Oleh: Muhammad Arifin Ilham
(Mahasiswa Akidah Filsafat UIN Syarif Hidayatullah)
Hari itu awan putih ke abu-abuan menutupi langit, menambah tajamnya hembusan angin yang menusuk tulang, diitemani secangkir kopi hitam serta sebuah buku di tangan, saya telah hilang ditelan mimpi. Satu pukulan keras di dinding membangunkan saya, ternyata ada seekor nyamuk yang sudah mati di balik telapak tangan saya. Dalam hati saya bertanya, kenapa manusia sekejam itu? tega menghabisi seekor nyamuk yang hanya ingin mencari sedikit makanan. Kalaupun dibiarkan, mungkin nyamuk itu hanya akan menghabiskan setetes dari darah manusia, itupun jika mereka mampu.
Manusia memang begitu, mentang-mentang berkuasa berbuat seenaknya. Bayangkan saja tempat yang telah lama ditinggali digusur demi sebuah investasi., saya pun juga akan marah. Alasannya tanah tidak bersertifikat, padahal sama-sama tahu disitu juga ada hak adatnya. Parahnya, aparat polisi yang disebut penjaga keamanan dan ketertiban juga melakukan kekerasan, menembakkan gas air mata dan sebagainya. Anak-anak sekolah juga jadi korban sehingga harus dilarikan ke rumah sakit. Mereka terpaksa berlarian agar tidak terkena gas yang membuat mata perih. Memangnya salah mereka apa?. Saya tidak habis pikir, di negara yang disebut negara hukum ini caranya seperti itu. Atau apakah ini yang disebut hukum? sebagian kalangan berpendapat, kalau ditinjau dari teori keadilan, mereka akan mengerti bagaimana seharusnya. Memangnya teori keadilan seperti apa? walaupun benar dalam teori keadilan, tapi apakah yang dilakukan baik?.
Jauh dibelahan bumi sana, mungkin Israel juga akan mengatakan demikian “sesuai teori keadilan yang kami lakukan ini benar”. Padahal anak-anak Palestina yang seharusnya masih tertawa, berkejar-kejaran dengan temannya harus dihantui rasa takut dihujani tembakan rudal setiap saat. Bulan Ramadhan yang seharusnya menjadi waktu untuk lebih lama di masjid harus mereka habiskan dipuing-puing reruntuhan bangunan. Kebahagiaan yang seharusnya mereka nikmati di tanah airnya sendiri hilang bagaikan ditelan bumi. Padahal mereka negara yang merdeka, mereka berhak atas kebebasan, mereka berhak hidup bahagia. Apakah begini teori keadilan itu?.
Hal serupa juga terjadi di tanah kelahiran saya, Sumatera Barat. Masyarakat Air Bangis yang melakukan aksi demo berhari-hari di depan kantor Gubernur dipulangkan secara paksa oleh aparat. Lagi-lagi dengan kekerasan. Padahal mereka hanya ingin diberi kebebasan beraktivitas di tanah mereka sendiri. Mereka hanya ingin diberi kemudahan memanfaatkan lahan sawit yang sudah berpuluh-puluh tahun mereka olah. Tak hanya itu, para mahasiswa pendamping aksi dan wartawan juga terkena tindak kekerasan aparat. Mirisnya, beliau Bapak Gubernur yang terhormat, baru menemui masyarakat Air Bangis setelah beberapa hari kehujanan dan kepanasan. Dan itupun juga belum dengan solusi penyelesaian.
Hal ini saja mungkin membuat rakyat cukup tahu, bangsa kita sedang tidak baik-baik saja. Bangsa yang dulu didirikan dengan penuh perjuangan dan pengorbanan, sekarang malah jadi bangsa yang mengorbankan. Seperti kembali ke abad yang lalu, di tanah sendiri dijadikan pekerja. Tapi bedanya, sekarang diperkerjakan saudara kandung sendiri. Ibu mana yang tidak sedih melihat anak-anaknya seperti itu. Berdosakah kita pada Bung Karno, pada Moehammad Hatta, pada para pendiri bangsa lainnya dengan ini?.
Baru-baru ini saya masih dikejutkan dengan Indonesia, Apakah kekejaman seperti ini sudah menjalar ataukah telah berevolusi?. Pasalnya, terjadi di salah satu sekolah di negeri tercinta kita ini, seorang siswa SMP melakukan penganiayaan terhadap adik kelasnya, ia memukuli adik kelasnya seolah-olah sedang berlaga di kejuaran tinju dunia, pukulan demi pukulan di lemparkannya, menghujani tubuh anak yang malang itu hingga terpental dan tersungkur kemana-mana. Apalah daya si kecil itu, melawan kakak kelasnya yang kuat,berani dan berkuasa. Peristiwa itu menambah sejarah kelam lagi bagi bangsa ini, kita memang tak tahu motivasi apa sehingga ia berani berbuat seperti itu, apakah masih karena relasi kuasa? Atau karena tontonan yang saat ini hanya dipenuhi dengan berita kekerasan, penggusuran, penganiayaan dan sebagainya. Mungkinkah lagi-lagi karena yang kuat yang berkuasa. Seorang Munir yang masih belum jelas ujungnya, mungkin akan sangat gembira dengan keberanian dan kegagahan siswa SMP itu, jikalau ia gunakan untuk melanjutkan perjuangannya yang sempat terhenti karena kekejaman waktu itu, yang hanya bisa dilakukan oleh yang berkuasa. Lagi-lagi.
Saya masih bingung dengan rentetan peristiwa mengejutkan ini, sudah 78 tahun kita merdeka, namun kemerdekaan itu sendiri belum penuh dirasakan semua rakyat, belum tercermin dari apa yang didapat dan dilakukan rakyat. Diskriminasi masih dijadikan sebuah solusi. Penggusuran masih sering dilakukan dengan alasan demi pembangunan. Apakah sebenarnya kita merdeka?. Pertanyaan itu kini mungkin pantas untuk di utarakan. Sebagai rakyat, pasti mematuhi aturan pemerintah, tapi sebagai rakyat, juga ingin diperhatikan dan disejahterakan dengan baik.
Dengan perkataan yang tidak bisa kita pahami, kurang lebih itulah yang akan diungkapkan nyamuk yang telah mati itu. Seandainya ada Hak Asasi Nyamuk (HAN) seperti Hak Asasi Manusia (HAM) pasti mereka juga akan menuntut, sayangnya tidak. Jika pun ada, hanya berlaku untuk penguasa, manusia. Mereka hanya nyamuk kecil yang tidak bisa apa-apa.