskinan diri, memvonis bahwa menjadi manusia pintar dan rajin membaca adalah hal yang tak menjamin. Namun, dengan keputusannya untuk menjadi seseorang yang tidak suka membaca, ia lupa menemukan regulasi lain untuk menjamin dirinya yang hidup dengan hanya bermodalkan cerita sukses orang lain tanpa mau tahu prosesnya.

Di masyarakat doktrin seperti itu menjangkiti jiwa-jiwa murni anak bangsa yang seharusnya diisi dengan motivasi optimis untuk bercita-cita maju dan melakukan perubahan, tapi mental “mendang-mending” masih saja terpelihara dengan baik hingga masuk ke dalam transmisi budaya yang turun-temurun.

Benar kata Bung Sujiwotejo, Indonesia menjadi bangsa yang minder, karena tidak kenal sejarah dan kekayaan antropologis bangsanya sendiri. Kurangnya minat bagi masyarakat untuk memahami dan mencari literatur histori bangsa yang sejatinya telah diperjuangkan sekian lama, salah satunya tidak terlepas dari sentuhan para pakar literasi dengan karya dan pemikiran mereka. Siapa? Sebut saja Hamka dengan “Revolusi Pikiran”, R.A Kartini dengan “Habislah Gelap Terbitlah Terang”, Multatuli dengan “Max Havelaar”. Demikian juga tidak ada keinginan untuk menyadari betapa kaya kebudayaan, dan sumber daya alam negeri yang tengah dipijaknya kini sehingga bangsa asing pun tertarik mengunjungi, tidak, bahkan merampasnya.

Literasi yang sejatinya merupakan sebuah upaya pemberdayaan dan penambah wawasan bagi pelaku dan pegiatnya bukan hanya sesederhana aktivitas membaca dan menulis, tetapi juga sebuah aksi pemahaman dan pengolahan informasi yang baik hingga nantinya seseorang dapat dengan pasti memutuskan arah hidupnya. Definisi literasi tidak hanya sampai pada aspek aktivitas, tetapi juga bagaimana pengaruhnya dalam ranah sosial dan kultural masyarakat. Literasi memudahkan orang-orang untuk dapat berbaur dengan mudah dengan pembaruan zaman, literasi menjadi senjata agar tidak latah pada kejutan-kejutan peluang yang bisa saja tercipta dalam setiap detik. Bahkan dengan modal literasi yang masif kini bisa membawa seorang mahasiswa menjadi seorang influencer pendidikan, dengan reputasi membawa dampak dan kebermanfaatan. 

“Apa daya, daya kritis tidak ada, literasi tidak memadai, sementara gempuran informasi datang bak air bah.” (Abdullah Khusairi, 2020)

Negeri ini tidak kekurangan orang-orang yang pandai membaca, hanya saja peringkat 60 dari 61 untuk Indonesia dalam survei negara penggiat literasi di dunia yang dilakukan oleh Central Connecticut State University pada tahun 2016 sangat kontra menjadi data dan fakta sebuah negara berkembang yang bercita-cita untuk menjadi negara maju. Bukankah dengan demikian cita-cita itu jadi terkesan naif?

Di saat yang sama ada sekelompok orang di kolom komentar dunia maya yang memproklamirkan diri mereka sebagai jemaah salah satu aplikasi media sosial dalam konteks belajar agama dan mencari kajian. Mereka mengaku hidup sebagai masyarakat yang beragama, tetapi hanya mengaji dari sebuah potongan video yang bisa saja langsung digeser enak oleh jempol-jempol nakal mereka, lalu algoritma aplikasi merubah pemandangan layar dengan deretan video pengganti lainnya. Di satu sisi, media massa dan media sosial yang berpotensi menjadi penunjang literasi bangsa malah banyak dihiasi informasi yang bersifat kepentingan pribadi, ranah politik kotor, ranah seleb penuh sensasi, menjadi instansi yang dinanti-nanti.

“Fakta-data, sekali lagi ‘diperkosa’ kepentingan politik kekuasaan. Informasi dicari, diolah, disiapkan hanya sekadar memuaskan ‘nafsu membunuh’ dari pada mendidik, menghibur, dan menjalankan kontrol sosial.” (Abdullah Khusairi, Jurnalisme Lintang Pukang, 2020)

Di ufuk lain sebuah pesan berantai terkait kondisi ricuh di sebuah negara baru-baru ini ramai di kalangan pemakai Instagram, mereka berusaha menyebarkan berita, mungkin dengan alasan agar mereka terlihat berperan andil, walau terkadang bersifat musiman dan Fear Of Missing Out (FOMO), niat baik mereka memang patut dihargai, tetapi kebanggaan di hati seketika sirna setelah sebuah klarifikasi menyatakan pesan berantai itu adalah pesan palsu. Lagi-lagi sebuah interpretasi literasi negeri ini, menyebarkan informasi tanpa tahu sumber dan isi, alangkah beragamnya negeri ini.

Apa boleh disebut sebagai “Negeri Darah”? Karena banyak penduduknya yang telah dibunuh dengan informasi yang bahkan mereka pungut dan adopsi sendiri.

Menjauh dari masalah-masalah jenaka itu, ternyata ada bunga- bunga kecil yang berusaha untuk mekar, membersihkan noda buruk yang terlanjur menjadi identitas, mengubah negeri darah menjadi negeri berbunga nan harum baunya. Orang-orang yang sadar, pegiat-pegiat literasi bangsa yang mulai mencari cara untuk mengubah haluan pandangan masyarakat terkait literasi. Dalam hal ini sebelumnya telah dibangun perpustakaan di berbagai daerah, sosialisasi pentingnya literasi sedari dini di sekolah- sekolah, pembuatan pojok-pojok literasi di berbagai ruangan, dan adanya ajang perlombaan seputar literasi, kemudian muncul inovasi baru dengan lahirnya rumah-rumah baca yang kini telah menghiasi banyak pelosok negeri.

Rumah Baca Tanah Ombak di Kota Padang, salah satu dari sekian banyak rumah baca yang berhasil menemukan mutiara-mutiara tersembunyi dalam sebuah lingkungan yang dilabeli kumuh, seorang anak perempuan pantai nan “keling” , pernah lomba story telling, mewakili rumah baca itu ke Pulau Sulawesi dan mendapatkan juara I. Melihat ini, apa mungkin sebenarnya setiap putra-putri bangsa memiliki potensi sehebat itu? mereka menjadi orang besar dengan cara memperbaiki literasi mereka.

Baru-baru ini juga trend “Book Party” di Jakarta seakan menjadi daya tarik bagi kaum milenial untuk merambah ke ranah literasi, berkumpul di sebuah taman kota, membawa buku kesayangan masing- masing, membuat kelompok yang isinya diacak lalu duduk melingkar sambil membuka forum diskusi terkait bacaannya, dan hal yang paling menarik di sana adalah tidakk jarang para penulis buku-buku best seller ikut berkamuflase menjadi peserta Book Party.

Seperti bunga-bunga yang berusaha tumbuh di negeri darah, jika hanya setangkai maka tidak akan dipandang, tapi bagaimana jika yang diusahakan adalah sekumpulan taman-taman bunga? Yang ditanam berbagai macam jenis puspa, mengubah “Negeri Darah” menjadi “Negeri Harum” penuh pesona. Tak perlu menyalahkan orang lain dalam situasi ini, tapi tanyakan lagi kepada diri kita masing-masing, apakah kita salah satu dari bunga-bunga itu? Atau pelaku bunuh diri yang mengadopsi sembarang informasi tanpa mau peduli?

Total
0
Shares
Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Previous Post

Literasi Digital Gen Z: Modal Kuota, Bukan Otak

Next Post

Investasi pada Lembaga Syariah Meningkatkan Pembangunan Ekonomi Syariah

Related Posts
Total
0
Share
410 Gone

410 Gone


openresty